Ratusan ilmuwan medis mengatakan ada bukti bahwa partikel COVID-19 mampu bertahan di udara dan menginfeksi orang-orang. Berdasarkan temuan tersebut, mereka mendesak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk merevisi protokol keamanan COVID-19.
Pada awal kemunculannya di penghujung tahun 2019, COVID-19 memang disepakati para ahli dan diumumkan WHO sebagai penyakit yang menyebar antarmanusia melalui droplet dari hidung atau mulut, yang dikeluarkan ketika seseorang dengan yang terinfeksi COVID-19 batuk, bersin atau berbicara.
Namun, pada awal Maret 2020, ada sebuah temuan penelitian lanjutan yang menyebutkan virus COVID-19 dapat bertahan di udara. Penelitian lain menemukan virus COVID-19 dapat menjangkau ventilator kamar rumah sakit pasien yang terinfeksi. Tentu saja, kecurigaan mereka semakin bertambah karena satu-satunya jalan menuju ventilator ialah udara.
Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa virus COVID-19 yang terdapat di dalam droplet masih tertinggal di udara dalam bentuk aerosol setelah seseorang yang terinfeksi batuk atau bersin. Zatnya berubah menjadi partikel-partikel kecil yang cukup ringan untuk mengambang di udara. Secara sederhana, cara kerjanya serupa semprotan pengharum ruangan atau obat nyamuk.
Profesor Epidemiologi di Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Michigan, Aubree Gordon, mengatakan mulanya belum terbukti apakah virus COVID-19 yang tertinggal di udara dapat menginfeksi seseorang. Untuk membuktikannya, para peneliti perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih kuat ketimbang mendeteksi RNA virus saja, yakni dengan menumbuhkan bakteri dalam sel yang dikultur
“Anda menemukan RNA di permukaan, itu tidak berarti bahwa virus … dapat menginfeksi seseorang,” katanya.
Namun, saat ini 239 ilmuwan dari 32 negara berencana menerbitkan sebuah surat terbuka yang menyerukan perlunya WHO memperhatikan penyebaran COVID-19 di udara. Beberapa di antaranya bahkan merupakan para ahli yang berkontribusi langsung bagi WHO.. Mereka mendesak perlunya penindaklanjutan dengan menerapkan protokol keamanan terbaru.
Surat tersebut akan diterbitkan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases yang diwakilkan oleh Lidia Morawska, dari Queensland University of Technology di Brisbane, dan Donald Milton, dari University of Maryland.
Mereka mengatakan bukti yang muncul, seperti pabrik pengolahan daging yang terjangkit wabah, menunjukkan bahwa penularan melalui udara bisa lebih berbahaya dan penting bagi WHO untuk tidak menyepelekannya.
Linsey Marr selaku ahli di Virginia Tech yang mengamati penularan virus melalui udara, mengatakan bahwa WHO hanya mengandalkan studi yang dilakukan di rumah sakit, di mana udara bersirkulasi dengan baik sehingga tingkat virus di udara terbilang rendah. Menurutnya, ini meremehkan risiko penularan di tempat lain.
“[di sebagian besar bangunan] kadar sirkulasi udara biasanya jauh lebih rendah, hal ini memungkinkan virus menumpuk di udara,” kata Marr.
Profesor kedokteran dari University of East Anglia sekaligus anggota komite pencegahan infeksi WHO, Paul Hunter, mengatakan bahwa penularan melalui udara memang dapat terjadi tetapi tidak begitu penting. Baginya, yang paling berperan dalam penularan COVID-19 tetaplah droplet.
Hunter mengatakan memperkenalkan langkah-langkah baru untuk mencegah penularan melalui udara tidak akan membuat banyak perbedaan pada penularan infeksi.
“Ini akan memberikan beban yang tidak perlu, terutama di negara-negara yang tidak memiliki cukup staf atau sumber daya yang sudah terlatih,” tegasnya.
Jika penularan COVID-19 melalui udara terbukti berdampak signifikan, para ahli menyarankan untuk mengenakan masker di dalam ruangan, bahkan ketika protokol jarak sosial diterapkan. Selain itu, peraturan yang lebih ketat mungkin perlu diterapkan, berbagai tempat bakal diwajibkan untuk memasang ventilasi untuk memastikan udara bersirkulasi dengan baik, hingga memasang lampu UV di dalam ruangan untuk membinasakan partikel yang berpotensi menularkan COVID-19.