Isu Terkini

Selat Sunda, Rawan Tsunami Berbagai Faktor dan Tempat Lalu Lalang Kapal

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Gelombang tsunami terjadi di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 malam sekitar pukul 21.27 WIB. Area Banten, khususnya di Anyer, Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Lampung Selatan adalah wilayah yang paling terkena dampak tsunami. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan pada H+4 bencana, jumlah korban tewas tercatat 430 orang.

Cukup miris, Indonesia seakan tak bisa mengantisipasi bencana alam yang kerap menimpa bumi pertiwi. Maklum, sistem mitigasi bencana di Indonesia sangat minim. Termasuk sistem mitigasi ketika tsunami terjadi. Tak ada peringatan apapun, tsunami langsung memorak-porandakan pesisir pantai dan memakan banyak korban jiwa.

“Sirine tsunami itu harusnya kebutuhannya 1.000 sirine. Sekarang kita cuma ada 52 sirine. Jadi kekurangan 948 sirine. Ancaman tsunami cukup serius. Tapi mitigasinya kurang. Dan masyarakat juga banyak yang belum paham soal ancaman tsunami berikut risiko dan antisipasinya,” katanya dalam konferensi pers update tsunami Banten-Lampung, Rabu, 26 Desember 2018.

Tsunami di Selat Sunda sendiri informasi awalnya cukup simpang-siur. Tsunami bertepatan dengan bulan purnama, sehingga BMKG sempat mengumumkan bahwa yang terjadi adalah gelombang pasang. Kemudian, informasi diralat: bukan gelombang pasang, melainkan tsunami yang terjadi karena gempa vulkanik dari letusan Gunung Anak Krakatau.

Saat gelombang tsunami menerjang, status Gunung Anak Krakatau yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ada pada Level II atau waspada. PVMBG merekomendasikan masyarakat atau wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius dua kilometer dari kawah.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menjelaskan pada hari itu, sejak pukul 12.00 sampai 18.00 WIB, Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak 423 kali. Tingginya intensitas letusan Anak Krakatau kemungkinan memunculkan dua hal yang dapat mengganggu kolom air sehingga tercipta gelombang tsunami.

Selat Sunda Dikepung Tsunamigenik

Selat Sunda adalah laut yang diapit oleh Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, serta menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Hindia. Selat Sunda dalam sejarah penelitiannya memang masuk kawasan tsunamigenik. Tsunamigenik adalah kejadian alam yang berpotensi menimbulkan tsunami seperti kegiatan gunung api, gempa bumi, longsoran pantai dan bawah laut.

Selain karena aktivitas Gunung Krakatau, Selat Sunda juga berpotensi tsunami akibat dari dua jenis longsoran. Hal ini seperti yang ditulis dalam penelitian Yudhicara dan K. Budiono berjudul “Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap Katalog Tsunami Soloviev“. Penelitian yang diterbitkan oleh Jurnal Geologi Indonesia menjelaskan, bahwa longsoran bawah laut (submarine landslide) juga mampu menyebabkan tsunami di Selat Sunda.

Longsoran bawah laut itu sendiri sangat dipengaruhi oleh perbedaan kedalaman dasar laut. Dasar laut Selat Sunda merupakan daerah labil karena berkaitan dengan struktur terban Semangko di antara Tinggian Semangko, Tinggian Tabuan, Tinggian Tanggang, dan Tinggian Krakatau. Selain longsor bawah laut, tsunami juga dapat terjadi akibat longsoran di pantai.

Di wilayah sekitar Teluk Semangko misalnya, didominasi oleh perbukitan landai hingga yang sangat terjal. Beberapa lokasi, seperti Kampung Ketapang dan Kampung Karang Bolong merupakan pantai bertebing. Ketika longsor, berpotensi mengganggu kolom air laut dan menimbulkan tsunami meski dalam skala kecil dan lokal.

Aktivitas Lalu Lalang Selat Sunda

Di lain sisi, Selat Sunda yang memiliki lebar sekitar 30 km ini memiliki aktivitas penyebrangan yang cukup dinamis. PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry Cabang Utama Merak, mengoperasikan kapalnya tiap hari. Dalam sehari, kapal-kapal Ferry bisa 24 kali bulak balik.

Tentunya jumlah tersebut akan meningkat ketika ada hari raya atau libur panjang. Lalu bagaimana setelah terjadinya tsunami di Selat Sunda kemarin? Sekretaris Perusahaan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), Shanti Puruhita memastikan kegiatan operasional dan pelayanan di Pelabuhan Cabang Banten dan Pelabuhan Cabang Panjang, Lampung tetap berjalan normal.

“Sejak pagi tadi, aktivitas di kedua pelabuhan tersebut berjalan seperti biasa. Di Pelabuhan Panjang, air laut memang sempat pasang, namun hal itu tidak terlalu berdampak terhadap fasilitas dan infrastruktur pelabuhan,” kata Shanti dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 23 Desember 2018.

Shanti mengatakan ketika tsunami terjadi, aktivitas pelabuhan memang sempat dihentikan sesaat. Hal ini, kata dia, untuk memastikan keselamatan dan keamanan operasional. Namun, operasional di Pelabuhan Cabang Panjang dan Cabang Banten kembali dilanjutkan, setelah semuanya dinyatakan dalam keadaan aman.

Share: Selat Sunda, Rawan Tsunami Berbagai Faktor dan Tempat Lalu Lalang Kapal