Isu Terkini

Selain Promo, Apalagi ‘Campur Tangan’ Kemenhub Terhadap Ojek “Online”?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Sempat dikabarkan akan membuat edaran terkait penghilangan promo pada aplikasi penyedia ojek online, ternyata Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akhirnya membatalkan wacana tersebut. Hal itu disampaikan Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi yang menyebut permasalahan diskon tarif ojek online diserahkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

“Sementara saya belum ada (rencana mengatur diskon tarif ojek online), tetapi semuanya itu kita kembalikan kepada KPPU,” kata Budi di Kemenhub, Jakarta, Kamis (13/6) seperti dilansir Kompas.com. Menurut Budi, sebetulnya aplikator boleh menerapkan promo atau diskon tarif ojek online, namun diskon yang diberlakukan tak boleh melanggar ketentuan tarif batas atas dan bawah yang sudah diatur Kemenhub.

Misalnya saja tarif batas bawah Rp 3.000/km, lalu ada diskon menggunakan alat pembayar tertentu sebesar Rp 500/Km. Nah, diskon inilah yang nantinya tidak bisa digunakan karena bila digunakan maka tarif yang dibayar pelanggan Rp2.500/km dan harga itu tentu lebih rendah dari tarif batas bawah yang telah ditentukan Kemenhub.

Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan kebijakan terkait diskon tarif hendaknya melalui usulan dari pemangku kepentingan (stakeholder) ojek online. “Promo kalau memang nanti ada usulan baru kami bahas, baru kami bahas. Itu adalah usulan dari stakeholder bukan kami yang mau atur-atur,” kata Budi Karya usai rapat kerja bersama Komisi V DPR soal rencana kerja anggaran (RKA) 2020 di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (12/6).

Rencana Menhub Larang Diskon Ojek Online

Sebelumnya, Budi Karya juga mengatakan bahwa pihaknya akan membuat regulasi terkait larangan penerapan diskon untuk semua jenis transportasi online, baik untuk jenis taksi online maupun ojek online. Regulasi nantinya akan berbentuk peraturan menteri atau surat edaran.

“Diskon, saya sampaikan bahwa yang namanya tarif online itu harus equilibrium equality. Jadi dengan equal ini maka kami minta tidak ada diskon-diskonan, diskon langsung maupun tidak langsung,” kata Budi Karya di Gedung Kemenhub, Jakarta Pusat, Senin (10/6).

Budi Karya mengatakan bahwa saat ini sebenarnya operator memang sudah tidak memberikan diskon tarif secara langsung. Namun diskon diberikan oleh mitra operator yang menyediakan jasa pembayaran elektronik.

“Diskon langsung maupun tidak langsung. Diskon langsung relatif tidak ada, diskon yang ada ini relatif tidak langsung, yang diberikan oleh partner-partnernya,” ujarnya.

Rencana larangan diskon ojek online itu disebut sebagai upaya untuk melindungi pengemudi ojek online, karena terjadi persaingan tidak sehat dengan adanya tarif rendah yang menuju ke arah predatory pricing.

Apa Saja ‘Campur Tangan’ Kemenhub Terhadap Ojek Online?

Sebelumnya, Kemenhub berusaha mengakhiri polemik payung hukum ojek online dengan menerbitkan aturan melalui diskresi atau pengambilan keputusan sendiri. Langkah diskresi diambil lantaran angkutan berbasis aplikasi ini tak kunjung memiliki payung hukum.

Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) melarang kendaraan roda dua untuk dijadikan transportasi umum, baik orang maupun barang. Namun, dalam mewujudkan aturan baru itu, Kemenhub memastikan tidak akan mengubah UU No 22 Tahun 2009 itu.

Saat itu, Budi Setyadi mengatakan diskresi mengacu Pasal 1 ayat 9 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam pasal itu dijelaskan diskresi bisa diambil pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret ketika peraturan perundang-undangan tidak memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

“Dalam UU itu, ada kewenangan menteri membuat aturan sepanjang belum ada aturan yang mengatur. Jadi ini diskresi menteri untuk membuat peraturan,” kata Budi Setiyadi di Depok, Sabtu (5/1/2019) seperti dinukil dari Kompas.com.

Meski demikian, Budi memastikan kementerian tidak akan mengubah garis-garis besar aturan dalam UU No 22/2009. Setidaknya akan ada tiga hal yang diatur dalam aturan ojek daring, yakni tarif, masalah suspend (penghentian sementara), dan pengaturan keselamatan. “Itu yang selalu disuarakan, satu masalah tarif. Kalau tarif itu harus ada tarif batas atas dan batas bawah,” ucapnya.

Meski sempat menuai protes, namun pihak Kemenhub menegaskan bahwa aturan itu lebih fokus pada pemberian payung hukum aktivitas ojek online agar mereka bisa menjalankan profesi itu. Artinya, tidak ada penekanan pada pelegalan roda dua sebagai angkutan umum. Karena itu, istilah tarif pun tidak dimasukkan dalam draf aturan, namun lebih ke biaya operasional jasa.

Kemenhub Tetapkan Batasan Tarif

Kemenhub juga ikut mengatur soal tarif ojek online. Pada 25 Meret 2019 lalu, Kemenhub mengumumkan batasan tarif transportasi ojek online yang diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) No 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.

Aturan mengenai tarif ojek online tersebut mengacu pada amanat Pasal 11 ayat 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.

Batasan tarif itu sendiri merupakan acuan bagi perusahaan aplikator ojek online seperti Go-Jek dan Grab dalam menentukan biaya yang akan ditanggung penumpang.

Saat itu, Budi Setiyadi mengatakan bahwa pengaturan batasan tarif itu berdasarkan kajian dan perbandingan dengan negara lain seperti Vietnam dan Thailand. Pasalnya, kedua negara tersebut juga menetapkan batasan tarif ojek online terlebih dahulu.

“Negara lain yang sudah menerapkan di ASEAN terutama Vietnam dan Thailand. Artinya, kami benchmarking dengan beberapa negara Asean. Untuk ojek online hanya ada di beberapa negara terutama di ASEAN,” kata Budi dalam konferensi pers di Gedung Kemenhub, seperti dilansir dari Hukum Online, Senin (25/3).

Berdasarkan Kepmen tersebut, Kemenhub membagi tiga zona meliputi wilayah Sumatera, Jawa selain Jabodetabek, Bali (Zona 1), Jabodetabek (Zona 2) dan Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Papua (Zona 3).

Batasan tarif Zona 1 sebesar Rp 1.850- Rp 2.300 per kilometer, Zona 2 sebesar Rp 2.000-Rp 2.500 per km dan Zona 3 sebesar Rp 2.100-Rp 2.600 per km. Selain itu, batasan tarif jasa minimal juga diatur dengan masing-masing sebesar Zona 1 sebesar Rp 7.000-Rp 10.000, Zona 2 sebesar Rp 8.000-Rp 10.000 dan Zona 3 sebesar Rp 7.000- Rp 10.000.

Biaya jasa minimal merupakan biaya jasa yang dibayarkan oleh penumpang untuk jarak tempuh paling jauh empat kilometer. Kemudian, perbedaan tarif masing-masing zona tersebut juga berdasarkan daya beli dan jumlah penumpang.

“Kenapa Jabodetabek berbeda? untuk pola perjalanan dan ojek online yang ada, itu sudah jadi kebutuhan primer. Sudah jadi kebutuhan utama,” ujar Budi.

Aturan ini akan sendiri berlaku efektif pada 1 Mei 2019 sebagai masa transisi bagi aplikator ojek online dan masyarakat terhadap tarif baru. Budi mengatakan batasan tarif tersebut merupakan titik temu antara permintaan aplikator, pengemudi dan masyarakat. Adapun formula dalam menghitung besaran tarif mempertimbangkan biaya langsung (bensin, perawatan motor dan lainnya) dan biaya tidak langsung.

Share: Selain Promo, Apalagi ‘Campur Tangan’ Kemenhub Terhadap Ojek “Online”?