Isu Terkini

Sejarah Pekerja Migran Jangan Jadi Sejarah Ketidakpedulian

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Bagaimana Anda melihat keberadaan pekerja migran?

Pertanyaan ini sederhana, tapi percayalah, buat menjawabnya kita butuh waktu yang tak sebentar. Eksistensi pekerja migran di Indonesia merupakan hal yang kompleks. Ia bertautan dengan aspek politik, sosial, hukum, sampai kemanusiaan.

Bila diurai lagi, Anda akan menemukan perkara yang tidak kalah krusial: bagi banyak orang, menjadi pekerja migran adalah jalan untuk mewujudkan mimpi dan harapan untuk hidup lebih layak.

Para pekerja migran tak muncul dalam semalam. Akarnya dapat dilacak hingga ke masa kolonial, tepatnya pada 1890, ketika pemerintah Hindia Belanda mengirimkan penduduk Nusantara sebagai buruh kontrak ke Suriname, koloni Hindia Belanda di Amerika Selatan.

Para buruh ini, jumlahnya 94 orang, diberangkatkan dari Batavia pada 21 Mei 1890 menggunakan kapal SS Koningin Emma dan tiba di Suriname tiga bulan setelahnya.

Perbudakan telah dilarang di Suriname sejak 1863. Artinya, kebun-kebun di Suriname telantar. Ekonomi pun jadi sulit. Buruh-buruh dari Nusantara diberangkatkan untuk menggantikan tugas para budak.

Gelombang pengiriman buruh Indonesia ke Suriname berlangsung hingga 1939, dengan jumlah keseluruhan setidaknya 30-an ribu jiwa, mayoritas berasal dari Jawa.

Pascakemerdekaan, pengiriman tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri terus berlangsung. Pada 1947, negara membentuk Kementerian Perburuhan untuk mengurus ketenagakerjaan di dalam dan luar negeri.

Angka partisipasi buruh yang ditujukan ke luar negeri melonjak cukup signifikan manakala rezim Orde Baru berkuasa, demikian laporan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Di masa ini pula, sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mulai populer, lebih-lebih usai Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) mengambil alih urusan migrasi buruh.

Di bawah Depnaker, regulasi pengelolaan TKI dirilis, termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1970. Lewat beleid ini, pemerintah mengeluarkan program bernama Angkatan Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN). Garis besarnya, program AKAD dan AKAN dibikin supaya manajemen pengiriman dan penempatan TKI lebih terpusat sekaligus membuka pintu agar swasta dapat turut ambil bagian.

Program AKAN bertahan cukup lama, sampai empat tahun sebelum Orde Baru tumbang. Setelahnya, pengganti AKAN cukup sering berpindah tangan pengelolaan—dan bongkar pasang kelembagaan—hingga akhirnya diserahkan ke Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang dibentuk sesuai mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Kerja-kerja BNP2TKI melibatkan banyak instansi, dari Kemenlu, Kemenhub, Kemenaketrans, sampai Kepolisian.

Hampir dua dekade bertahan, BNP2TKI pun tak terhindar dari perombakan. Pada 2019, nama BP2TKI berubah jadi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Ini menyesuaikan perubahan regulasi di atasnya, dari UU No. 39 menjadi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Yang berubah tak sekadar nama lembaga, melainkan sebutan TKI. Di bawah aturan baru, TKI dihapus dan digantikan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Perubahan nama tersebut, salah satunya, ditujukan untuk mengurangi “citra negatif” yang melekat—atau dilekatkan—kepada TKI yang sering kali jadi korban aksi kekerasan atau penderitaan lainnya.

Riwayat Penempatan

Ada pandangan umum di dalam negeri bahwa buruh migran Indonesia terpusat di dua lokasi: Arab Saudi dan Malaysia. Tak salah, memang. Namun, cakupan negara tujuan pekerja migran kita, sebetulnya, lebih luas dibanding hanya di dua negara tersebut. Dan setiap kawasan punya latar belakang sejarah dan sosialnya masing-masing.

Eni Lestari, Ketua International Migrants Alliance (IMA), paguyuban pekerja migran, menjelaskan penempatan PMI ke dalam tiga masa. Yang pertama, era 1980-an, di mana jujukan pekerja migran berfokus di dua lokasi: Timur Tengah dan Malaysia.

Banyaknya pekerja migran yang mencari peruntungan di dua tempat itu, jelas Eni, tak bisa dilepaskan dari aspek kedekatan geografis dan agama. Untuk kedekatan geografis—dan kemudian diperlebar dengan bahasa—berlaku bagi mereka yang bekerja di Malaysia, kebanyakan pekerja asal Madura, Jawa Timur.

“Sebelum diterapkan secara resmi, orang-orang Madura itu jauh lebih duluan ke Malaysia untuk bekerja, sekalipun tanpa dokumen pendamping. Udah kayak warisan nenek moyang,” kata Eni ketika dihubungi Asumsi.

Sementara itu faktor agama berlaku untuk Arab Saudi—atau negara lain di Timur Tengah—yang sering jadi tujuan pekerja migran asal Jawa Barat. Agama, dalam konteks ini Islam, memperkuat motivasi para pekerja migran asal Jawa Barat untuk berangkat Arab. Selain bekerja, mereka merasa ada pula kesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

Situasi di atas berlangsung hingga awal 1990-an, sebelum bandul berbalik ke Asia. Eni mengatakan, pada era itu, negara-negara Asia, utamanya Taiwan, Hong Kong, dan Singapura perlahan jadi financial hub. Artinya, negara-negara ini punya status pusat investasi dan keuangan dunia.

Konsekuensinya, aktivitas ekonomi menggeliat, pembangunan berjalan begitu gencar, dan pabrik-pabrik bermunculan, yang kemudian membuka pintu kesempatan besar secara luas, tak terkecuali bagi pekerja migran.

“Di masa ini juga peran agen, dari negara asal, mulai aktif bergerak. Mereka akan mencari orang-orang yang sekiranya bisa dipekerjakan, mayoritas sebagai pekerja rumah tangga [PRT], dengan memanfaatkan skema konteks dan kerjasama, baik bersama pemerintah Indonesia atau pihak swasta lainnya. Yang dicari pun mereka yang berpengalaman kerja di Arab atau Malaysia, dan minimal lulusan SMA,” ujar Eni, yang sudah sejak 1999 bekerja di Hong Kong.

Maju ke depan, pintu untuk merambah negara dan kawasan lain makin tersedia. Setelah Timur Tengah dan Asia, kali ini, terutama sekitar satu dekade terakhir, pekerja migran Indonesia mulai menjajaki kesempatan ke Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Akan tetapi, jalannya tak mudah.

“Mereka yang bekerja di Eropa atau Amerika itu kebanyakan datang tidak terorganisir. Artinya, mereka kebanyakan adalah korban perdagangan manusia, korban penipuan, korban kerja paksa di kapal, yang kemudian berusaha cari kesempatan menyelamatkan diri,” ungkapnya.

“Sedangkan yang di Kanada itu kendalanya [bagi pekerja migran] ada di persyaratan yang cukup ketat. Mulai dari harus fasih bahasa Inggris, tingkat minimal pendidikan yang diploma. Tapi, meski ketat, harapan buat hidup layak sangat terbuka,” imbuhnya.

Lantas bagaimana persebaran buruh migran Indonesia saat ini? Data yang dihimpun BP2MI menerangkan bahwa pada November 2020, pekerja migran paling banyak berada di Hong Kong, yaitu 5.775 orang. Jumlahnya menurun ketimbang November 2018, dengan 6.172 orang yang bekerja di sana.

Urutan kedua ditempati Taiwan, dengan jumlah pekerja migran sebanyak 4.160, disusul Jepang di posisi tiga dengan 230 orang. Status pekerjaan sebagai asisten rumah tangga mendominasi ranah kerja para migran Indonesia luar negeri (5.794 orang per November 2020).

Catatan tersebut agak ganjil lantaran tidak ada negara-negara tradisional yang jadi tujuan pekerja migran seperti Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Singapura. Di Arab Saudi, pada tahun ini, hanya 13 tenaga migran yang tercatat bekerja di sana. Malaysia dan Brunei Darussalam malah nihil. Lalu Singapura bertahan di angka 81.

Sebabnya, selama pandemi COVID-19, yang berlangsung sepanjang tahun, program penempatan pekerja migran untuk sementara waktu dihentikan, seiring diberlakukannya kebijakan lockdown di beberapa negara macam Korea Selatan, Singapura, atau Malaysia.

Perlindungan Jauh dari Ideal

Kontribusi pekerja migran tidak boleh disepelekan. Mereka membantu perekonomian negara melalui remitansi, atau istilah sederhananya uang yang ditransfer masuk ke Indonesia. Dari 2013 hingga 2018, menurut laporan Bank Indonesia (BI), jumlahnya selalu di atas $5 miliar. Bahkan dua tahun lalu menyentuh $10 miliar.

Mirisnya, walaupun turut ambil bagian dalam menyumbang pendapatan negara, keberadaan pekerja migran kerap terpinggirkan. Ini dapat dilihat ketika mereka tak memperoleh perlindungan yang memadai dari pemerintah di negara tempat mereka bekerja.

Anda ingat Tuti Tursilawati? Pekerja migran asal Majalengka tersebut dihukum mati oleh otoritas Arab Saudi pada 2018 sebab diputuskan telah membunuh majikannya yang hendak melakukan kekerasan seksual kepadanya. Pemerintah tak dapat bergerak dengan dalih “tidak memperoleh informasi dari Arab Saudi.”

Nasib berbeda dialami Eti Binti Toyib. Sama seperti Tuti, pekerja migran asal Majalengka ini divonis mati oleh pemerintah Arab sebab dinilai melakukan pembunuhan terhadap sang majikan. Tapi vonis itu gugur setelah pemerintah Indonesia—bersama ormas keagamaan seperti NU—membayar diyat (semacam uang ganti rugi) sebesar Rp15,2 miliar ke keluarga korban.

Keberhasilan membebaskan Eti membikin pemerintah menepuk dada, mengklaim bahwa mereka selalu berusaha hadir di tengah-tengah pekerja migran, terutama ihwal perlindungan.

Benarkah demikian? Kenyataan berbicara lain. Kekerasan kepada pekerja migran, berujung hilangnya nyawa mereka, silih berganti bermunculan—dan pemerintah tidak bertindak apa-apa.

November lalu, misalnya, pekerja migran dari Cianjur meninggal di Arab Saudi setelah diduga disiksa dan ditelantarkan majikannya. Mundur ke belakang, pada 2018, pekerja migran dari NTT yang berada di Malaysia tewas usai disiksa dan dikurung di dekat kandang hewan milik majikannya tanpa diberi asupan makanan sedikitpun.

Sebagian besar pekerja migran yang jadi korban kekerasan, menurut catatan Migrant Care, LSM yang fokus pada isu pekerja migran, adalah perempuan. Bentuknya macam-macam: dari kekerasan fisik, penyekapan, tak ada jaminan reproduksi, hingga perdagangan manusia.

Kondisi itu tak bisa dimungkiri turut disebabkan posisi mereka yang lemah dalam kehidupan sehari-hari—stigma, jerat utang, pemiskinan—sehingga opsi jadi pekerja migran, lebih-lebih asisten rumah tangga, mau tak mau harus diambil, walaupun perlindungan di kemudian hari belum dapat terjamin.

Respons pemerintah pun, masih mengutip laporan Migrant Care, serampangan. Ambil contoh, layanan bantuan hukum belum tentu ada, call center yang tidak proaktif menangani kasus, diskriminatif, serta tidak berperspektif gender, dan yang paling krusial: tidak adanya perjanjian (MoU) antar negara sehubungan dengan penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang menimpa pekerja migran.

Tercatat, sejauh ini, pemerintah baru meneken MoU bersama 10 negara. Ada empat negara yang belum dijajaki, salah satunya Hong Kong, di mana populasi pekerja migran Indonesia cukup besar.

Eni mengaku upaya memperbaiki nasib pekerja migran tidak akan pernah mudah. Keinginan negara, dalam konteks ini, menjadi faktor penting yang disorot Eni: apakah mereka benar-benar memperhatikan pekerja migran atau justru sebaliknya?

Kendati begitu, ketika pemerintah lebih banyak bersikap lepas tangan seolah hidup pekerja migran—baik atau buruk—merupakan bagian dari takdir, Eni mengaku bakal terus berjuang. Bersama teman-teman pekerja migran yang lain, Eni tak henti berupaya untuk mengubah arah angin pekerja migran yang selama ini sering kali berujung nestapa.

“Dengan mereka, walaupun kekuatan kami kecil, setidaknya kami bisa saling ada untuk sama lain. Kami akan terus advokasi, kampanye, dan menemani teman-teman yang, misalnya, tertimpa masalah,” tegasnya, yakin.

Yang jadi pertanyaan: mau sampai kapan pekerja migran dibiarkan terus-menerus berpegangan tangan satu sama lain?

Bila memang begitu kenyataannya, mungkin benar bahwa sejarah pekerja migran Indonesia adalah sejarah ketidakpedulian.

*Semua foto merupakan arsip Eni Lestari. Diunggah seizin pemilik.

Share: Sejarah Pekerja Migran Jangan Jadi Sejarah Ketidakpedulian