Sudah hampir seminggu batuk saya tak kunjung membaik. Seorang teman kerja saya sesak napas dan memeriksakan diri ke dokter, satu orang lainnya divonis infeksi paru-paru dan mesti mengisolasi diri. Meskipun keduanya tidak dinyatakan positif terinfeksi virus Corona, dada saya jadi ikut-ikutan terasa berat mendengar kabar itu.
“Gimana sih rasanya sesak napas?” pertanyaan itu saya lontarkan beberapa kali kepada pacar saya, bertanya-tanya apakah napas saya benar-benar berat atau semua ini hanya ada dalam pikiran. Berkali-kali pula, ia menjawab dengan tenang dan sabar, “Memang rasanya gimana ketika bae* bernapas?” Bae adalah panggilan sayang kami.
Sudah lebih dari 7 tahun kami berpacaran, sejak duduk di bangku SMA, dan selama itu pula hubungan kami adem ayem saja. Tak banyak gejolak, selain bahwa kami sempat putus sekali dan kemudian nyambung lagi. Seorang kawan dekat yang skeptis dengan long term relationship sempat mempertanyakan hubungan kami yang menurutnya “terlalu vanila”. Tapi kami memang tak terlalu suka keramaian, berusaha sebisa mungkin menjauh dari konflik, dan mendambakan kestabilan. Mungkin ini pula yang mungkin membuat kami kelewat nyaman dengan satu sama lain. Kencan pun tak jauh-jauh dari menonton film di bioskop, makan di restoran, atau sesekali staycation yang kami habiskan dengan menyetel film di TV kamar.
“Kita cek aja yuk besok,” katanya.
Saat itu Minggu, 15 Maret 2020. Jumlah pasien positif Corona di Indonesia meningkat cepat dari 69 kasus menjadi 117 kasus dalam dua hari. Kami mencari informasi rumah sakit rujukan terdekat yang bisa melayani tes COVID-19, tetapi justru mendengar kabar bahwa banyak pasien ditolak untuk melakukan swab test. Seorang pasien melaporkan bahwa dirinya baru dites setelah kondisinya semakin buruk dan keluarganya mengancam pengelola rumah sakit. Pasien pun tidak diberikan informasi pasti kapan hasil tes akan keluar. Menurut pengakuan beberapa orang, masa tunggu bisa mencapai 5 hari.
Niat mengikuti tes COVID-19 di rumah sakit rujukan pun perlahan menguap. Apalah saya yang hanya batuk-batuk, sedikit demam, dan tidak punya riwayat bepergian ke negara terdampak? Apalah dirinya yang masih sehat-sehat saja dan berusia kurang dari 30 tahun?
Padahal, jika tren kenaikan jumlah pasien positif virus Corona di Indonesia tidak berubah, simulasi persamaan eksponen mengestimasikan ribuan orang lain akan dilaporkan positif pada 21 Maret mendatang, dan berlipat ganda menjadi puluhan ribu pada akhir Maret. Belum lagi jika mempertimbangkan kasus-kasus lain yang tidak terdeteksi. Intinya, berarti, setiap warga Indonesia, terutama di DKI Jakarta, termasuk kami berdua, rentan ikut tertular virus Corona.
Terlepas dari itu, imbauan work from home justru membuat kami lebih sering bertemu karena jarak tempat tinggal kami yang hanya berkisar 20 meter. Kami bosan dan kantong kami terlalu cekak untuk memesan makanan secara online—kami pun pergi makan siang di warung terdekat, atau menemani satu sama lain melanjutkan sisa-sisa pekerjaan dari kantor. Kami terbiasa saling memeluk, menggandeng tangan satu sama lain, berbagi makanan dan minuman. Ia hanya menjauh sejenak jika sedang ingin merokok. Saya beberapa kali tak sengaja batuk dan bersin di depannya. Kami menerapkan social distancing dengan menjauhi keramaian, tempat umum, atau menggunakan transportasi umum. Tetapi tidak ke satu sama lain.
Sebagai seorang laki-laki dan perokok aktif, penyakit COVID-19 bisa lebih berbahaya baginya dibandingkan bagi saya. Saya sempat menyampaikan kekhawatiran ini kepadanya, yang ia balas dengan berkilah bahwa ia lebih menjaga kesehatan dan lebih sering cuci tangan dibandingkan saya. “Lagipula tahu nggak mengapa laki-laki lebih rentan daripada perempuan? Karena biasanya laki-laki lebih jorok,” katanya.
Saya mengangguk-angguk, dan belakangan baru mengetahui alasan tersebut ngawur. Secara biologis, sistem imun perempuan memang lebih kuat dibandingkan laki-laki. Walaupun porsi perempuan dan laki-laki yang terinfeksi cenderung merata, wabah SARS dan MERS terdahulu memperlihatkan bahwa tren kematian di kalangan laki-laki lebih tinggi. Setelah saya koreksi, giliran ia yang mengangguk-angguk sambil menyembunyikan kepanikan.
Namun, sebagaimana umumnya orang Indonesia, tingkat kekhawatiran dan kewaspadaan kami berdua tak seberapa. Kami memang tidak sesantai Presiden Joko Widodo yang awal Maret lalu masih mengimbau warganya untuk tidak panik karena tingkat kematian COVID-19 lebih rendah dari MERS dan SARS (lihatlah, kini Indonesia jadi negara dengan jumlah kematian paling tinggi di Asia Tenggara). Tapi kami masih bisa bergurau untuk segera mengambil cuti, memesan tiket pesawat ke Korea Selatan yang harganya sempat hanya Rp50 ribu itu, dan pergi berlibur. “If I die, I die,” sejenak meminggirkan fakta bahwa kami bisa jadi carrier yang berbahaya bagi orang lain dari angan-angan.
“Atau, gimana kalau kita ke Prancis?” bukan karena ingin mengunjungi Menara Eiffel, tetapi karena belum ada pengumuman pembatalan Festival Film Cannes yang rencananya digelar pada pertengahan Mei ini. Padahal jumlah kasus virus Corona di Perancis sudah lebih dari 9.000, negara tersebut telah melarang lebih dari 100 orang berkumpul di satu tempat, dan jumlah pengunjung festival di tahun sebelumnya mencapai belasan ribu. Tentu saja, semua itu hanya jadi angan-angan egois yang dilontarkan sekenanya sembari kami Netflix and chill dan selalu lupa untuk beneran mengajukan cuti ke atasan.
Terlepas informasi tentang virus Corona di internet yang menyebar cepat dan meningkatkan kewaspadaan, sense of alert itu belum menjejak sepenuhnya. Jumlah kasus dan kematian yang terus meningkat memang kerap membuat saya merasa kewalahan hingga sesak napas, pusing, bahkan mual. Namun, ketika kamu log out Twitter dan memutuskan untuk keluar rumah, dunia terasa sedang berjalan seperti biasanya. Jalanan lebih sepi, tetapi warung makanan kesukaan kami masih buka, minimarket masih ramai, tukang sayur juga masih berlalu lalang. Masih banyak pula orang yang menongkrong di kafe untuk belajar, bekerja, bahkan sekadar bercengkerama. Rasa khawatir itu jadi seperti melayang di depan kepala kami, tetapi tak pernah benar-benar bisa kami genggam dan rasakan.
Di tengah itu semua, banyak pebisnis dan kelas pekerja yang mulai kena dampak. Bisnis-bisnis travel mulai sepi pelanggan, dan gaji karyawan-karyawan mulai dipotong. Nilai jual rupiah terhadap dolar AS menjadi Rp16 ribu rupiah. Sementara itu, kami sama-sama bekerja di sektor industri yang infrastrukturnya masih rapuh. Saya bekerja di media massa yang bisa saja tiba-tiba gulung tikar dan mem-PHK karyawannya (halo Buzzfeed, Vice, hingga Beritagar), dan dia bekerja di sektor perfilman, lebih tepatnya pengembangan ekosistem film dokumenter (jangan bayangkan studio besar produsen film-film blockbuster ber-budget tinggi) yang kini semakin terseok-seok akibat wabah virus Corona.
Menurut para ilmuwan, wabah virus Corona tak akan berakhir dalam waktu dekat. Usaha social distancing bukan hanya perlu dilakukan selama 14 hari ke depan, tetapi mungkin lebih dari satu tahun lamanya. Krisis finansial pun mungkin tidak terelakkan. Ketika banyak sektor industri sudah kena dampaknya, kami berdua mungkin termasuk cukup “beruntung” karena masih diberikan waktu untuk khawatir dan menyiapkan safety net.
Ketika artikel ini selesai, batuk saya masih tak kunjung reda, tetapi ia dengan santainya masih minum dari gelas saya. Kami menyesalkan pembatalan rencana ke taman akuarium untuk merayakan anniversary dan mulai kangen menonton film di bioskop. Tentu kami khawatir akan menularkan virus Corona kepada satu sama lain atau orang-orang terdekat, mengkhawatirkan nasib pekerjaan masing-masing di masa mendatang, dan apakah nantinya kami akan punya cukup uang untuk menyewa kontrakan bersama. Kekhawatiran-kekhawatiran datang dan pergi, sembari kami berkutat dengan tenggat pekerjaan di depan mata.
* Andari Kusuma adalah seorang jurnalis di Jakarta yang senang menonton dan mengulas film.