Isu Terkini

Sandingkan Ratu Elizabeth dan RA Kartini di Twitter, Kedubes Inggris Banjir Protes

Irfan — Asumsi.co

featured image
Twitter/UK in Indonesia

Cuitan Kedutaan Besar Inggris lewat akun @UKinIndonesia yang memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Ratu Elizabeth II dan Raden Ajeng Kartini dalam satu unggahan menuai pro-kontra dari netizen “burung biru”.

Dua perempuan besar ini memang lahir di tanggal yang sama, yakni 21 April. Namun, yang bikin pro-kontra adalah ketidaksetujuan netizen Indonesia atas komparasi yang dinarasikan cuitan tersebut kepada dua tokoh ini.

​Dalam utas Twitter yang dibuat dengan Bahasa Inggris, akun Kedubes Inggris memulai dengan unggahan bahwa ulang tahun adalah kesempatan untuk menyadari apa yang telah dilakukan dalam hidup seseorang dan menjadi inspirasi bagi orang lain atas keteladanan yang orang tersebut contohkan.

Kalimat ini mengacu pada peringatan kelahiran dua sosok perempuan penting untuk masing-masing negara. Ratu Elizabeth II untuk Inggris dan R.A Kartini untuk Indonesia, yang akun ini sebut sebagai dua perempuan terbaik dalam sejarah masing-masing negara.

Dalam utas tersebut, akun ini menyebut kalau Ratu Elizabeth di usia ke-95-nya, telah memimpin monarki Inggris selama hampir 70 tahun lamanya. Sejak dinobatkan sebagai ratu pada 1953, Ratu memegang jabatan tinggi dengan kerendahan hati, prinsip-prinsip yang baik dengan kecemerlangan, pelayanan berharga dan mengakui yang terbaik dalam diri orang lain, dan bertahan dari tantangan dan perubahan kearifan dan martabat.

Sementara R.A Kartini, disebut dalam utas itu, sebagai orang yang memperjuangkan perempuan, pemuda dan pendidikan. Ia membangun sekolah, memberdayakan perempuan dan pemuda, mempromosikan melek huruf, dan banyak lagi yang pada saat semua itu dilakukan, zaman masih sangat berbeda dengan hari ini.

Utas ini pun ditutup dengan cuitan apresiasi dan peringatan ulang tahun untuk apa yang telah ditorehkan keduanya di masing-masing negara. Utas juga mengajak untuk mengapresiasi seluruh perempuan yang ada di luar sana dengan semangat yang ditorehkan Ratu Elizabeth II dan R.A Kartini.

Dianggap Tidak Sepadan

​Namun netizen menyambut lain. Di kubu yang kontra, menilai kalau mengkomparasi Ratu Elizabeth II dengan RA Kartini tidaklah sepadan. Sebagian berpendapat, Ratu Elizabeth adalah ratu dari negara yang punya banyak negeri jajahan, sementara RA Kartini justru berasal dari negara jajahan yang berjuang untuk kesetaraan pendidikan di negeri terjajah.

Sebagian lagi menilai unggahan ini terlihat ironis. Soalnya, meski ketokohan dua perempuan ini disepadankan, namun dalam materi unggahannya, foto RA Kartini berada di posisi kanan bawah, tidak sejajar dengan foto Ratu Elizabeth muda yang ada di kiri atas.

Seorang netizen lain bahkan berkelakar sinis bahwa mungkin nanti Kedutaan Besar Inggris di Indonesia akan membandingkan Ratu Film Horror Indonesia, Suzanna dengan Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris yang si pencuit nilai menghantui kelas pekerja Inggris, hanya karena ulang tahun mereka kebetulan juga di tanggal yang sama.

​Meski demikian, dari rangkaian cuitan yang merespons negatif, ada juga sebagian kecil netizen “burung biru” yang menyebut hal ini hanya unggahan biasa karena kebetulan keduanya berulang tahun di tanggal yang sama.

Hingga Selasa (22/4/2021) pukul 10:43 WIB, unggahan tersebut disukai oleh 834 pengguna Twitter, dicuit ulang sebanyak 261 kali dan 1.192 yang mencuit ulang sambil memberi komentar. Meski komentarnya beragam, tetapi kebanyakan sepakat kalau menyamakan R.A Kartini yang berjuang untuk kesetaraan di negeri jajahan dengan Ratu Elizabeth II yang merupakan salah satu ikon dari negeri jajahan adalah hal yang tidak pantas.

Luka Sejarah?

​Kesadaran akan luka lama penindasan belakangan hadir, misalnya, lewat arus aksi Black Lives Matter. Aksi ini muncul di hampir seluruh wilayah di benua Amerika, Eropa, dan Australia. Aksi yang semula muncul sebagai solidaritas atas segregasi rasial dan perlawanan atas supremasi kulit putih di AS, kekinian justru berubah pada penyerangan simbol-simbol kolonial.

​Ikonoklasme lantas jadi manifestasi fisik gerakan ini. Meski tidak semuanya hancur, perusakan menyasar patung-patung pedagang budak seperti Edward Colston (Bristol); Robert Milligan (London); Sir Francis Drake (Plymouth), perwira Konfederasi AS Robert E. Lee (Montgomery), J.E.B. Stuart (Richmond), atau pahlawan nasional yang rasis seperti Winston Churchill (London); Colbert (Paris) dan Baden-Powell (Poole).

​Selain itu, Raja pembantai Leopold II dari Belgia (Antwerp, Gent, dan Brussels), patung penjelajah Christopher Colombus (Boston; Richmond; dan Galway, Irlandia) serta Henry Morton Stanley (Denbigh) juga jadi sasaran.

Terkait komentar yang marak, sejarawan yang juga penulis buku “Zaman Perang”, Hendi Jo menilai, Kartini pun sebetulnya tidak melawan pemerintah Hindia Belanda seperti, misalnya, Nyi Ageng Serang atau Cut Nyak Dien. Kartini dinilai layak sebagai pahlawan karena kritiknya terhadap posisi perempuan bumiputera yang selalu rendah hak-haknya dibanding kaum laki-laki. Secara sadar atau tidak sadar, pendirian itu malah sejalan dengan semangat politik etis pemerintah Hindia Belanda yang meniscayakan peran teknis manusia-manusia terjajah dalam sistem kapitalisme.

“Alih-alih menentang Hindia Belanda, dia malah memiliki hubungan baik dengan kalangan elite Belanda, salah satunya bersahabat karib dengan Rosa, istri dari pejabat Belanda yakni J.H. Abendanon. Menurut saya, polemik itu juga terjadi karena karena adanya ketidakpahaman terhadap sejarah sehingga salah memposisikan peran Kartini dengan Ratu Inggris dalam panggung sejarah,” ucap Hendi.

Kartini pun sebetulnya tidak melawan pemerintah Hindia Belanda seperti, misalnya, Nyi Ageng Serang atau Cut Nyak Dien.

Sementara terkait hubungannya dengan mental masyarakat pasca-kolonial, Hendi menilai justru biasanya keinginan untuk tampil serupa laiknya eks kaum penjajah lah yang menjadi bentuk mental sebagian masyarakat pasca kolonial. Namun, untuk generasi milenial mungkin akarnya sudah tercerabut. Jadi, sikap mereka yang kebarat-baratan hari ini tidak lebih sebagai salah satu bentuk konsekuensi mewabahnya budaya populisme Barat dan gencarnya provokasi media massa.

“Itu mestinya terkait dengan perkembangan global ya. Beda dengan situasi ketika satu atau dua generasi pasca terjadinya kolonialisme melakukan hal yang sama dengan acuan budaya Barat sebagai model. Ya itu mimikri, terminologi dalam poskolonialisme untuk masyarakat terjajah yang budayanya tercerabut dan menginginkan tampil justru seperti kaum yang menjajahnya. Secara ciamik kasus seperti itu pernah digambarkan kepada tokoh Hanafi dalam novel-nya Abdul Muis, “Salah Asuhan”,” ujar Hendi.

Permintaan Maaf

​Kurang lebih sepuluh jam setelah utas soal ulang tahun Kartini dan Ratu Elizabeth II diunggah oleh akun Twitter Kedubes Inggris, Kedutaan lantas menyampaikan permohonan maafnya. Lewat cuitan di akun yang sama, Kedubes Inggris di Indonesia meminta maaf atas unggahan yang memantik kontroversi.

Menurutnya, unggahan tersebut sebatas bentuk perayaan pada ulang tahun dua perempuan yang punya peran luar biasa di masing-masing negara.

Share: Sandingkan Ratu Elizabeth dan RA Kartini di Twitter, Kedubes Inggris Banjir Protes