Isu Terkini

Rupiah Kuat, Instrumen Keuangan Domestik Harus Siap

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia menghadapi pergerakan Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang begitu dinamis. Semenjak awal tahun 2018 hingga setidaknya awal bulan Oktober kemarin, Rupiah begitu terpuruk. Pada satu titik, bahkan Rupiah sempat menyentuh angka paling rendah semenjak Krisis Finansial Asia 1997-1998. Beberapa waktu kemarin, banyak pihak yang memanfaatkan momentum untuk kampanye politik. Namun, beberapa hari ke belakang ini, Rupiah justru kembali menguat.  Hari ini (15/11), Rupiah menguat hampir 1 persen hari ini, yaitu tepatnya di angka 0,98 persen. Apresiasi Rupiah ini membuat angka Rupiah sempat berada di level Rp14,640 per 1 dolar AS. Penguatan hari ini pun tidak main-main, karena penguatan hari ini telah menempatkan Rupiah menjadi mata uang dengan penguatan tertinggi di Asia.

Mengapa sekarang Rupiah dapat menguat kembali? Alasan pertama, seperti dilansir oleh CNBC Indonesia, adalah karena BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen. Hal ini diluar dugaan dari konsensus pasar. “Keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan BI untuk memperkuat upaya menurunkan transaksi berjalan ke batas aman. Juga untuk memperkuat daya tarik aset domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan,” ungkap Perry, dilansir oleh CNBC Indonesia.

Dari kenaikan suku bunga acuan ini, dampaknya adalah naiknya imbalan-imbalan investasi aset-aset berbasis Rupiah. Penanam modal senang dengan kondisi ini dan rajin memburu mata uang ,sehingga ketika demand meningkat, Rupiah akan menguat.

Tidak hanya kenaikan suku bunga acuan BI ini, mengutip dari CNN Indonesia, analis CSA Research Institute Reza Priyambada juga mengungkapkan bahwa pergerakan ini akan dipengaruhi dari sentimen dalam negeri, yaitu khususnya hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI). “RDG BI diharapkan dapat memberikan sesuatu yang positif untuk pasar,” tutur Reza, seperti dilansir CNN Indonesia.

Selain berbagai macam faktor langsung yang memengaruhi fluktuasi Rupiah, ada beberapa sentimen lain yang secara tidak langsung juga diprediksi akan memengaruhi pergerakan Rupiah dalam beberapa hari ke depan. Pertama adalah pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) tentang neraca perdagangan bulan Oktober 2018. Terkait pengumuman ini, pelaku usaha di dalam negeri sedikit mengalami perbedaan pendapat. Ada yang berekspektasi bahwa neraca kali ini akan defisit. Namun tak sedikit kalangan pengusaha Kamar Dagang Indonesia (Kadin) yang berpikir optimis bahwa neraca perdagangan dapat mencatatkan surplus. Kedua, sentimen tak langsung adalah kehadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Kehadiran ini diharapkan oleh banyak pihak dapat memberikan dampak positif untuk penanaman modal di tanah air, yang tentunya juga akan memperkuat Rupiah secara keseluruhan.

Setelah memahami mengapa Rupiah bisa menguat, tentu yang menjadi pertanyaan lanjutannya adalah apakah hal ini akan bertahan lama atau tidak? Sayangnya, tidak ada jawaban pasti mengenai hal ini. Tidak bisa diprediksi secara pasti apakah penguatan Rupiah akan bertahan lama atau tidak. Dinamika keuangan global yang berubah begitu cepat membuat prediksi seringkali meleset. Semisal, sekarang Indonesia menaikkan suku bunga acuan Bank Sentral, membuat insentif untuk menyimpan uang dengan Rupiah naik. Hal ini tentu akan memperkuat Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Menghadapi hal ini, Amerika Serikat tentu tidak akan tinggal diam. Belum lagi, dalam menentukan naik turunnya Rupiah, yang dilihat tidak hanya satu variabel, tetapi ada variabel-variabel lain yang membuat naik turunnya Rupiah akan semakin sulit diprediksi terkait ketahanannya. Yang jelas, jika ingin mempertahankan penguatan Rupiah ini, Bank Sentral dan para pelaku privat harus siap menghadapi tekanan eksternal dengan persiapan dan strategi yang tepat.

Share: Rupiah Kuat, Instrumen Keuangan Domestik Harus Siap