Budaya Pop

Romantisasi Kenangan ala Kapten Tsubasa

Derick Adeboi — Asumsi.co

featured image

Serial televisi Kapten Tsubasa sudah menjadi bagian penting bagi generasi millennial Indonesia semenjak penayangan perdananya di Indonesia pada awal 2000-an. Banyak referensi dari anime ini yang terbawa ke kehidupan sehari-hari: duet Tsubasa-Misaki untuk menunjukkan kekompakkan pemain dalam sebuah tim sepakbola, tendangan Hyuga untuk menggambarkan sebuah tendangan keras, hingga topi Wakabayashi yang sempat gandrung dipakai para pemain di posisi kiper pada masanya.

Penerimaan yang begitu hangat pada Kapten Tsubasa tentu karena demografi para penonton Indonesia yang juga menempatkan sepakbola di daftar nomor satu olahraga favorit. Simbiosis antara fantasi yang dibawa Kapten Tsubasa dengan kecintaan publik Indonesia pada sepakbola, membawa anime ini membekas di hati banyak penonton, terutama generasi millennial.

Kini Tsubasa Ozora muncul dalam versi anime terbaru, yakni Captain Tsubasa 2018. Ia telah tayang di Jepang dan sudah sampai di episode ke-7. Kalau tidak salah, ini jadi versi anime keempat Tsubasa setelah versi 1983, 1994, lalu 2002. Di Indonesia sendiri hanya dua versi yang tayang, yakni 1983 dan 2002.

Kalau diperhatikan, dari dua versi ini secara cerita memang tidak banyak berubah—kecuali penambahan materi cerita selepas Tsubasa lulus SMP. Perbedaan versi 1983 dan 2002 terletak pada percepatan alur cerita. Captain Tsubasa versi 1983 begitu lambat, sampai-sampai menjadi bahan guyon di sini, karena ada kalanya butuh dua episode bagi pemain untuk menendang bola, dengan ekstra flashback tentunya. Beda total dengan versi 2002 yang pace-nya begitu cepat dan secara artistik lebih tegang ala-ala serial anime action.

Lalu bagaimana dengan versi terbaru, versi 2018? Jelas berbeda dari tiga versi sebelumnya. Kalau boleh dihitung dengan gap 16 tahun semenjak versi 2002, disertai evolusi sinematografi anime di Jepang, versi ini menghadirkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan versi sebelumnya: romantisasi kenangan para penonton.

Formula penayangan dengan menggenjot spirit romantisasi kenangan belakangan memang sedang ngetren kembali. Digimon Adventure Tri yang tiga tahun terakhir rilis memakai karakter dari seri Digimon pertama (Daichi-Agumon, Yamato-Gabumon, dsb) dan berhasil memperoleh kesuksesan. Lalu Dragon Ball Super yang menghadirkan kisah Son Goku dan kawan-kawan setelah belasan tahun tak muncul, juga laku keras. Maka, pilihan Studio David Production dan Saluran TV Tokyo untuk memproduksi kembali serial Kapten Tsubasa yang punya banyak penggemar tentu sangat rasional.

Plot awal cerita tentu sudah akrab di kepala: Tsubasa pindah ke Prefektur Shizuoka, lalu bergabung dengan tim sepakbola Nankatsu yang dikapteni Ishizaki. Sampai episode ke-7, cerita berada di tengah-tengah pertandingan Nankatsu versus Shutetsu. Cukup lambat bila dibandingkan versi 2002, yang pada episode ketujuhnya sudah mencapai pertandingan tingkat regional.

Dengan alur cerita yang sedikit lambat, terasa mirip dengan Kapten Tsubasa versi jadul—1983. Bedanya, suguhan animasinya cukup baik, meskipun tak bisa dibilang sangat bagus. Setidaknya kondisi pertandingan terasa lebih realistis, tidak seperti versi 1983 dengan karakter yang dianimasikan seperti berlari jauh, namun ternyata hanya seperempat lapangan. Tidak juga seburu-buru versi 2002 yang kurang detil.

Kejeniusan Kapten Tsubasa versi 2018 justru terletak pada adegan-adegan dramatis yang terasa diromantisasi. Pada episode pertama, kedekatan Tsubasa pada bola diceritakan begitu dramatis. Saat kecil Tsubasa ditabrak mobil, namun diselamatkan oleh bola sepak yang ia peluk, yang meredam efek hantaman mobil. Semenjak saat itu ia bersahabat dengan bola. Upaya peromantisasian Tsubasa dengan bola tak pernah nampak di versi-versi sebelumnya.

Romantisasi juga terjadi pada episode ke-5 saat pertemuan pertama Tsubasa dan Misaki di persimpangan jalan. Sebagai penonton, saya ingat betul betapa berkesannya duet Tsubasa Misaki di versi-versi sebelumnya; tentulah saya menantikan pertemuan mereka di versi 2018 ini.

Dan, tebaklah, pertemuan ini diromantisasi begitu hangat. Dengan latar sore hari, Tsubasa tengah mendribel bola ditemani Roberto Hongo, lalu Misaki ditemani ayahnya; tak sengaja mereka berpapasan. Latar musik dengan piano dan string section yang dramatis masuk, Misaki berbicara dalam hati, begitu terkagum pasa Tsubasa dan dribelnya, namun tidak sempat menyapa Tsubasa yang belum dikenalnya itu. Hati penonton mana yang tak meleleh melihat adegan ini?

Rasanya saya tidak siap mental kalau peromantisasian ini terus dilakukan. Kita bahkan belum tiba pada betapa tragisnya kisah keluarga Kojiro Hyuga. Belum juga masuk ke kisah penyakit Jun Misugi.

Saya jadi teringat, Kapten Tsubasa memang serial olahraga yang penuh dengan kisah dramatis para tokohnya. Kini, kisah dramatis itu bisa naik dua kali lipat nilainya untuk para penonton. Meskipun sudah mengetahui bagaimana sebagian besar cerita akan berjalan, tapi mengikuti kembali momen-momen dramatis itu lewat versi baru di 2018 ini adalah pengalaman yang sangat manis.

Rencananya, Captain Tsubasa 2018 ini akan dibagi menjadi dua musim, dengan masing-masing musim diisi 26 episode. Dan, tentu saja, penayangan anime Tsubasa ini bukan sekadar untuk mencari momen nostalgia aja, tapi juga sekaligus merayakan Piala 2018 di Rusia.

Derick Adeboi adalah mahasiswa program magister Cultural Studies Universitas Indonesia

Share: Romantisasi Kenangan ala Kapten Tsubasa