Isu Terkini

Resep Sukses Selandia Baru Menangani Pandemi COVID-19

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Awalnya mereka tak banyak diperhatikan. Selagi dunia kelabakan mencari strategi terbaik untuk melawan pandemi COVID-19, banyak mata tertuju pada Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Namun, diam-diam Selandia Baru membuktikan bahwa mereka punya siasat jitu untuk menghentikan laju pandemi tersebut.

Menurut data terkini dari Johns Hopkins University, terdapat total 1.472 kasus positif COVID-19 dan 19 kematian di Selandia Baru. Namun, jumlah kasus COVID-19 baru di Selandia Baru menurun secara konsisten sejak 5 April 2020, saat 89 kasus baru tercatat dalam sehari. Akhir pekan lalu, Selandia Baru sempat mengumumkan bahwa tidak ada kasus baru sama sekali dalam sehari. Senin (27/4) lalu memang ada kasus baru, tapi jumlahnya “hanya” 5 orang.

Terang saja, baru-baru ini Perdana Menteri Jacinda Ardern mengumumkan bahwa negaranya telah “memenangkan pertarungan” dengan COVID-19 untuk sementara waktu. Pada jumpa pers yang sama, ia mengumumkan bahwa aturan lockdown akan dilonggarkan. 400 ribu warga Selandia Baru dapat kembali bekerja, dan ekonomi negara beroperasi lagi dalam kapasitas 75 persen.

Mengapa penanganan COVID-19 di Selandia Baru begitu efektif? Apakah mereka punya resep jamu kiwi yang begitu mujarab menangkal petaka? Tentu saja tidak. Pemerintah mereka cepat tanggap, berani mengambil strategi yang agresif dan berisiko, serta menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Sejak awal pandemi, Selandia Baru punya keuntungan tersendiri. Pertama, pandemi COVID-19 termasuk “telat” sampai ke negara tersebut. Kasus COVID-19 pertama di Selandia Baru tercatat pada 28 Februari 2020, sebulan lebih setelah kasus COVID-19 pertama di AS pada 20 Januari 2020. Selain itu, posisi negara tersebut yang terpencil membuat mereka tak banyak menerima arus orang dari luar negeri.

Di sisi lain, infrastruktur kesehatan mereka termasuk medioker. Pada 25 Februari, Kementerian Kesehatan mereka mengumumkan bahwa cuma ada 173 ranjang UGD di seantero Selandia Baru. Bila ranjang lain–misalnya dari departemen kardiologi–dialihkan ke UGD, total mereka menanjak jadi 563 ranjang UGD.

Menurut prediksi pakar penyakit menular Dr. Siouxsie Wiles, sekitar satu dari enam orang akan perlu dirawat di RS bila terjangkit COVID-19. Lima persen dari mereka perlu dirawat di ICU. Maka, Kemenkes Selandia Baru memprediksi bahwa bila jumlah kasus COVID-19 di Selandia Baru melampaui angka 24,000 kasus, jumlah ranjang UGD mereka tak akan cukup.

Jumlah ranjang perawatan kritis di Selandia Baru cuma 4.7 ranjang per 100,000 orang–jauh di bawah Australia (8.9 per 100,000 orang), apalagi Jerman (30 per 100,000 orang) dan Italia (12.5 per 100,000 orang). Walau tentu, angka ini masih jauh di atas Indonesia, yang cuma punya 2.7 ranjang UGD per 100,000 orang.

Masalah lainnya: mayoritas penerbangan ke negara-negara kepulauan Pasifik berangkat dari Selandia Baru. Seperti yang sudah kami bahas, negara-negara tersebut tak punya infrastruktur kesehatan yang memadai. Jika satu saja kasus COVID-19 masuk ke wilayah tersebut, populasi mereka bisa lenyap. Artinya, Selandia Baru punya “tanggungjawab” tak tertulis untuk membentengi tetangga-tetangganya di Pasifik. Jika mereka ambruk, tetangga-tetangganya ikutan.

Pada mulanya, strategi Selandia Baru mirip dengan hampir semua negara di dunia. Belajar dari pengalaman menghadapi pandemi influenza 1918, mereka melakukan taktik mitigasi. Fokus pemerintah ada pada “flattening the curve” dan menetapkan pembatasan sosial yang ditingkatkan secara berangsur sesuai dengan pertumbuhan kasus. Jika kondisi bertambah parah, baru negara melakukan lockdown.

Dalam strategi mitigasi, pemerintah berusaha “menunda” laju pertumbuhan virus sebisa mungkin, sampai fasilitas kesehatan negara ditambah sehingga mencukupi untuk mengkarantina pasien positif, atau vaksin ditemukan. Sederhananya, mereka mengulur-ulur waktu sampai negara bisa merespon dengan semestinya.

Namun, Selandia Baru merasa langkah ini tak cukup. Ada beberapa penyebab: pertama, COVID-19 berbeda dengan influenza. Masa inkubasi virusnya 5-6 hari, jauh lebih lama dari influenza (1-3 hari). Artinya, secara teori, bila pasien positif diketahui sesegera mungkin, ia dapat dikarantina sebelum ia menyebarkan virusnya ke orang lain. Mereka pun belajar dari ragam respon pemerintah terhadap COVID-19 di Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, serta keadaan di negara-negara Eropa yang menerapkan strategi mitigasi.

Pengamatan mereka bikin khawatir. Negara-negara seperti AS dan Inggris yang infrastruktur kesehatannya jauh lebih bagus dari Selandia Baru saja kelabakan menghadapi pandemi ini. Ekonomi mereka pun berlipat-lipat dari Selandia Baru, tetapi mereka sudah ketar-ketir setelah dua bulan lockdown. Selandia Baru tak mungkin kuat menapaki langkah yang sama dengan mereka. Mereka harus mencari jalan lain.

Akhirnya, Selandia Baru mengambil kesimpulan berani. Kalau mereka agresif, pandemi ini seharusnya bisa dihajar dan dimatikan sejak jumlah kasusnya masih sedikit. Bila semua orang bermain dengan strategi bertahan ala Mourinho, Selandia Baru harus bermain menyerang sejak awal dan berharap mencetak gol duluan.

Apakah strategi ini berisiko? Jelas. Tapi di mata mereka, ini satu-satunya jalan.

Pada 23 Maret 2020, Jacinda Ardern mengeluarkan maklumat mengejutkan. Selandia Baru tidak akan menerapkan strategi mitigasi bencana. Mereka akan menerapkan strategi eliminasi. Dalam strategi mitigasi, pembatasan sosial dan lockdown diterapkan secara berangsur dan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah kasus. Dalam strategi eliminasi, langkah ini dibalik. Protokol gawat darurat diterapkan sejak awal.

Pada 25 Maret, seluruh negara di-lockdown, padahal baru ada 102 kasus dan belum ada satupun orang yang meninggal. Semua sekolah dan tempat kerja yang tak esensial ditutup, orang-orang dilarang berkumpul secara fisik, dan perbatasan negara ditutup. Kondisi gawat darurat level 4 diumumkan.

Upaya untuk melacak, mengisolasi, dan mengkarantina pasien positif COVID-19 dan semua orang yang berkontak dengan mereka dikoordinir oleh negara. Jika terdapat transmisi lokal pandemi COVID-19, aturan physical distancing atau bahkan lockdown massal ditetapkan.

Seperti dijabarkan The New Zealand Medical Journal, terdapat lima langkah kunci dalam strategi eliminasi. Pertama, kendali ketat atas perbatasan dengan fasilitas karantina berkualitas dan wajib untuk pendatang dari luar negeri; kedua, deteksi kasus cepat dengan tes massal, disusul isolasi, penelusuran kontak, dan karantina; ketiga, kampanye kebersihan diri massal dan penyediaan fasilitas kebersihan diri di ruang publik; keempat, penerapan physical distancing dan menutup ruang-ruang publik; terakhir, strategi komunikasi yang terkoordinasi dengan baik untuk mendidik publik.

Tentu saja, eliminasi bukan berarti virus SARS-COVID-19 lenyap sepenuhnya dari wilayah Selandia Baru. Sasaran dari strategi eliminasi adalah setiap kasus baru bisa dilacak, dikarantina, dan ditangani. Setiap orang yang berkontak dengan pasien bisa ditelusuri dan dikarantina. Perbatasan dijaga ketat supaya arus keluar-masuk orang tidak berlebihan. Singkat kata, eliminasi berarti situasi sepenuhnya aman terkendali.

Selandia Baru punya rekam jejak baik “mengeliminasi” kasus. Sebelumnya, mereka telah mengeliminasi wabah cacar dan rubella. Pengalaman itu mengajarkan mereka bahwa untuk melakukan eliminasi, Selandia Baru harus punya tiga hal: sistem pengawasan laboratorium dan epidemiologi yang berkualitas tinggi; sistem kesehatan masyarakat yang efektif dan dapat menyediakan layanan berkualitas untuk setiap lapisan masyarakat; serta kemampuan untuk mempertahankan program kesehatan nasional serta menyesuaikan strategi secara cekatan.

Salah satu elemen kunci dari strategi pemerintah adalah komunikasi yang transparan dan rutin. Setiap hari, PM Ardern muncul di televisi dalam sesi briefing media yang ramai. Ia pun kerap muncul dalam sesi Facebook Live, menjawab pertanyaan publik dan menjelaskan strategi pemerintah. Dirjen Kesehatan Ashley Bloomfield pun banyak muncul di media dan dipuji karena responnya yang sederhana, berbasis ilmiah, dan jelas.

Pemerintah pun tidak bertindak secara dadakan. Aturan main lockdown sudah dijelaskan pemerintah sejak dua hari sebelum pemberlakuan, dan alasan di balik strategi tersebut dijabarkan secara runtut. Sebagai bentuk solidaritas dengan publik, PM Ardern dan seluruh Kabinet-nya memotong gaji mereka sebanyak 20 persen mulai dari April 2020. Bahkan, pemimpin oposisi mereka di Parlemen, Simon Bridges, juga ikut memotong gajinya sebanyak 20 persen.

Tentu saja, strategi ini juga punya dampak ekonomi jangka pendek yang berat. Bulan lalu, pemerintah Selandia Baru mengumumkan paket ekonomi khusus Coronavirus senilai 12.1 miliar dollar Selandia Baru untuk mendukung UMKM, menambah tunjangan dana untuk rakyat, membayar pekerja yang dirumahkan karena pandemi, dan meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan dan testing.

Jumlah paket ekonomi itu setara dengan empat persen GDP setahun Selandia Baru. Sebagai perbandingan, proporsi jumlah itu jauh melampaui paket ekonomi serupa dari Australia, Amerika Serikat, dan Inggris.

Paket ekonomi itu termasuk 235 juta dollar Selandia Baru untuk fasilitas kesehatan darurat–termasuk fasilitas tes, penelusuran kontak, dan peningkatan fasilitas klinik dan RS; 255 juta dollar untuk obat, vaksin flu, masker, dan kebutuhan medis lainnya; 5.1 miliar dollar untuk subsidi gaji bagi bisnis dan UMKM yang terdampak pandemi; 2.8 miliar dollar untuk tunjangan bagi lansia dan keluarga berpendapatan rendah; serta 126 juta dollar untuk mensubsidi cuti dan pekerja yang dirumahkan.

Bahkan dengan paket ekonomi seambisius itu sekalipun, Selandia Baru diprediksi akan tetap mengalami resesi. Retail NZ, misalnya, memprediksi bahwa lebih dari 10 ribu pekerja ritel bakal di-PHK dalam beberapa bulan ke depan.

Ekonom senior Brad Olsen pun merasa bahwa paket tunjangan ekonomi untuk UMKM perlu dicanangkan untuk jangka waktu yang lebih lama. Menteri Keuangan Grant Robertson baru-baru ini mengumumkan bahwa pada anggaran bulan Mei, pemerintah akan menyediakan paket ekonomi lanjutan.

Setelah lima pekan di-lockdown, Senin (27/4) lalu Ardern mengumumkan bahwa kondisi gawat darurat turun jadi Siaga 3. Ratusan ribu warga Selandia Baru dapat kembali bekerja secara berangsur, meski tempat kerja yang dapat menerapkan work from home masih diwajibkan untuk merumahkan pegawainya. Ekonomi kembali beroperasi, bahkan warga diperbolehkan pesan makanan dari restoran dan menghadiri pemakaman dengan hadirin terbatas.

“Kami melihat indikasi positif bahwa strategi eliminasi berjalan dengan baik,” tutur Dirjen Bloomfield. “Bukan berarti ada nol kasus, tetapi kita tahu dari mana setiap kasus berasal dan dapat melakukan penelusuran kontak.”

Meskipun begitu, Selandia Baru tetap tancap gas. PM Ardern menegaskan bahwa Siaga 3 bukan berarti negaranya bakal ongkang-ongkang kaki. Justru, ini jeda waktu untuk mengevaluasi seberapa efektifnya strategi agresif mereka selama lima pekan terakhir.

“Kami belum bisa santai,” tutur Ardern. “Tapi kami sudah bisa bernapas.”

Share: Resep Sukses Selandia Baru Menangani Pandemi COVID-19