Isu Terkini

Rektorat USU Pecat Semua Pengurus Pers Mahasiswa Karena Cerpen ‘LGBT’

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kebebasan pers kembali diusik. Kabar kurang mengenakan itu datang dari Sumatera Utara di mana situs suarausu.co milik Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (Persma Suara USU) sempat disuspensi dan tidak bisa diakses sejak Rabu, 20 Maret 2019 pagi. Hal itu terjadi setelah pihak rektorat USU meminta Persma Suara USU menarik kembali cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”.

Cerpen yang ditulis oleh Yael Stefani Sinaga tersebut bercerita tentang seorang perempuan muda yang jatuh hati dengan kawan perempuannya. Cerita yang mewakili kelompok LGBT ini terbit di website Persma Suara USU (suarausu.co) dan media sosial (Instagram) sekitar dua minggu lalu. Sayangnya, cerita ini menjadi bahan pembicaraan kampus ini malah berujung pada ancaman pembubaran Persma Suara USU oleh Rektor USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum.

Dalam pertemuan antara pihak rektorat USU dengan Yael selaku penulis dan pengurus Persma Suara USU di hari Senin (25/3) pukul 9 pagi, pihak rektorat sempat meminta kepada Persma Suara USU untuk menghapus cerpen tersebut. Namun, Persma Suara USU sendiri tetap pada pendiriannya bahwa cerpen itu sama sekali tidak bermasalah. Mereka juga menolak untuk mencopot cerpen tersebut dari situs Persma Suara USU dan hanya sempat mengarsipkan tautan yang ada di media sosial Instagram.

Usai pertemuan berakhir, portal suarausu.co justru ditangguhkan sehingga tidak dapat diakses. Suasana sempat keruh karena ada desas-desus bahwa pihak rektorak akan menarik legalitas Suara USU.

Rektorat Pecat 18 Anggota Persma Suara USU

Berdasarkan pantauan Asumsi.co hari ini, Selasa, 26 Maret 2019, situs suarausu.co pun sudah kembali normal dan cerpen terkait masih bisa diakses. Mirisnya, pertemuan antara pihak rektorat dan Suara USU justru berakhir buruk bagi jajaran anggota pers mahasiswa tersebut. Pihak rektorat justru memutuskan untuk memecat semua anggota Persma Suara USU yang saat ini berjumlah 18 orang.

Pihak rektorat juga memberikan tenggat waktu 48 jam, atau sampai hari Kamis, 28 Maret, kepada 18 anggota Persma USU untuk mengosongkan ruangan redaksi.

Hal ini disampaikan oleh Yael selaku penulis cerpen kepada Asumsi.co pada Selasa (26/3).

“Kemarin kan Senin (25/3), kami dipanggil rektorat. Jadi kami dimintai klarifikasi kenapa kami mempublikasikan cerpen-cerpen yang ada unsur pornografi dan LBGT-nya, begitu,” kata Yael.

Menurut Yael, pihak rektorat sudah bersedia mendengar pendapat dari semua anggota Persma Suara USU terkait cerpen yang ia tulis. Sayangnya, rektorat tetap tidak menyetujui jika cerpen yang bermuatan unsur LGBT dipublikasikan di media kampus. Mereka menganggap cerpen tersebut tidak sesuai dengan visi misi USU.

“Jadi akhirnya kami dimintai klarifikasi dan dimintai pendapat satu-satu, dan rektor masih kekeuh kalau cerpen yang kami publish ini tidak sesuai dengan visi dan misi USU. Jadi, akhirnya diputuskanlah semua kepengurusan Suara USU itu dibubarkan,” kata Yael yang juga menjabat sebagai Pimpinan Umum Suara USU.

Awalnya, rektorat berencana untuk membubarkan Persma Suara USU karena diterbitkannya cerpen kontroversial tersebut. Namun terjadi perubahan keputusan. Di akhir pertemuan, mereka memutuskan untuk memecat semua mahasiswa dari anggota kepengurusan tersebut. Sementara itu, situs dan cerpen yang dipermasalahkan tidak jadi diturunkan.

Yael sendiri mengatakan bahwa ia dan teman-temannya di Persma Suara USU belum berencana untuk melakukan perlawanan atau aksi apapun terkait kebijakan rektor tersebut. Mereka hanya akan menggelar diskusi terbuka di USU hari ini, Selasa, 26 Maret 2019, untuk membahas kebebasan pers.

“Hari ini (26/3) rencananya kami mau ngadain diskusi terbuka sih, sama seluruh mahasiswa USU, bahkan kami undang juga pihak rektorat, sastrawan, ahli bahasa, ahli hukum, supaya kita sama-sama bedah cerpen ini gitu lho, mana sih titik kesalahannya, sampai akhirnya gara-gara cerpen kami sampai mau dibubarkan gitu,” ujar Yael.

View this post on Instagram

A post shared by Pers Mahasiswa SUARA USU (@suarausu) on Mar 25, 2019 at 4:43am PDT

Persma Suara USU Tegaskan Cerpen Mereka Tak Salah

Yael menjelaskan bahwa pihak rektorak sudah meminta cerpen tersebut diturunkan sejak beberapa waktu lalu. Meski demikian, Yael dan jajaran pengurus Suara USU tetap bersiteguh bahwa cerpen yang bercerita soal karakter lesbian itu tidak memiliki unsur kesalahan.

“Kami bukan mengkampanyekan atau mempromosikan LGBT, tapi kami mau ngasih tau pesan bahwa jangan ada lho yang mendiskriminasikan golongan minoritas,” katanya. “Jadi itu yang sudah kami jelaskan. Tapi dari kemarin-kemarin pun pihak rektorat itu tetap kekeuh bahwa cerpen itu salah, LGBT itu dilarang, terus konten-konten itu enggak pantas dipublikasikan di ranah akademis, begitu kata mereka.”

Kini, Yael dan rekan-rekannya di Suara USU hanya bisa pasrah menanggung kebijakan rektorat yang memecat mereka. Yael mengungkapkan bahwa pihak rektorat akan merekrut anggota baru lagi untuk Persma Suara USU. Saat ini, 18 mahasiswa tersebut tinggal menunggu SK Pencabutan mereka dari jabatan pengurus Suara USU.

“Rektor cuma bilang kepada kami ‘Sudah kalian balik lagi lah jadi mahasiswa, baik-baik ajalah kalian belajar, nanti kepengurusan baru bakalan direkrut lagi.’ Jadi pihak rektorat lah yang akan merekrut semua anggota baru Persma USU,” kata Yael.

LBH Pers: Rektorat USU Intervensi Redaksi, Ancam Kebebasan Pers

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengatakan kepada Asumsi.co bahwa kejadian yang menimpa pengurus Suara USU adalah contoh yang kurang baik untuk iklim kebebasan pers, khususnya di lingkungan pers mahasiswa. Pemecatan jajaran pengurus USU tersebut jelas merupakan intervensi dari pihak luar terhadap redaksi.

“Sebenarnya kalau menurut saya sih ini bagian dari intervensi pihak luar redaksi terhadap redaksi. Sehingga ini begitu diintervensi, bisa jadi juga sebagai bentuk sensor terhadap karya jurnalistik, terlepas mereka itu adalah Persma atau pun bukan, tapi mereka sedang melakukan aktivitas jurnalistik,” kata Ade saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (26/3).

Menurut Ade, Persma harus dianggap sebagai investasi kebebasan pers yang bisa berkontribusi terhadap kemajuan kebebasan pers Indonesia, baik di masa kini dan di masa depan.

Selain investasi dalam hal kebebasan pers, Ade mengatakan bahwa pers mahasiswa memiliki peluang untuk memproduksi karya jurnalistik yang lebih berkualitas. Sebab, Persma cenderung independen dan tidak terlibat kepentingan politik dan bisnis dari pemilik modal.

“Kualitas produk pers dari Persma ini kan sebenarnya banyak orang yang berharap ini lebih berkualitas dibandingin pers-pers yang mainstream atau pers yang dianggap abal-abal. Makanya, tindakan pihak rektorat yang mengintervensi sampai akhirnya memecat anggota Persma USU, itu sangat bertolak belakang dengan kemajuan kebebasan pers,” ujar Ade.

Ade menegaskan, jika pihak rektorat menghargai kebebasan pers, seharusnya mereka tidak mengintervensi dan memecat seluruh anggota pengurus Suara USU. Menurut Ade, banyak mekanisme lain yang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Terutama dalam dunia jurnalistik yang memiliki mekanisme hak jawab, hak koreksi, dan lain-lain.

“Misalkan karya jurnalistik itu dianggap merugikan pihak tertentu, ya kemudian balas dengan tulis. Iklim itu yang sebenarnya harusnya dibangun. Konteks saat ini, akademisi ataupun kampus, lembaga akademik, mencontohkan iklim yang tidak baik untuk kebebasan pers dan ini berpotensi merembet ke Persma-Persma lainnya.”

Ade pun menyampaikan pesan kepada teman-teman Persma untuk meneruskan perjuangan dalam memproduksi karya jurnalistik yang baik.

“Dan saya yakin teman-teman di luar USU, akan banyak yang mendukung teman-teman Persma USU karena teman-teman memperjuangkan karya jurnalistik, dan untuk kebebasan pers itu sendiri.”

Share: Rektorat USU Pecat Semua Pengurus Pers Mahasiswa Karena Cerpen ‘LGBT’