Budaya Pop

Reda Gaudiamo: “Sapardi Djoko Damono Sangat Mencintai Kehidupan”

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Pagi-pagi sekali di hari Minggu (19/7), penyair Sapardi Djoko Damono meninggal dunia dalam usia 80 tahun.

Penulis dan penyanyi Reda Gaudiamo telah mengenalnya sejak 1980-an, saat ia dan rekan bermusiknya, Ari Malibu, turut serta dalam proyek musikalisasi puisi Sapardi. Album tersebut, Hujan Bulan Juni, dirilis pada 1989 dan berperan penting dalam memperkenalkan puisi-puisi Sapardi kepada khalayak luas. Sejak saat itu, Reda dan Sapardi berteman baik dan menjadi rekan kreatif.

Sehari setelah pemakaman, kami mengobrol dengan Reda tentang perangai Sapardi Djoko Damono, kelakar lucunya, dan hari-hari terakhirnya.

****

Seperti apa Pak Sapardi dalam kesehariannya?

Dia sebenarnya seperti yang kita lihat. Sangat relaks, bersahaja, nggak ada jaim-jaimnya, dan sangat terbuka pada ide dan hal baru apa pun. Di umur yang sudah lumayan, berapa banyak sih orang yang masih mau belajar nge-Zoom? Berapa banyak sih orang yang mau belajar main Instagram? Bahkan punya akun Instagram saja nggak ngerti keperluannya apa.

Beliau nggak sungkan untuk bertanya, “Reda, IG Story ini apa ya? Kenapa dia ada di sini? Gunanya apa?” Setelah saya jelaskan fungsinya, dia jadi main IG Story terus. Sebenarnya dia kekinian banget.

Dia bukan orang yang merasa, “Aduh, aku nggak boleh kelihatan nggak tahu. Mending aku diam saja daripada dianggap bodoh.” Dia nggak apa-apa dianggap tidak paham tentang sesuatu. Tapi terus dia nanya. Buat saya itu keren. Dia nggak pernah berhenti belajar apa pun dan kapan pun.

Sebaliknya pun begitu. Semasa dia jadi dosen, saya nggak pernah jadi mahasiswa yang duduk di kelasnya, tapi saya merasa setiap ketemu saya pasti dapat ilmu. Dan dia nggak pernah menganggap pertanyaan saya bodoh. Dia nggak pernah bilang, “Haduh, pertanyaan kamu salah.” Dia selalu menjawab sehingga kita merasa pertanyaan kita cakep.

Berbagi buat dia seperti sudah ada dalam darah. Keren banget orang itu. Dan gue sebel banget dia harus pergi.

Sebel?

Mungkin ini egois, ya. Tapi aku ingin dia masih tetap ada. Kami masih bisa berbagi, kami masih bisa menyelesaikan proyek-proyek yang sudah direncanakan, tapi tertunda karena kemalasan dan kegiatan saya. Mungkin saya emosional.

Ketika melihat dia kemarin sakit, saya sadar dia orang yang sangat menikmati kehidupan. Dia sangat mencintai kehidupan. Dia seolah terus bilang: “Boleh nggak kematian saya diundur sedikit? Jangan sekarang, deh. Saya masih ada kerjaan, nih.”

Saya merasa sikap seperti itu ada juga di puisinya, misalnya di “Hatiku Selembar Daun” atau “Tuan, Tuhan Bukan?” Saya merasa kayak dia selalu bilang: “Lo mau jemput gue, ya? Entar dulu ya, gue lagi jalan-jalan. Nanti kalau sudah waktunya, kita ketemu lagi, deh.” Dia seperti terus menerus bernegosiasi agar bisa tinggal lebih lama.

Sampai Sabtu malam (18/7) saya pulang, dia masih bilang, “Mau ke mana kamu?” Pulang, Pak. “Oke, hati-hati.” Pertama kali nengok dia, dia bilang, “Kamu ke sini sama siapa?” Sendirian saja, Pak. “Waduh! Gawat! Haduh!”

Ketika ditanyai dokter pun, suaranya keras, nggak ada lemah lembutnya sama sekali. Pak Sapardi, bagian mana yang sakit? “Nggak ada,” katanya, agak ketus. Bapak mau apa? “Ya pulang! Buat apa lama-lama di sini? Ayo cepat!” Mungkin dokternya terintimidasi! [tertawa]

Dia kayak nggak mau berhenti, ya.

Iya, dia seperti tidak mau berhenti. Ketika tidur dia menceracau, kalau didengar baik-baik seperti ngomong, “Enggak, ini buat ini, bukan, ini gitu saja,” bertanya dan menjawab sendiri. Kepalanya seperti sibuk sekali dengan banyak hal, dengan berkas-berkas yang terbuka semua dan harus diselesaikan.

Menurut saya dia sangat mencintai hidup. Dan masih ingin menyelesaikan banyak hal.

Mbak ada di sampingnya pada saat terakhir?

Saya nggak ada di saat-saat terakhir. Saya cuma dengar cerita bahwa saat tutup usia itu… hidungnya dimasukkan alat untuk mengeluarkan cairan yang mampet dan membuat napasnya berbunyi grook-grook-grook.

Paginya, beliau masih minum teh manis bersama Bu Sonya [Sonya Sondakh, istrinya]. Ditanyai mau makan atau nggak, katanya nanti saja. Padahal tekanan darahnya sudah rendah sekali. Eh, begitu alatnya masuk ke hidung, tiba-tiba bunyi grook-grook hilang dan beliau flatline. Nggak ada aba-aba, nggak ada persiapan. He’s just gone.

Pada saat itu saya ditelpon Bu Sonya. Beliau bilang, “Bapak nggak ada respons.” Saya langsung bersiap ke sana lagi, terus pas mau berangkat ada misscall. Rupanya beliau sudah pergi.

Kalau boleh tahu, beliau sakit apa?

Komplikasi banyak hal. Sudah lama beliau mesti transfusi darah setiap bulan. Jadi, beliau HB-nya pasti merosot sangat rendah sehingga lemas banget, bahkan sampai pegang sendok saja sulit. Setelah transfusi darah terakhir bulan lalu, dia kelihatan lebih baik. Tapi dua minggu lalu tiba-tiba dia batuk-batuk nggak berhenti sampai sesak napas.

Dibawa ke RS, ternyata begitu dicek semua fungsi organnya menurun drastis. Dan itu mengejutkan kami semua. Kok bisa begitu, ya? Bukannya hal itu harusnya diketahui ketika check up kemarin?

Yang selama ini diketahui sakitnya itu hanya urusan HB darah yang turun drastis. Kami juga nggak tahu itu kenapa. HB-nya paling tinggi 10, pekan ketiga pasti sudah tinggal 6 dan dia mesti transfusi darah lagi. Setiap kali saya tanyakan pas mau transfusi darah, dia cuma bilang, “Santai saja, aku ini kan keturunan vampir. Kayak Brad Pitt itu, lho. Nah, ini sudah waktunya aku cari mangsa.”

Setiap ditanya soal kesehatannya, beliau selalu berkelakar ya?

Iya, karena dia nggak mau membahas itu. Dia juga nggak tahu sakitnya kenapa. Dokter juga masih terus mencari. Sampai beliau nggak ada pun kami nggak tahu kenapa HB-nya turun merosot begitu.

Apa yang Mbak Reda rasakan selepas kepergian beliau?

Pagi ini saya bangun dengan rasa sedih, kosong, dan banyak sekali penyesalan. Saya kesal karena saya terlalu malas, terlalu penunda, jadi sebel sama diri sendiri.

Ada juga rasa menyesal karena tidak menginap di RS saat malam terakhirnya. Tapi saya pikir memang seharusnya saya pulang. Karena itu saat yang baik buat Pak Sapardi kumpul bertiga saja dengan keluarganya.

Malam minggu itu, saya dan Bu Sonya berdoa minta yang terbaik buat Bapak. Bukan terbaik buat kami, tapi buat Bapak. Mungkin ini jawabannya.

Bagi Mbak Reda, apa warisan beliau untuk Indonesia?

Dia mendekatkan sastra pada kita semua. Menurut saya, beliau bersungguh-sungguh ingin mengenalkan puisi lewat musik dan lagu. Memang sudah dilakukan musisi lain seperti Bimbo, tapi saya pikir Pak Sapardi begitu konsisten. Ketika mendapatkan dana hibah untuk membuat album Hujan Bulan Juni, album itu disebarkan ke berbagai penjuru dan dijual dengan harga sangat murah. Bahkan ketika ada yang membajak, dia diam saja meskipun itu sangat menjengkelkan. Karena dia tahu pembajakan itu juga membantu penyebaran puisi.

Dengan puisi beliau tersebar, puisi dan karya penyair lain ikut terbawa. Dia mengenalkan puisi yang ditulis dengan kata-kata sederhana, seperti main-main, tapi sebenarnya serius. Kalau orang bilang dia tidak bicara isu sosial, mungkin harus baca lagi Ayat-Ayat Api atau Arloji. Dia marah terhadap kondisi sosial, tapi dia punya cara yang lain.

Itu bentuk kita memahami kata. Bahwa untuk marah tidak harus dengan kata-kata kasar dan keras, bahwa untuk sedih tidak harus mendayu-dayu atau mewek. Dia membuat kata berfungsi dengan baik dan kita percaya pada maknanya.

Orang bisa dengan akrab mengambil sebaris-dua baris buat dijadikan kutipan di kartu undangan atau untuk nembak orang. Berapa banyak anak muda yang mau melakukan itu dengan karya penyair Indonesia? Sebelumnya, kebanyakan yang diambil kan puisi luar negeri. Setelah puisi Pak Sapardi, anak muda mulai ngulik lagi. Puisi jadi akrab dengan kita.

Share: Reda Gaudiamo: “Sapardi Djoko Damono Sangat Mencintai Kehidupan”