Sejarah

Raja “Ramyeon” Korea Meninggal, Ini Sejarah Mie yang Jadi Andalannya

Irfan — Asumsi.co

featured image
Tangkapan layar Youtube Yummyboy

Shin Choon-ho,
pemilik merek mie instan 
Nongshim asal Korea
Selatan,

meninggal dunia pada
27 Maret 2021. Penyebabnya adalah penyakit kronis yang sudah lama

diidapnya. Di kancah
industri mie instan, pria yang meninggal di usia

91 tahun ini
menancapkan legasinya dengan menyajikan 
ramyeon, atau

biasa dilafalkan
sebagai ramyun, dalam versi yang mudah dibuat.

Layaknya mie instan,
mie khas Korea ini cukup dikeluarkan dari

kemasannya kemudian
direbus beberapa menit dan ditaburkan bumbu

pelengkap sebelum
disantap. Memulainya di tahun 1980-an, Shin memimpin

tim periset yang bereksperimen
pada bermacam-macam rasa. Ia mencicipi

lebih dari 20 tipe
cabai sebelum kemudian meluncurkan 
Shin Ramyeon, 

yang kini merajai
produk mie instan di negara asalnya. Bahkan, setelah

lebih dari tiga puluh
tahun, 
Shin Ramyeon identik sebagai sinonim dari

mie instan Korea.

Saksi Bisu Dampak Perang Saudara

Tetapi, dari
kehangatan dan rasa pedas menggugah selera yang ditawarkan

ramyeon, makanan berkuah ini
menjadi saksi bisu dari bengisnya Perang

Korea yang dimulai
pada 1950 sampai 1953.

Perang antar-sesama
Korea, yang menyebabkan kepulauan Korea terpecah menjadi Selatan dan

Utara, tidak hanya
menyisakan daftar panjang korban jiwa dari semua

pihak, tetapi juga
kemiskinan dan kelaparan. 
Ramyeon datang menjadi

penyelamat.

Christina Ji Young
Chang, dalam “
The Role of Korean Ramyeon” (2018),

menulis, bahwa ramyeon baru dikenal pada tahun 1963 sebagai makanan
yang murah. Mengutip “Ramyun:
An Introduction and History of Korea’s

Favorite Noodle
” di laman snackfever.com, makanan ini
dipercaya baru

dikenal pada 1963
sehubungan dengan produksi 
ramyeon pertama yang

dibuat oleh sebuah
perusahaan bernama Samyang milik Jung Yun Jeon.

Ramyeon secara harfiah
berarti mie dalam kaldu pedas yang sering

ditambahkan dengan kimchi atau telur. Kondisi Korea yang hancur
setelah Perang Korea
memang membuat penduduknya hanya punya sedikit

waktu untuk membuat
makanan dan sedikit uang untuk berbelanja. Sifat

ramyeon yang mudah
dibuat dan murah mampu mengisi kesenjangan

kebutuhan penduduk
akan persediaan makanan kala itu.

Yujin Choi, dalam “Ramen
Again?: The Meaning of Ramen in Korean

Culture
” menulis kalau ramyeon cenderung menjadi
simbol dari kaum papa di Korea pada era 60 sampai 70-an. Simpati orang bisa
bangkit

kala mendengar ada
orang lain yang bercerita bahwa dia makan ramyeon

hampir sepanjang
hari. Sementara beras, justru merupakan simbol

kemakmuran. Dan
mereka yang mampu memakannya setiap kali makan

dianggap istimewa.

Karena ketahanan dan
kesederhanaan memasaknya, ramyeon sampai saat ini

juga dijatah sebagai
makanan darurat di Korea. Bersama dengan

kebutuhan pokok
lainnya, ramyeon kerap didistribusikan sebagai makanan

pokok di daerah yang
terkena bencana alam atau dalam proses

penyelamatan.

Selama insiden
penyeberangan kapal Sewol pada tahun 2014, misalnya,

ribuan ramyeon
dibagikan ke tempat penampungan darurat agar semua

orang dapat segera
mengkonsumsi makanan dan melanjutkan pekerjaan

penyelamatan.
Berton-ton ramyeon terkadang dikirim juga ke Korea Utara

sebagai bagian dari
upaya kemanusiaan.

Namun, seiring
berlalunya waktu dan banyak orang di Korea yang dapat

memasuki kelas
menengah, ramyeon perlahan-lahan mulai mengalami

pergeseran. Makanan
ini mulai terintegrasi sebagai hidangan umum di

Korea dan bahkan
mewujud dalam budaya populer.

Terinspirasi dari Jepang

Tidak dimungkiri
kalau ramyeon adalah versi Korea dari ramen Jepang.

Mie ramen sendiri
menjadi populer pada pertengahan tahun 1800-an di

Jepang sebagai
adaptasi dari mie gandum Cina, tetapi baru

diperkenalkan ke
Korea setelah Perang Korea.

Meski diadaptasi dari
ramen Jepang, ramyeon memiliki

beberapa perbedaan.
Di antaranya, jika ramen tradisional Jepang bisa

dibuat segar atau
instan dalam kaldu yang terbuat dari ayam, babi,

daging sapi atau
makanan laut, maka ramyun sejak diperkenalkan pertama

kali, memang sekadar
makanan sederhana.

Mie ramen instan
sendiri, sudah diperkenalkan lebih dulu pada 1958

oleh Momofuku Ando di
Jepang. Dia mengeringkan mie berbumbu dalam

panas minyak untuk
menciptakan tekstur mie instan, yang memungkinkan

mie dihangatkan
kembali dalam air panas dalam hitungan menit dan

mempercepat proses
pembuatan dan makan mie. Cara konsumsi yang

revolusioner ini
membedakan ramen dari mie tradisional manapun, dan

dengan cepat menyebar
ke seluruh Asia, Eropa dan belahan dunia

lainnya.

Kekinian, mengutip
artikel “Ramen and Ramyun in Korea” yang ditulis

Jee Young Kim pada
2018, orang Korea membedakan definisi berbeda

antara ramen dan ramyeon.
Ramen berarti makanan mie tradisional khas

Jepang yang sering
dijajakkan di restoran Jepang, sementara ramyeon

mengacu pada mie
instan atau mie gelas.

Popularitas Nongshim dan Ramyeon
Dalam Budaya Populer

Sejak diperkenalkan
pada 1963, memang tidak butuh waktu lama untuk

ramyeon menjadi makanan rakyat. Data pada 2018 menunjukkan, ramyeon
dikonsumsi oleh satu
orang Korea sebanyak 70 sampai 90 porsi per

tahunnya.

Nongshim yang didirikan oleh Shin pada 1980-an menjadi salah satu
“biang
keroknya”. Cukup dalam waktu 10 tahun, Shin Ramyeon yang dia

produksi bisa
diekspor ke luar negeri seiring industri ramyeon Korea

yang terus bergerak
maju. Meski baru 58 tahun sejak dimulainya ramyeon

Korea pertama,
mengutip Christina Ji Young Chang dalam “The Role of

Korean Ramyeon
” (2018), industri ini telah menjadi salah satu rezim
ekspor Korea yang
paling menonjol dan bagian dari DNA budaya Korea.

Rezim ekspor ramyeon
Korea yang sekarang terkemuka, pertama kali

dimulai dengan
mengekspor jenis mie instan ini ke negara-negara

tetangga Asia,
seperti Cina, Jepang, dan Korea Utara. Tanggapannya

sangat positif
sampai-sampai saudara Korea mereka di Utara menggunakan

ramyeon sebagai penggugah nafsu makan.

Popularitas ini
lantas melesat lewat invasi budaya Korea ke seluruh

dunia. Setelah orang
menyukai Korea lewat K-drama atau K-pop, maka

mereka mulai ingin
tahu lebih banyak tentang Korea. Makanan jadi salah

satunya. Dan Ramyeon
menjadi salah satu yang dipilih selain kimchi.

Lebih jauh lagi,
ramyun mengalami perluasan makna tidak hanya dalam

makanan. Makna
mengonsumsi ramyun bagi mahasiswa, misalnya, bisa menjadi

metafora kemalasan
dan kesepian. Pada 2013, makna ini dikisahkan pada

lagu bertajuk “Ramen
Again?
” yang dibawakan oleh duo pop Akdong

Musician.

Di tahun yang sama,
melalui tayangan Korean Saturday Night Love,

ramyun juga berubah
menjadi pick-up line untuk merayu. Ungkapan “Do

you want to eat some ramyun
before you go?
” secara metaforis akhirnya
memiliki arti yang
sama dengan “Do you want to stay overnight and have

sex?
”. Frasa ini kemudian menjadi viral di kalangan dewasa muda.

Namun, dari semua
kegilaan orang Korea pada ramyeon, sulit untuk

menyangkal fakta,
bahwa makanan ini tak memiliki gizi yang baik seperti

junk food pada umumnya. Jika konsumsinya tinggi, bukan tidak mungkin
ramyun memicu
obesitas, faktor risiko kardiometabolik, dan gagal

jantung karena
kekurangan nutrisi dan natrium.

Jadi, meski kamu suka
ramyeon, tetap perhatikan porsinya ya!

Share: Raja “Ramyeon” Korea Meninggal, Ini Sejarah Mie yang Jadi Andalannya