Budaya Pop

‘Sedih Akutu…’ Sebuah Kontemplasi Wisata Selfie (yang Plagiat)

Nadia Vetta Hamid — Asumsi.co

featured image

Enggak ada yang lebih menyedihkan dari membuat karya seni turun nilainya menjadi obyek selfie semata—plagiat pula!

Ada beberapa istilah populer yang saya benci: “zaman now”, “akutu” (y’all can just use “aku tuh”! Ini apaan? Anak kutu?), “kekinian”, dan yang terakhir “Instagramable”.

Tapi, enggak ada yang bikin saya lebih kesal dari mendengar jargon “wisata selfie”. Ya, ada tempat-tempat baru di Indonesia yang dengan sengaja mengusung jargon tersebut dan mendukung selfie culture!

Pelaku pertama adalah Rabbit Town di Bandung, Jawa Barat. Tempat ini tadinya adalah rumah pribadi pendirinya, Chairman dan CEO Kagum Group Henry Husada. Karena rumahnya ini terlalu besar, ia jadikan tempat wisata bertema kelinci, karena itu shionya. Memang, Rabbit Town juga memiliki area di mana pengunjung bisa melihat patung-patung kelinci, bermain dengan kelinci serta hewan lainnya, namun nampaknya mereka lebih terkenal dengan seabrek background untuk selfie yang ternyata… plagiat.

Plagiatnya juga enggak nanggung-nanggung, lho! Ada KW-an The Obliteration Room karya Yayoi Kusama, Urban Light karya mendiang Chris Burden (meskipun diklaim mirip Vermonica karya Sheila Klein), Richmond Virginia Wings (mamma zus) karya Colette Miller, dan juga beberapa aspek dari Museum of Ice Cream (MOIC), proyek pop-up di Amerika Serikat yang bertemakan es krim dan makanan penutup lainnya.

BACA JUGA: 7 Spot Selfie di Rabbit Town yang Diduga Plagiat

Pelaku kedua adalah Ice Cream World yang berada di Yogyakarta dan Bali. Kalau “wisata selfie” yang ini secara konsep dan isinya plek ketiplek sama dengan MOIC: Tiket masuk sudah termasuk es krim dan bebas foto-foto di studionya sampai ngambek-ngambekan sama temen kalian karena minta difotoin melulu. Tentunya, obyek-obyek foto di Ice Cream World juga plagiat, dong.

Menariknya, obyek MOIC yang dicontek oleh Rabbit Town dan Ice Cream World ada yang sama. Di antaranya: Ice Cream Light, Kolam Sprinkles, dan Banana Split—ruangan yang berisi puluhan ribu pisang plastik yang digantung. Ini mereka ngejiplaknya kok enggak janjian sih? Jadi kembaran gini, kan?

Lampu-lampu dengan hiasan ice cream cone di Rabbit Town yang sama dengan Ice Cream Dreams di Museum of Ice Cream Los Angeles. Foto: Yuli Saputra

Namun sejauh-jauhnya kelinci melompat, ia akan tertangkap juga. Netizen Indonesia pun ramai nge-mention akun Los Angeles County Museum of Art (LACMA), museum di mana Urban Lights berada; akun MOIC; dan juga menyebut nama Yayoi Kusama di Instagram. Kini, Rabbit Town bahkan memblok siapapun yang mention atau menyebut nama-nama tersebut di kolom komentarnya.

Kalau kata akun spesialis plagiator di dunia fashion dan seni, @diet_prada, dengan memblok orang-orang yang mention akun @lacma, Rabbit Town enggak sesuai dengan vibes pantai barat Amerika Serikat yang santai kayak di pantai. Padahal udah capek-capek membawa rasa LA ke Bandung!

A post shared by Diet Prada ™ (@diet_prada) on Mar 23, 2018 at 9:10am PDT

Enggak heran kalau kalian ngepoin akun Rabbit Town maupun Ice Cream World, yang ada hanya komentar-komentar macam “Kuy kita ke sini”, “ayo ke sini njir”, atau “Akutu pengen ke sini yang :(“

Kedua tempat ini mungkin kayak bikin usaha ayam geprek, terus kalian menjiplak resep dan desain merek ayam geprek yang terkenal lalu dijual dengan harga yang lebih murah. Atau kalian bikin usaha sepatu tapi desainnya ngejiplak brand lokal lainnya. Analoginya bisa diganti jadi apapun, sih, asalkan nyambung.

Begini, enggak ada yang ngelarang kalian selfie. Paham juga kok dengan sindrom FOMO (Fear of Missing Out atau takut ketinggalan zaman) dan pengin dianggap hits di Instagram, foto-foto di background lucu kayak selebgram favorit kalian di luar negeri. Lagian mirip banget kan, ngapain jauh-jauh ke Los Angeles!

Lagi pula, orang-orang yang ke museum seni maupun pameran lukisan pun juga banyak yang melakukan swafoto. Saya sendiri juga pernah selfie di depan lukisan atau obyek seni favorit. Sebagai bukti saya pernah melihat langsung karya seni tersebut, saya minta difotoin deh di depannya. Ya kali enggak foto di depan lukisan Claude Monet atau di dalam Infinity Room-nya Yayoi Kusama!

Apa yang dilakukan oleh Rabbit Town dan Ice Cream World ini bukannya membuat Indonesia makin bangga dengan obyek wisata alternatif, tapi malah menjadikan kita bulan-bulanan media dan skena seni internasional. Menurut seniman asal Bandung, Syagini Ratna Wulan, kontroversi Rabbit Town bahkan menjadi pertanyaan untuk para seniman Indonesia yang mengikuti Hong Kong Art Basel akhir Maret lalu.

Enggak hanya itu, yang juga fatal adalah nilai dan pandangan dari seniman bersangkutan diturunkan nilainya hanya menjadi sebagai obyek selfie. Udah gitu, diplagiat pula! Sedih, akutu… Udah capek-capek mikirin ide, dibuat dengan sepenuh hati untuk merefleksikan pikiran atau kegundahan si senimannya, eh ujung-ujungnya dijiplak sama oknum enggak bertanggung jawab di belahan bumi lainnya dengan tujuan komersil.

Kita memang enggak bisa (sepenuhnya) menyalahkan orang-orang yang dengan bangga mengunggah selfie mereka di kedua tempat tersebut. Bisa jadi mereka memang enggak tahu mengenai plagiarisme fatal ini. Kalau pun mereka tahu obyek selfie-nya plagiat, kembali ke analogi ayam geprek dan sepatu: pilihan untuk membeli barang KW, ya ada di konsumen.

Harusnya yang bikin Rabbit Town sama Ice Cream World jangan ngejiplak dari awal, lah. Kalau masih ada akal sehat, yang mendesain tempat-tempat selfie itu harusnya malu karena telah menjiplak karya yang jelas-jelas sangat ikonik. Masak membodohi masyarakat sih? Kasihan dong mereka. Udah gitu, kredibilitasnya sebagai kreator jadi hilang. Kalau balik lagi ke analogi ayam geprek dan sepatu, brand lo dicap sebagai plagiator brand-brand yang sudah lebih dulu terkenal.

Lagi pula, saya rasa sebagian kelas menengah ngehe Indonesia udah mulai sadar mengenai apresiasi seni. Meskipun enggak bisa dijadikan tolak ukur juga, kehadiran Museum MACAN di Jakarta Barat menjadi salah satu buktinya. Antreannya saat akhir pekan bisa menyaingi antrean wahana Halilintar di Dufan saat hari libur, kok! Meskipun mayoritas pengunjung menganggap museum seni ini sebagai “wisata selfie” juga, sih.

Dengan kelas menengah yang makin “melek” seni, seniman lokal pun juga berperan besar untuk mengedukasi masyarakat mengenai apresiasi seni. Seenggaknya kita maju ke depan meskipun kini masih baby steps. Kalian bisa cari tahu lewat akun media sosial seperti media gaya hidup Manual Jakarta atau galeri-galeri di kota kalian untuk acara-acara bertema seni.

Sekarang kembali ke diri kalian masing-masing, apakah masih mau ke Rabbit Town atau Ice Cream World. Sementara itu, di Bandung, Yogyakarta, dan Bali, juga banyak tempat yang memamerkan karya seni original yang dibuat oleh seniman-seniman ternama Indonesia. Bisa selfie, tambah pengetahuan dan mendukung seniman lokal pula. Win-win! So, the choice is yours.

Nadia Vetta adalah penulis apa saja, mulai dari postingan media sosial hingga skrip film. Suka ke galeri atau museum seni karena menurutnya bisa bikin kalem. Follow dia di Twitter @nadiavetta

Share: ‘Sedih Akutu…’ Sebuah Kontemplasi Wisata Selfie (yang Plagiat)