Isu Terkini

PPKM Level 4 ‘Dine in’ Dibatasi 20 Menit, Bisa Diimplementasikan?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Priscilla Du Preez/ Unsplash

Pemerintah resmi memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 di beberapa wilayah di Jawa dan Bali hingga 2 Agustus mendatang. Bedanya, dengan PPKM Darurat lalu, pemerintah memberikan sejumlah penyesuaian yang melonggarkan. Salah satunya, boleh makan di tempat maksimal 20 menit.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Melalui siaran langsung di YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (25/7/2021), Jokowi menyebut pelonggaran makan di tempat ini ditunjang dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan jam buka yang dibatasi sampai pukul 20.00.

“Warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan dan sejenisnya yang memiliki tempat usaha di ruang terbuka, diizinkan buka dengan protokol kesehatan yang ketat sampai pukul 20.00 dan maksimum waktu makan setiap pengunjung 20 menit,” kata Jokowi.

Dalam konferensi pers yang digelar pada hari yang sama, satu jam setelah pernyataan Presiden, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menjelaskan sedikit lebih detil. Menurutnya, selain diperbolehkan buka sampai pukul 20.00 dan makan di tempat buat pengunjung maksimal 20 menit, pengunjung juga dilarang banyak bicara selama di dalam.

“Dan kami sarankan selama makan, karena tidak memakai masker, jangan banyak berkomunikasi,” ujar Luhut

Siapa yang bertanggung jawab memantau pengunjung yang makan di tempat?

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah kepada Asumsi menyebut sulit mengimplementasikan aturan ini. Yang ada malah menimbulkan kebingungan baru di publik.

“Menurut saya dari segi kebijakan publik ini kebijakan yang enggak terarah jadinya. Terus seperti asal-asal saja. Bayangkan aja, persoalan 20 menitnya saja sudah ruwet. Kalau orang ngopi, 20 menit itu belum lama kopinya dingin dan baru bisa diminum,” kata Trubus.

Menurut dia, bisa saja ada warung yang bisa menerapkan hal itu. Tetapi belum tentu yang lain. Trubus mencontohkan, di daerah Jakarta Pusat, ada rumah makan sekelas warung Tegal yang untuk menunggu dilayani saja bisa memakan waktu hampir 30 menit. Maka bagaimana bisa aturan ini diberlakukan di tempat seperti itu.

Penyebutan warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan dan sejenisnya juga berpotensi menimbulkan kebingungan lain. Apakah tiga jenis tempat makan ini saja yang bisa menerapkan di tempat atau juga tipe rumah makan? Kalau pemberlakuannya terbatas, justru bisa menjadi kecemburuan.

“Jadi kebijakan ini tidak implementatif. Cenderung seperti orang frustasi. Karena kebingungan ya sudah saja dilepas,” kata dia.

Selain sulit untuk mengawasi batasan makan di tempat, dan siapa yang bertanggung jawab atas itu, Trubus juga menanyakan bagaimana penindakannya.

“Masak ada yang nungguin dua puluh menit? Nanti tiba-tiba dibubarkan, ‘ayo kamu keluar sudah 20 menit’, apa dasarnya? Kalau ada pelanggaran bagaimana? Saya juga tidak setuju Satpol PP menjadi penyidik, karena selama ini (penindakannya) hanya berdasar asumsi,” ucap dia.

Trubus menyebut saat ini memang menjadi saat yang berat buat semua. Di satu sisi pemerintah didesak untuk melonggarkan PPKM karena ekonomi masyarakat sudah semakin sulit. Di sisi lain, kondisi pandemi masih jauh dari membaik. Anggaran pemerintah pun minim sehingga sulit memenuhi kebutuhan masyarakat kalau karantina wilayah diberlakukan.

Namun, aturan seperti ini juga tidak bisa begitu saja dianggap sebagai solusi yang baik. Untuk membuka lagi rumah makan saja, banyak pelaku usaha kuliner yang sudah kadung habis modal. Tanpa bantuan yang tepat sasaran, tidak mudah membuat mereka bangkit. Aturan yang tidak jelas ini juga berpotensi membuat pemilik usaha kuliner jadi korban.

“Pemilik ini bisa jadi pihak yang dikorbankan, ketika jadi pelanggaran di situ, Satpol PP misalnya datang, digerudug. Nanti dipanggil pemiliknya. Padahal sedari awal aturannya yang sulit diimplementasikan di lapangan,” kata dia.

Trubus pun menyarankan, ketimbang memperbolehkan makan dengan batasan waktu, alangkah lebih masuk akalnya jika pengunjung yang datang dibatasi. Misalnya 20 persen dari total kapasitas ruangan.

“Ini baru bisa dilakukan. Jelas tolok ukurnya. Kalau dibatasi makan 20 menit siapa yang bisa memastikan?,” ucap dia.

Pertanyaan yang sama juga disampaikan Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman. Menurut dia, pelaksanaan aturan baru ini akan sangat lemah di lapangan. ” Siapa yang memantau? Siapa yang memonitor? Kalau enggak ada monitoring, balik lagi dong seperti sebelumnya,” kata Dicky.
Maka semestinya, dari pada membuat aturan baru yang tak masuk akal, Dicky menyarankan untuk tetap memberlakukan aturan seperti sebelumnya sampai kasus benar-benar menurun. “Kerja dari rumah atau WFH 80-90 persen untuk ASN, pegawai swasta, dan BUMN. Itu yang harus dilakukan. Jika harus mengawasi makan di tempat 20 menit, maka siapa yang akan memantau?,” ucap dia.
Aturan terkait

Sementara itu, mengutip Instruksi Menteri Dalam Negeri terbaru, yaitu Inmendagri Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 dan Level 3 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali pelaksanaan makan di tempat ini baru terbatas untuk warung makan saja.

Selain aturan 20 menit, pengunjungnya juga dibatasi maksimal tiga orang.

“Pengaturan teknis berikutnya diatur oleh Pemerintah Daerah,” tulis aturan tersebut dalam Inmendagri.

Sementara restoran/ rumah makan, kafe, dengan lokasi yang berada dalam gedung tertutup baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun berlokasi pada pusat perbelanjaan seperti mal hanya menerima take away saja, tidak menerima makan di tempat.

Share: PPKM Level 4 ‘Dine in’ Dibatasi 20 Menit, Bisa Diimplementasikan?