Isu Terkini

Potensi Pemakzulan dalam Konflik Menkumham vs Walkot Tangerang 

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Perselisihan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly dengan Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah berlanjut dan semakin panas. Kabar terbaru, keduanya bahkan saling lapor ke pihak kepolisian. Selasa (16/07/19), Kemenkumham lebih dulu melaporkan Arief ke Polres Metro Tangerang terkait masalah perizinan pembangunan di atas lahan milik Kemenkumham di Kota Tangerang. Sementara Arief juga melaporkan Kemenkumham ke Polres Metro Kota Tangerang, pada sore hari juga pada hari yang sama atas tuduhan pelanggaran tata ruang.

Kronologi Konflik Menkumham vs Wali Kota Tangerang

Konflik antara Kemenkumham dengan Pemkot Tangerang jadi sorotan usai Menkumham Yasonna saling sindir dengan Walkot Arief. Awalnya Yasonna menyindir Arief soal izin mendirikan bangunan (IMB) di lahan milik Kemenkumham di Kota Tangerang yang tak kunjung terbit.

Sindiran itu dilontarkan Yasonna saat peresmian Politeknik Ilmu Pemasyarakatan dan Politeknik Imigrasi di kawasan pusat pemerintahan Kota Tangerang, Selasa (09/07) lalu. Selain itu, Arief juga disindir karena mewacanakan lahan Kemenkumham sebagai lahan pertanian.

Kemudian, ia langsung membatah tudingan Yasonna. Soal IMB yang belum terbit, Arief mengatakan, ada urusan administrasi yang sulit sehingga menghambat izin itu. Ia menjelaskan bahwa tidak terbitnya IMB disebabkan lokasi bangunan bertentangan dengan aturan tata ruang Provinsi Banten.

Selain itu, lokasi tanah Kemenkumham itu diperuntukkan lahan pertanian. Karena itu, Arief ingin berbicara lebih lanjut dengan Yasonna untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, sebelum status peruntukan tanah itu jelas, Yasonna sudah meresmikan bangunan tersebut.

Sementara itu, Yasonna mengatakan, saat membangun politeknik, pihaknya sudah berupaya berkomunikasi dengan Pemkot Tangerang. Dalam proses pengajuan izin, pihaknya juga sudah mengirim surat resmi, namun Yasonna menyebut tak ada jawaban dari Pemkot Tangerang.

Sindiran Menkumham itu juga membuat Arief tak terima. Ia akhirnya menerbitkan surat perintah Nomor 593/2341-Bag.Hukum/2018 yang ditandatangani pada Rabu, 10 Juli 2019. Surat itu tentang nota keberatan dan klarifikasi Wali Kota atas pernyataan Menkumham.

Secara garis besar, melalui surat itu, Arief memutuskan untuk menghentikan layanan umum pengangkutan sampah, perbaikan drainase, serta perbaikan dan penerangan jalan di pemukiman penduduk yang berada di atas lahan milik Kemenkumham, tepatnya perkantoran di Kompleks Kehakiman dan Pengayoman, Tangerang.

Namun, belakangan, kebijakan itu direvisi. Penghentian tersebut hanya diterapkan untuk perkantoran milik Kemenkumham di Tangerang. Arief sebetulnya sempat bertemu dengan Yasonna setelah rapat terkait pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa lalu (16/07). Pada kesempatan itu, keduanya sepakat untuk melakukan silaturahmi di waktu yang lain.

Namun, pada prosesnya keduanya akhirnya saling lapor ke pihak kepolisian. Pelaporan itu salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah antara Pemkot Tangerang dengan Kemenkumham melalui kepolisian.

Wali Kota Tangerang Bisa Saja Kena Impeachment

Ahli Hukum Tata Negara Jimmy Usfunan melihat bahwa aksi saling lapor antara Menkumham dengan Walkot Tangerang itu bisa saja berakhir dengan impeachment atau pemakzulan. Sesuai Pasal 385 KUHP, tindakan penyerobotan tanah bisa diancam pidana penjara selama empat tahun.

“Pertama, ada dugaan penyerobotan tanah, yang semula itu punyanya Kemenkumham, setelah itu dibangunlah oleh Pemerintah Kota Tangerang itu tanpa seizin dari Kemenkumham. Misalnya di Jalan Sudirman, kemudian di kantor-kantor Cipta Karya yang dipakai Pemkot Tangerang di atas tanah Kemenkumham,” kata Jimmy saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (18/07).

Kisruh itulah yang akhirnya jadi polemik hingga terjadinya aksi Kemenkumham yang melapor ke polisi terkait penyerobotan tanah. Begitu juga sebaliknya Walkot Tangerang juga melaporkan Kemenkumham ke polisi.

“Nah ketika terbukti ada penyerobotan tanah yang dilakukan Pemkot Tangerang, secara ketatanegaraan itu akan mengaktifkan ketentuan pemberhentian untuk kepala daerah. Bisa impeachment alias pemakzulan, bisa juga pemberhentian biasa tanpa impeachment,” ucap pengajar di Universitas Udayana Bali itu.

Ketentuan pemberhentian kepala daerah itu sesuai Pasal 78 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut, Jimmy menyebut hal itu tergantung dari pembuktian nanti. Kalau misalnya itu sampai terbukti, maka Jimmy mengatakan Wali Kota bisa diberhentikan

Jimmy membeberkan setidaknya ada tiga alasan pemberhentian terhadap Walkot Tangerang. Pertama, dikarenakan tidak bisa melaksanakan tugas atau bekerja secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama enam bulan berturut-turut, ini berarti pemberhentian biasa bukan mekanisme impeachment.
Kedua, apabila ia membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan kelompok masyarakat. Ketiga, melakukan tindakan tercela.

“Dari ketiga alasan ini, alasan pertama proses pemberhentian dilakukan melalui cara penyampaian usulan oleh pimpinan DPRD kepada Menteri melalui Gubernur setelah diumumkan dalam rapat paripurna. Lalu, alasan kedua dan ketiga, itu bisa dilakukan tindaklanjut melalui mekanisme pemakzulan atau impeachment oleh DPRD.”

Soal pemakzulan ini, sesuai Pasal 80 UU Pemda, yakni DPRD menggunakan hak menyatakan pendapatnya diteruskan kepada Mahkamah Agung, jika dikabulkan, akan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri.

Jimmy juga menilai tak etis tindakan yang dilakukan Walkot Tangerang dalam menghentikan layanan publik seperti menghentikan layanan penerangan jalan umum, perbaikan drainase, dan pengangkutan sampah di lahan perkantoran milik Kemenkumham. Tindakan itu dianggap arogan, sewenang-sewenang, dan bisa merugikan publik.

“Itu secara etika tidak dibenarkan. Pertama, meskipun yang dimatikan itu pelayanan publik di sektor kompleks Kemenkumham, tapi yang menjadi persoalan kan ada warga negara kita yang tinggal di situ, WNI yang selama ini membayar pajak kemudian tidak mendapatkan pelayanan publik sebagaimana mestinya, ini kan menjadi persoalan

DPRD Harus Bersikap dalam Kisruh Menkumham vs Walkot Tangerang

Jimmy menilai perseteruan semacam ini bukan berarti hanya perseteruan antara Wali Kota dan Kemenkumham saja, namun juga mulai harus dipikirkan oleh DPRD. Bagaimanapun, lanjut Jimmy, DPRD juga ikut menyetujui penandatanganan Perda APBD tersebut.

“Sebab apabila ketika ia membangun sebuah kantor, kan pasti menggunakan dana APBD. Nah penggunaan dana APBD itu kan harusnya sesuai pada tempatnya, jangan sampai membangun di atas lahan yang bermasalah. DPRD juga harus bersikap aktif dalam menindaklanjuti kisruh antara Kemenkumham dengan Wali Kota Tangerang.”

Tak hanya itu, Jimmy menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga bisa berperan dalam perkara ini. Sebab, apabila nanti pihak Walkot Tangerang terbukti bersalah, maka dari situlah semuanya bisa ditelusuri.

“Apabila terbukti bersalah dan tanah itu memang milik Kemenkumham, lalu kemudian ada mekanisme kerugian keuangan negara dari penentuan APBD untuk pembangunan dan ternyata lahannya milik Kemenkumham. Itu kan ada potensi kerugian negara yang harus juga menjadi kajian dari BPK.”

Sebetulnya, Jimmy menilai perkara ini bisa saja diselesaikan secara musyawarah sehingga memunculkan win-win solution. Jika ditarik ke hukum pemerintahan, maka perkara ini berkaitan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sehingga nantinya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bisa menengahi karena sebagai induk dari pemda dan bisa mengambil keputusan.

“Tapi kalau seandainya itu tidak bisa dilakukan lewat mediasi maka akhirnya jalur pidana saling lapor itu yang dilakukan. Karena kan kalaupun misalnya mediasi pun bukan berarti tanah-tanah yang sudah dibangun oleh Pemkot Tangerang itu menjadi tanah-tanah milik Pemkot Tangerang, nggak bisa.”

Secara hukum, lanjut Jimmy, legalitasnya tanah-tanah itu merupakan milik Kemenkumham, yang kemudian dibangun dulu oleh Wali Kota Tangerang. “Setelah dibangun baru mereka minta dihibahkan tanah tersebut, jadi ini polanya seperti itu. Nah artinya win-win solution juga bukan berarti mengabulkan atau sama-sama mendapatkan hal-hal yang sesuai dengan tuntutan masing-masing sehingga merugikan salah satu pihak dan merugikan aturan.”

Share: Potensi Pemakzulan dalam Konflik Menkumham vs Walkot Tangerang