General

Potensi Gelombang Golput dan Dampaknya di Pilpres 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Dalam beberapa hari terakhir, isu golput alias golongan putih kembali menguat terutama di lini masa sosial media seperti Twitter. Banyak yang tiba-tiba kecewa, merasa dikhianati, hingga lantas berhenti untuk memilih di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sebagian besar keputusan untuk golput itu muncul dari kalangan loyal dan terdidik yang katanya jengah dengan kepemimpinan yang ada.

Beberapa mengaku kecewa lantaran Jokowi mengizinkan pembebasan terhadap terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba’asyir pada Jumat, 18 Januari 2019 lalu. Menurut Jokowi, keputusan itu diambil berdasarkan pertimbangan yang panjang, termasuk soal keamanan dan kesehatan Abu Bakar Ba’asyir. Sayangnya, hal itu dianggap kurang tepat dan banyak pemilih yang akhirnya ingin golput.

Jauh sebelumnya, ajakan untuk golput di Pilpres 2019 pun sudah muncul terutama dari para pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang merasa kecewa dengan sikap Joko Widodo yang akhirnya memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Mereka kecewa lantaran Ma’ruf merupakan saksi yang memberatkan Ahok, atas kasus penistaan agama. Jokowi-Ahok merupakan pasangan Gubernur dan Wagub DKI Jakarta periode 2012-2014.

Menahan diri untuk tidak golput susah banget kali ini.— ???????????????????????????????????????????????? (@KuntoAjiW) January 19, 2019

Meninggalkan Jokowi bukanlah bentuuk pengkhianatan karena Jokowi sudah mengkhianati rasa keadian dengan memaksa kasus Ahok diproses cepat, menutup semua kasus Rizieq Shihab, bungkam thd aksi intoleransi dan persekusi minoritas, skrg dia bebaskan gembong teroris.

It’s a call!— Lusi (@LusiHQ) January 19, 2019

Gaya-gayaan banget pada mau golput, ntar kalau geng anu menang lagi baru nangis-nangis kirim bunga.

Realistis lah sebelum terlambat ????— Fajrina Maya (@fajrinamaya) January 20, 2019

Lalu, dengan kondisi seperti ini, apakah angka golput berpotensi meningkat di Pilpres 2019 nanti? Apa sebenarnya dampak yang bisa ditimbulkan jika angka golput benar-benar tinggi di hari pencoblosan nanti?

Catatan Golput dari Pemilu ke Pemilu

Siapa sebenarnya orang-orang yang memutuskan golput itu? Ya mereka yang punya hak pilih tapi secara sadar memilih untuk tak menggunakan hak pilih tersebut, dan mereka ini lah yang biasa disebut golongan putih alias golput. Perlu diketahui, golput ini selalu ada dalam setiap Pemilu. Bahkan, jumlahnya cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Tengok saja pada Pemilu 1999 lalu, di mana tingkat partisipasi pemilih mencapai 90 persen lebih. Lalu, setelahnya, golput selalu melebihi angka 15 persen dari jumlah pemilih pada Pemilu legislatif maupun eksekutif. Berlanjut ke Pemilu legislatif (Pileg) 2004, di mana jumlah golput mencapai 15,9 persen dan angka itu malah meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua. Angka golput saat Pilpres 2004 mencapai 21,8 persen dan 23,4 persen.

Kemudian pada Pileg 2009, jumlah golput bahkan meningkat pesat hingga 29,1 persen. Di Pilpres 2009, jumlah golput berada pada angka 28,3 persen. Sedangkan di Pileg 2014, jumlah golput mencapai angka 24,89 dan pada saat Pilpres 2014, angka golput mencapai titik tertinggi yakni 30 persen lebih dari jumlah pemilih.

Bagaimana Potensi Golput di Pilpres 2019?

Awal tahun ini atau tepat pada Selasa, 8 Januari 2019, Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terbaru. Di mana ada sebesar 9,2 persen responden yang belum menentukan pilihan dan 1,1 persen memilih untuk tidak akan memilih di antara keduanya atau golongan putih (golput). Angka ini memang tak besar, namun cenderung meningkat 0,2% jika dibandingkan hasil survei pada Oktober 2018 lalu yakni berkisar di angka sebesar 0,9%.

Pada kesempatan itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menjelaskan bahwa potensi masyarakat yang golput ke depannya paling sedikit mencapai 20%. Angka ini sendiri muncul dari jumlah orang yang telah memutuskan golput dan ditambah dengan mereka yang sama sekali belum menentukan pilihan (undecided voters). Perpaduan kedua kelompok ini memang berpotensi untuk mendongkrak jumlah golput di Pilpres 2019.

Selain itu, jumlah undecided voters dalam catatan hasil survei Indikator Politik Indonesia saat ini mencapai 9,2%. Menariknya, angka itu pun masih sangat mungkin bertambah dari kontribusi massa yang masih bisa berubah pilihan (swing voters) sekitar 14%. Jadi memang, jelang Pilpres 2019, potensi orang-orang untuk golput mulai bermunculan.

“Potensinya minimal ya 20-an persen pemilih golput, minimal kalau berkaca dari pengalaman sebelumnya,” kata Burhanuddin di kantornya, Jakarta, Selasa, 8 Januari 2019.

Apa Dampak Golput di Pilpres 2019?

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa angka golput memang berpotensi melonjak di Pilpres 2019 nanti. Berbagai alasan pun muncul kenapa akhirnya orang memutuskan untuk golput. Misalnya saja karena kecewa dengan salah satu paslon, atau sebagian masyarakat merasa pemilu tidak terlalu punya dampak ke kehidupan mereka, sehingga mereka memutuskan untuk golput.

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bakir Ihsan mengatakan bahwa orang-orang yang memutuskan untuk golput itu belum memahami dampak yang akan ditimbulkan nantinya. Bahkan, golput, menurut Bakir, bisa mengancam demokrasi di tanah air. “Golput merupakan ancaman bagi demokrasi. Bila mayoritas warga tidak memilih, maka akan terjadi kekosongan kepemimpinan dan berpotensi terjadi chaos, ekstremnya negara terancam,” kata Bakir kepada Asumsi.co, Senin, 21 Januari 2019.

Maka dari itu, Bakir mengatakan bahwa di beberapa negara, memilih pemimpin atau berpartisipasi dalam kontestasi politik itu merupakan kewajiban dengan segala konsekuensinya. Bahkan, lanjut Bakir, ada yang dikenakan denda apabila tidak memilih dalam sebuah pemilu. “Ya harus memilih. Kalau mau yang ideal memang tidak ada yang sempurna, itulah perlunya pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan pada semua level,” ujar Bakir.

Bakir pun menyoroti kerja partai politik yang jumlahnya sangat banyak namun minim dalam menghasilkan calon pemimpin berkualitas. Sehingga pada akhirnya hal itu membuat masyarakat pun berada di ujung dilema, antara tidak memilih atau terpaksa memilih salah satu meski tak disukai, lantaran tak banyak figur-figur yang bisa dijadikan pilihan untuk memimpin negara ini.

“Persoalan ketidaksesuaian antara idealisasi calon pemimpin dengan kenyataan tidak terlepas dari peran partai politik. Partai politik yang banyak hanya mampu melahirkan dua calon pemimpin dengan segala kelebihan dan kekurangannya, padahal masih memungkin sampai 4 calon,” ucap Bakir.

“Terlebih untuk kepemimpinan nasional hanya memungkinkan melalui partai politik. Karena itu, dengan tingkat partisipasi yang semakin menurun, partai politik harus bekerja maksimal untuk menguatkan kepercayaan masyarakat,” katanya.

Pada akhirnya, golput memang merupakan hak konstitusi setiap warga negara. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa untuk mendapatkan pemerintahan terbaik dari yang ada, juga merupakan hak setiap orang. Jadi, pada akhirnya jangan pernah menyalahkan siapa-siapa kecuali diri sendiri, jika kelak pemimpin yang tak dikehendaki malah terpilih sebagai pemimpin sah di negeri ini.

Banyak yang kecewa pada Hillary Clinton pada Pemilu AS 2016 lalu sehingga membuat sebagian besar masyarakat AS memutuskan untuk golput. Sayangnya, penyesalan memang selalu datang belakangan dan mereka yang memilih golput pada akhirnya menyesal ketika melihat fakta bahwa Donald Trump harus menjadi Presiden AS menggantikan Barrack Obama dan membuat citra AS turun di dunia Internasional.

Lalu, bagaimana dengan Pilpres 2019? Harusnya sih jangan golput ya, supaya tak ada penyalahgunaan kertas suara yang tak terpakai, lantaran ada yang golput itu, untuk kepentingan segelintir kelompok.

Share: Potensi Gelombang Golput dan Dampaknya di Pilpres 2019