General

‘Post-Truth’ di Tahun Politik

Rohmatul Izad — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Kabarnya, kobohongan itu paling banyak dilakukan oleh politikus. Para politikus umumnya sangat mudah mendistorsi suatu masalah, atau begitu gampangnya membolak-balikkan fakta. Yang benar lalu bukanlah fakta-fakta, tetapi apa yang menjadi kepentingan tertentu oleh politikus yang suka merumuskan kebijakan jangka pendek dan tidak memiliki nilai keberpihakan.

Post-truth (pasca-kebenaran) menandai hilangnya selera akan kebenaran. Banyak orang cenderung mengedepankan emosi dan logika ikut-ikutan. Fakta-fakta objektif lalu tak memiliki nilai apapun dalam membentuk opini publik. Justru luapan emosi dan keyakinan kelompok tertentu saja yang umumnya dominan. Hal ini paling tidak, menandai betapa kebenaran menjadi hal remeh-temeh, dipermainkan, dan tak lagi menjadi pegangan yang ideal.

‘Politik post-truth’, jika kita sepakat dengan istilah itu, adalah sebentuk politik dusta atau produk dari kebohongan-kebohongan politik. Para politikus yang tak bermartabat dan lemah moralnya, akan begitu gampang memproyeksikan kebijakan-kebijakan jangka pendek, demi sebuah kekuasaan yang menipu dan hasrat duniawi yang tak habis-habisnya.

Mereka mencari keuntungan diri sendiri demi suatu yang sebenarnya tak pernah mereka butuhkan. Hasrat seseorang memang kadang kala aneh, mudah sekali menjual martabatnya hanya demi uang dan kedudukan semata. Apalagi, dan ini yang sangat memilukan, begitu entengnya menjual agama melalui kesucian ayat-ayatnya.

Mengemas politik dusta dalam bungkus agama memang agak menjanjikan. Sebab rakyat kecil tak pernah tahu menahu soal urusan politik yang begitu rumit. Mereka hanya menyadari bahwa siapapun, katakanlah calon pemimpin, akan menjadi sangat ideal dan dianggap memiliki sikap keberpihakan ketika kepentingan tertentu dibungkus menjadi satu paket antara agama dan politik.

Ini yang paling menggemaskan, Tuhan yang dibungkus teologis atas nama ‘politik pasca-kebenaran’ seakan tersandera sedemikian rupa oleh kepalsuan-kepalsuan yang begitu tertata rapi. Kita lalu bertanya, politik macam apa ini? Yang begitu berani membawa-bawa keagungan Tuhan di area politik yang penuh kesementaraan ini.

Di tahun politik ini, fenomena ‘pasca-kebenaran’ begitu mudah melahirkan tafsir-tafsir politik yang penuh kekosongan. Rakyat digiring menuju harapan-harapan baru yang sebenarnya tak berpihak kepada mereka. Kita masih cukup ingat ungkapan Hitler dalam karyanya berjudul Mein Kampf, bahwa kebohongan jika dikatakan secara terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran oleh publik.

Persis pada keadaan inilah, kebohongan-kebohongan diproduksi oleh para politikus yang memanfaatkan ‘politik pasca-kebenaran’, sebagai senjata yang paling ampuh dalam menggapai tujuan-tujuan politiknya. Siapa sebenarnya para politikus itu? Tak lain dan tak bukan adalah mereka yang memanfaatkan agama untuk kepentingan tertentu dan mereka yang memanfaatkan rakyat kecil untuk keuntungan dirinya sendiri.

Kecenderungan ‘politik pasca-kebenaran’ memang sudah sangat memprihatinkan dan menyalahi akal sehat. Sehingga orang-orang yang memiliki akal pendek, akan mudah terperdaya oleh janji manis. Perjalanan demokrasi menjadi tidak sehat, apalagi perbedaan pendapat saja sudah sebegitu dikutuk. Padahal, negara ini dibangun oleh demokrasi yang siapapun bebas berpendapat dan boleh menjadi berbeda.

Ketika demokrasi tak berjalan secara semestinya, misalnya mencela pendapat orang lain yang berbeda, entah atas motif agama atau hanya perbedaan pilihan politik, maka saat itulah demokrasi menjadi dekaden dan mengalami kemuduran yang amat dalam. Apalagi, kecenderungan menyalahkan itu berangkat dari kelompok tertentu dengan tidak dibarengi oleh sikap yang kritis, maka yang muncul bukan kritik berbasis solusi, tetapi kritik yang merusak.

Di ranah politik, ‘pasca-kebenaran’ seakan sudah membentuk identitas-identitas baru. Meneguhkan identitas memang perlu, sebab ia adalah rumah di mana kita dapat hidup secara aman dan nyaman. Tetapi menjadi berbeda ketika sebentuk identitas justru cenderung membenarkan dirinya sendiri dan menyingkirkan lainnya yang dianggap bersalah dan mengancam identitasnya. Tindakan semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya bagi keberlangsungan hidup di tengah keragaman dan perbedaan.

Di tahun politik ini, perbedaan pendapat dan dukungan seakan sudah lumrah, dan memang seperti itu perayaan demokrasi sesungguhnya. Orang boleh berbeda pendapat secara tajam dan pada akhirnya akan diuji pendapat mana yang paling relevan untuk menjawab problem-problem yang sedang dihadapi dan sejauh mana pendapat itu mampu menjadi kebijakan politik instrumental yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama. Bukan malah merusak dan menciderai pendapat lawan.

Persaingan-persaingan yang sehat haruslah lebih ditumbuhan, rakyat juga harus lebih bisa bersikap kritis dalam mengolah informasi yang didapat. ‘Politik pasca-kebenaran’ seringkali tumbuh subur di area media komunikasi dan jejaring sosial, maka sikap kritis dan bijak itu menjadi penting agar bangsa ini tak mudah terpecah-belah oleh kebenaran semu yang seringkali diteriakkan.

Jika Indonesia ini adalah bangsa yang besar, maka rakyatnya harus memiliki pemikiran-pemikiran yang besar pula untuk membangun harapan-harapan baru. Tanpa dikendalikan oleh kelompok tertentu yang mementingkan dirinya sendiri, atau dikendalikan oleh semacam kebohongan yang darinya kebenaran seakan menjadi permainan dan tak lagi bernilai.

Politik adalah arena kita bersama, siapapun boleh terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, dalam membangun kemajuan, kita perlu menumbuhkan sikap politik yang sehat dan bermartabat. Indonesia terlalu mulia jika harus menjadi korban oleh mereka yang menjadikan ‘politik pasca-kebenaran’ sebagai instrumen yang sama sekali tak memihak dan justru merendahkan hakikat kebenaran yang selama ini menjadi pegangan kita bersama.

Rohmatul Izad adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.

Share: ‘Post-Truth’ di Tahun Politik