General

Politisasi Pesantren, Tren dan Kesengajaan yang Diaminkan

Baqi Maulana Rizqi — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), secara umum menjelaskan bahwa “pelaksanaan, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang: (h). menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” seperti yang termuat dalam pasal 280 ayat 1. Di dalam UU Pemilu juga megatur soal sanksi pidana bagi seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu, aturan pelanggaran yang dilakukan pada saat Kampanye sendiri tertuang pada pasal 521. Pasal tersebut menjelaskan bahwa ‘setiap pelaksanaan, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu sengaja melaggar larangan pelaksaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf d, huruf e, huruf f, huru g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. Regulasi beserta sanksi soal pelanggaran-pelanggaran kampanye yang dilakukan dengan cara menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan sebetulnya sudah tersusun secara rapih dan jelas.

Hal ini selaras dengan masifnya kegiatan kunjungan capres dan cawapres peserta Pemilu 2019 ke beberapa tempat pendidikan seperti pesantren di Indonesia. Fenomena ini melahirkan persepi bagi masyarakat yang berujung pada pro dan kontra. Apalagi isu ini ramai diberitakan oleh sejumlah media cetak maupun elektronik yang memuat berita kegiatan kunjungan ke sejumlah pesanten di Indonesia.

Padahal pesantren pada umumnya digunakan umat Islam Indonesia pada umumnya masih menjadikan pesantren sebagai pilihan utama tempat pendidikan putra-putrinya di samping sebagai tempat bertanya, berkonsultasi, beserta meminta nasihat dan doa guna mengatasi problem hidup. Di sana, para santri (sebutan bagi murid-murid yang belajar di pesantren) tinggal bersama Kiai dan belajar di bawah bimbingannya. Uniknya, tiap pesantren biasanya memiliki keunikan tersendiri dalam menyelenggarakan pendidikan.

Kedekatan yang tercipta antara kiai dan para santri mengingat banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama membuat terciptanya hegemoni yang kuat dari kiai. Hegemoni ini terkadang memberikan implikasi non logis bagi masyarakat. Penyebabnya bisa dikatakan karena kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Istilah kiai di Indonesia tidak hanya mengandung muatan makna ahli agama, tetapi juga memiliki muatan sosiologis-antropologis. Ketokohan kiai merupakan ciri khas dalam masyarakat pesantren, ini terjadi karena kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik tapi individu kiai sendiri merupakan gelar yang tercipta melalui teologis.

Adapun ulama atau kiai juga memiliki tempat yang spesifik di masyarakat khususnya umat islam. Tidak hanya karena proses historis tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi dan struktur pemukiman penduduk yang ada. Hubungan antara kiai dan umatnya sangat dekat, dan kiai memiliki peran dominan dalam kehidupan umatnya.

Sekarang, kiai-kiai yang tinggal di pesantren banyak yang menjadi “sasaran kampanye”. Pesantren yang dulunya lekat dengan berbagai bentuk pengajaran norma, sekarang mulai berubah menjadi sarana untuk kampanye. Banyaknya kujunngan ke pesantren yang dilakukan pasangan capres-cawapres peserta Pemilu 2019 menuai beragaman persepsi. Peluang terjadinya politisasi pesantren sangat terbuka. Pasalnya keterlibatan kiai dalam bidang politik menunjukan partisipasi dan bentuk dukungan kepada satu kekuatan politik tertentu. Dalam relasi sosio-kultural umat islam di Indonesia, kiai memiliki kedudukan dan posisi penting dalam membina dan menata kehidupan sesuai kapasitasnya sebagai pewaris nabi (waratsat al-annbiya).P peran kiai yang seharusnya menampilkan sosok yang bersih, berilmu, dan bermoral ini akan sirna manakala kiai sudah berpihak pada kubu-kubu tertentu dalam kekuatan politik.

Michael Rush dan Philip Althof menyebutkan bahwa partisipasi dalam bidang politik terdiri dari bentuk pasif dan aktif yang terususun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi politik hingga kepada member dukungan financial dengan jalan membayar iuran keanggotaan. Partsisipasi aktif para kiai dalam politik tentunya akan melahirkan implikasi tersendiri, baik kepada kiai, pesantren, santri, maupun masyarakat luas. Fenomena maraknya kebebasan berpolitik ini ditandai dengan munculnya elite-elite baru dan naiknya kiai di pentas politik bukanlah hal baru, akan tetapi situasi tersebut semakin marak pasca lengsernya rezim Orde Baru.

Pasca reformasi ini dapat dikatakan bahwa keterlibatan kiai-kiai terhadap politik mengalami peningkatan yang signifikan, respons masyarakat terhadap politisasi pesantren memang terlihat masih mendukung sepenuhnya bagi kiai untuk berpolitik. Namun sebagian masyarakat yang mempertanyakan kemurnian visi misi kiai menjadi bagian dari politik patut untuk dipertimbagkan, mengingat kiai menjadi aktor utama dalam umat Islam di indonesia. Rasionalitas dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan politik tentu akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Harapanya masyarakat mampu belajar dan berpikir rasional tentang figur calon pemimpin di Indonesia tanpa ada tendensi dari praktik-praktik politik praktis serta tindak tegas dari pihak penyelennggara Pemilu  dan Bawaslu sangat di butuhkan peranaya untuk menghidari terjadinya pelanggaran-pelanggaran Kampanye yang bisa saja akan melahirkan persepsi negatif terhadap pesantren di Indonesia khususnya.

Baqi Maulana Rizqi adalah mahasiswa Universitas Peradaban Bumiayu.

Share: Politisasi Pesantren, Tren dan Kesengajaan yang Diaminkan