General

Politik Ketokohan, “Makanan Hangat” Politik Praktis Masa Kini

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Ngefans, adalah kata yang identik dengan popular culture. Biasanya, ketika kita mendengar kata “ngefans“, pikiran kita langsung tertuju pada seseorang yang mengidolakan suatu band, penyanyi, pemain film, atau sosok popular lainnya. Nah, berangkat dari kata “sosok popular”, ini juga bisa dihubungkan dengan tokoh politik tertentu.

Mengidolakan tokoh politik tertentu ini ternyata bisa diistilahkan dengan kata-kata “politik ketokohan”. Fenomena ini sendiri bisa dibilang dimulai sejak Reformasi, tepatnya ketika kita pertama kali memilih calon pemimpin Indonesia secara langsung. Kok bisa? Emang apa sebenarnya definisi dan asal mula dari istilah “politik ketokohan” ini? Kira-kira, siapa saja tokoh politik yang sekarang diidolai banyak orang dan bisa kasih peran signifikan di Pemilu 2019?

Asal-usul Politik Ketokohan di Indonesia

Seperti yang sudah digambarkan di atas, politik ketokohan memang bisa didefinisikan dengan strategi politik yang kental dengan figur seseorang untuk ngedongkrak suara partai politik, daripada memanfaatkan ideologi atau kebijakan tertentu. Politik ketokohan mulai terasa di Pemilu 2004 ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih secara langsung oleh kita sebagai rakyat Indonesia. Mungkin masih bisa kita ingat kalau SBY saat itu digambarkan sebagai sosok yang bisa menghasilkan perubahan untuk Indonesia dan dekat dengan rakyat.

Bukan cuma SBY, parpol-parpol lain juga punya tokoh-tokoh lain yang jadi idola banyak orang. Misal, Prabowo yang lekat dengan persona Partai Gerindra. Di iklan-iklannya pada 2009 lalu juga diperlihatkan kalau Prabowo itu sosok yang dekat dengan kaum petani dan nelayan. Partai Hanura juga punya figur Wiranto yang digambarkan dekat dengan rakyat kecil. Sampai hari ini, ternyata dunia politik kita masih mengangkat figur tertentu dari parpol dan menjadi idola banyak orang. Contohlah Joko Widodo yang sebenarnya bukan kader PDIP tapi punya hubungan intim dengan partai berlambang banteng tersebut.

Persona Jokowi yang digambarkan dekat dengan seluruh lapisan masyarakat ini akhirnya membuat banyak banget orang yang mengidolakan Jokowi. Akibatnya, para penggemar dan pendukung Jokowi berusaha sekuat mungkin supaya ia bisa terpilih lagi sebagai Presiden RI. PDIP pun memperoleh keuntungan dari adanya Jokowi. Suara partai bisa naik karena banyak orang ingin Jokowi tetap menduduki kursi nomor satu di negara ini. Jokowi sendiri bisa dijadikan salah satu contoh fenomena politik penokohan.

Prabowo sendiri pun punya massanya sendiri yang mendukung dia tanpa kenal lelah. Mencoba memanfaatkan ketenaran dan persona mereka, para caleg dari parpol pendukung juga menggunakan kekuatan imej mereka pada masa kampanye ini. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya poster atau banner caleg yang menyisipkan foto Jokowi dengan pasangannya, Ma’ruf Amin, atau Prabowo dengan Sandiaga Uno dalam desainnya. Ini bisa jadi salah satu cara meraup suara pemilih dengan memakai kekuatan representasi mereka.

Sebenernya, politik ketokohan bukanlah hal yang negatif. Politik ketokohan ini juga sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum era Reformasi. Ketika Pemilu pertama Indonesia dilaksanakan di tahun 1955, ketokohan sudah kental menyelimuti partai-partai yang ikut serta dalam Pemilu tersebut. Sebut saja Soekarno memegang peran figur penting untuk Partai Nasional Indonesia (PNI), Sutan Sjahrir untuk Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Mohammad Natsir untuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tokoh-tokoh sentral ini punya peran kokoh untuk membantu partai-partai mereka menjadi partai besar di Pemilu 1955 dan pemilu selanjutnya.

Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, politik ketokohan di perpolitikan Indonesia cenderung berkurang. Namun, hal ini dikarenakan figur Soeharto yang otoriter dan cenderung menjatuhkan oposisi sebelum memiliki figur yang kuat. Lantas, hanya Soeharto yang menjadi figur politik terkuat selama masa kepemimpinannya, dengan Golkar sebagai partai pengusung Soeharto yang menjadi partai terkuat.

Politik Dinasti dan Figur Membumi menjadi Akar dari Politik Ketokohan di Era Reformasi

Lalu, mengapa politik ketokohan yang seharusnya sudah basi, kembali mendominasi perpolitikan Indonesia di era Reformasi? Salah satu penyebabnya adalah politik dinasti yang dilakukan oleh beberapa petinggi partai, seperti Megawati yang menyiapkan Puan Maharani sebagai suksesornya, SBY yang menyiapkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai suksesornya, dan Partai Berkarya, yang didirikan oleh Hutomo Mandala Putera dan didukung oleh beberapa saudara kandungnya. Politik dinasti ini menciptakan ketergantungan pada tokoh utama yang sudah besar untuk nama partainya. Meskipun nanti anak-anak atau keluarganya yang menjalankan partai, kecintaan orang-orang pada nama besar figur lah yang akan tetap menjadi sumber utama suara.

Selain itu, figur membumi juga kini menjadi faktor pendorong lain dari meningkatnya penggunaan politik ketokohan sebagai strategi. Kesederhanaan, kedekatan dengan masyarakat, dan adanya gaya hidup yang cenderung ‘kekinian’ menjadi karakter yang disukai masyarakat. Karena karakter ini disukai masyarakat, tokoh-tokoh ini pun dapat mendulang suara untuk Pemilu 2019. Politik ketokohan pun semakin terlanggengkan di masyarakat.

Tokoh-Tokoh di Pemilu Tahun 2019 Nanti

Beberapa nama tokoh tentu sudah pasti menjadi tokoh-tokoh yang signifikan dalam Pemilu 2019. Sebut saja Prabowo, Jokowi, SBY, Megawati, dan Wiranto yang memegang peranan penting, baik bagi partainya, maupun calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di tahun 2019 nanti. Selain itu, beberapa nama tokoh yang juga diperkirakan dapat memberi suara signifikan adala Hutomo Mandala Putera untuk Partai Berkarya, Surya Paloh untuk Partai Nasdem, Hary Tanoe untuk Partai Perindo, dan Muhaimin Iskandar untuk PKB. Meskipun calon presiden dan wakil presiden hanya ada dua pasang, beberapa nama ini menarik untuk diperhatikan gerak-geriknnya karena besar kemungkinan nama-nama ini lah yang justru dapat berhasil memengaruhi hasil Pemilu 2019 secara signifikan.

Seperti “Makanan Hangat” yang Terus Dihangantin

Sebagai sebuah strategi dalam politik praktis, strategi menggunakan tokoh untuk mendulang suara dapat dianalogikan sebagai makanan yang terus dihangatkan. Mengapa? Karena di setiap pemilu, selalu ada saja penikmatnya. Di tahun 2019 ini, salah satu penikmat terbesar dari politik ketokohan ini adalah para milenial, yang cenderung akan memilih dengan alasan kedekatan dengan calon yang akan dipilihnya, alih-alih partai pengusung dari calon tersebut.

Share: Politik Ketokohan, “Makanan Hangat” Politik Praktis Masa Kini