Isu Terkini

Polemik Rencana Pembelian Jet Tempur Eurofighter Incaran Prabowo

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berencana membeli 15 pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas Angkatan Udara Austria. Namun, langkah itu dinilai kurang tepat oleh sejumlah pihak.

Upaya memboyong pesawat tempur berjenis Tranche 1 tersebut diawali oleh surat Prabowo kepada Menteri Pertahanan Austria Klaudia Tanner. Penawaran pembelian itu dilaporkan media Austria, Kronen Zeitung, Sabtu (18/7/20).

“Saya ingin menawarkan pembelian 15 pesawat tersebut untuk TNI AU dan semoga proposal saya ini menjadi pertimbangan resmi,” tulis Prabowo.

Surat berkop Kementerian Pertahanan RI tertanggal 10 Juli 2020 yang ditandatangani Prabowo Subianto itu menyatakan bahwa Indonesia tengah berupaya memenuhi kebutuhan organisasi angkatan bersenjatanya.

Rencana itu pun lekas jadi sorotan berbagai pihak. Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menilainya tidak terlalu mendesak. “Pembelian ini hanya memindahkan masalah yang bakal dihadapi Austria dalam merawat pesawat bekas tersebut,” kata TB Hasanuddin dalam diskusi webinar bertajuk “Problem Modernisasi Alutsista Indonesia” di Jakarta, Senin (27/07/20).

TB Hasanuddin mengatakan bahwa pesawat yang akan dibeli dari Angkatan Udara Austria ini sudah digunakan selama sekitar 17 tahun. Sementara umur operasi pesawat ini hanya mencapai 30 tahun atau tersisa 13 tahun lagi. Dibutuhkan biaya lima miliar euro atau sekitar Rp85 triliun untuk pembiayaan perawatan 15 unit pesawat selama 13 tahun.

“Ini kan dana yang besar. Selain itu, berdasarkan aturan perundangan, sangat sulit pembelian ini bisa diwujudkan, sebab UU No.16/2012 tentang Industri Pertahanan menyebutkan pemerintah tidak bisa mengimpor alutsista bekas,” ujarnya.

Selain itu, lanjut TB Hasanuddin, pembelian alutsista juga harus mempertimbangkan beberapa hal, seperti alih teknologi, kandungan lokal, dan permohonan dari institusi pengguna. “Nah, saat ini TNI AU belum mengusulkan pembelian. Begitu pun mengenai alih teknologi dan kandungan lokal, belum ada pembicaraan dengan PT Dirgantara Indonesia,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo khawatir adanya broker yang membisiki dan merayu pemerintah agar membeli pesawat bekas tersebut. Apalagi, menurut Adnan, hingga saat ini belum ada kajian resmi mengenai dasar pembelian pesawat tersebut.

“Mereka ini punya akses cepat dan mudah di pemerintah untuk mendorong pembelian pesawat ini. Karena itu waspadai pemburu rente,” kata Adnan.

Adnan pun merasa heran dengan pemerintah yang selalu mengklaim akan melakukan modernisasi alutsista. Sementara faktanya, pemerintah justru mengusulkan pembelian barang bekas yang tentu saja jauh dari kata efisien. “Ini kan sebuah pemborosan. Jadi kita harus menolak rencana ini,” ucapnya.

Tak jauh berbeda dengan TB Hasanuddin dan Adnan Topan, Pengamat Pertahanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Diandra Megaputri Mengko mengatakan bahwa rencana pembelian pesawat tempur bekas tersebut merupakan sebuah paradoks. Di satu sisi, pemerintah sudah mempunyai pesawat yang teknologinya lebih canggih seperti Sukhoi, sementara di sisi lain pemerintah justru berencana membeli pesawat yang sudah ketinggalan teknologinya.

“Kenapa nggak beli Sukhoi atau dikombinasikan dengan beli pesawat AS? Ini yang harus dijelaskan ke publik,” kata Diandra dalam diskusi yang sama. Untuk itu, Diandra berharap pemerintah bisa membeli pesawat atau persenjataan yang berkualitas baik untuk mendukung modernisasi alutsista nasional.

“Keamanan prajurit menjadi hal utama. Jangan sampai membeli senjata yang kualitasnya buruk,” ujarnya.

Sederet Masalah Pengadaan Alutsista TNI

Sementara itu, Imparsial berdasarkan kajiannya mencatat setidaknya ada empat persoalan yang sering terjadi ketika pemerintah melakukan pengadaan alutsista TNI. Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan persoalan pertama berkaitan dengan adanya pembelian alutsista yang sering kali di bawah standar.

Misalnya, terdapat pengadaan alutsista tidak lengkap atau tidak sesuai yang dibutuhkan. Lalu, pengadaan pesawat tempur yang tidak dibarengi dengan rudal dan peralatan lain yang mendukung. Menurut Gufron, dengan cara pengadaan seperti itu, realitasnya justru mempengaruhi kesiapan alutsista itu sendiri.

“Terutama dalam konteks operasi di lapangan, ini mempengaruhi mentalitas prajurit,” kata Gufron dalam diskusi yang sama. Lalu, lanjut Gufron, persoalan kedua adalah pengadaan alutsista kerap diwarnai pembelian alutsista bekas. Cara pengadaan seperti itu, menurut Gufron, justru menunjukan bahwa pemerintah cenderung mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas.

Persoalan ketiga yakni pengadaan alutsista baru secara ketentuan perlu dibarengi dengan transfer teknologi. Seperti yang dikatakan TB Hasanuddin sebelumnya bahwa hal ini juga sudah tercantum dalam perundang-undangan. Gufron menegaskan bahwa transfer teknologi sangat penting karena TNI diharapkan bisa membangun kemandiran dalam pertahanan.

“Misalnya, dalam rencana pembelian pesawat tempur pesawat Eurofighter Typhoon bekas. Dengan rencana pembelian alutsista bekas tersebut, sangat kecil kemungkinan Indonesia bisa mendapat transfer teknologi. Ini barang bekas, maka kalau bicara dari sisi tadi, menjadi sangat kecil bagi Indonesia untuk bisa mendapatkan transfer teknologi tersebut,” ujar Gufron.

Persoalan keempat adalah dugaan keterlibatan broker dalam pengadaan alutsista. “Saya kira kasus terdahulu ada beberapa pengadaan yang memang diduga ada keterlibatan broker,” ucapnya.

Rencana Beli Jet Tempur Eurofighter Bisa Memicu Masalah Baru

Sebelumnya, Imparsial juga sudah memperingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan, untuk menghentikan rencana pembelian tersebut. Menurut Imparsial, ide pembelian pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas dari Austria itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah baru di masa yang akan datang.

Direktur Imparsial, Al Araf, pada Rabu (22/7) mengatakan bahwa ide pembelian itu akan mengulangi kesalahan di masa lalu, di mana pengadaan alutsista bekas menimbulkan masalah akuntabilitas anggaran pertahanan. Yang lebih berbahaya lagi adalah penggunaannya oleh prajurit TNI disertai risiko kecelakaan yang lebih besar

Menurut Al Araf, upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi oleh alutsista militer yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia.

Namun demikian, lanjut Al Araf, penting untuk dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri. Hal ini penting untuk memastikan pengadaan alutsista TNI mendukung upaya penguatan pertahanan negara Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru di masa yang akan datang.

Imparsial juga memandang bahwa rencana pembelian pesawat tempur bekas Eurofighter Typhoon berpotensi terjadi penyimpangan akibat tidak adanya standar harga yang pasti. Transparency International dalam survei “Government Defence Anti-Corruption Index 2015” menunjukkan risiko korupsi di sektor militer/pertahanan di Indonesia masih tergolong tinggi.

“Dalam survei tersebut, risiko korupsi sektor militer/pertahanan di Indonesia masih tergolong tinggi dengan nilai D, setara dengan negara-negara seperti Namibia, Kenya, dan Bangladesh,” ujar Al Araf.

Sebagai catatan, Al Araf mengingatkan bahwa pengadaan pesawat tempur Eurofighter Typhoon juga tersangkut isu dugaan suap dan kritik tajam di dalam negeri Austria sendiri. Pada tahun 2017, Pemerintah Austria melayangkan gugatan kepada Airbus ke Pengadilan Munich, Jerman, atas dugaan suap yang dilakukan perusahaan pembuat pesawat tempur Eurofighter Typhoon ini kepada pejabat Austria.

Saat itu, Pemerintah Austria menyatakan terdapat kerugian sebesar USD1,7 juta dari total kontrak pembelian sebesar USD2,4 milliar. Kasus ini berakhir dengan adanya kewajiban Airbus untuk membayar denda sebesar USD 99 juta. Tidak hanya itu, Airbus juga disebutkan masih menghadapi proses hukum terkait dengan dugaan penipuan dan korupsi di Pengadilan Austria.

“Lebih jauh, setiap pengadaan alutsista harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan dalam UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dalam hal ini, pengadaan alutsista baru hendaknya lebih dipertimbangkan dengan dibarengi mekanisme offset atau transfer teknologi,” ucapnya.

Selain itu, Kementerian Pertahanan harus fokus pada kemandirian industri pertahanan sehingga pengadaan alutsista harusnya memprioritaskan pembelian dari dalam negeri. Untuk itu, Imparsial pun mendesak agar:

  1. Pertama, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membatalkan rencana pembelian pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas dari Austria
  2. Komisi I DPR untuk menolak rencana pembelian pesawat tempur bekas milik Austria yang sarat akan problem korupsi
  3. Pemerintah membuka rencana pembelian alutsista secara transparan dan akuntabel

Share: Polemik Rencana Pembelian Jet Tempur Eurofighter Incaran Prabowo