Isu Terkini

Polemik Impor Sampah Indonesia

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Impor sampah Indonesia banyak dibicarakan hari-hari ini. Pasalnya, belakangan ditemukan sampah plastik yang terselip dalam sampah kertas yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Pada Februari 2019, misalnya, empat kontainer bermuatan sampah impor bahan baku kertas diamankan Bea Cukai Tanjung Priok. Bahan itu diketahui dipesan PT Adiprima Suraprinta, pabrik kertas di Gresik, Jawa timur, yang berafiliasi dengan PT Jawa Pos, salah satu pabrik kertas anggota APKI.

Kemudian pada Maret 2019, Kementerian Lingkungan Hidup menahan 11 kontainer sampah impor di Batam dan lima kontainer di Tanjung Perak, Surabaya, yang dianggap bermasalah. Pada Senin (10/06), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menegaskan bahwa sampah plastik yang masuk ke Indonesia itu ilegal dan pemerintah memutuskan untuk mengirim balik sampah itu ke negara asalnya.

“Ini bukan pengalaman pertama. Pada 2016, 40-an kontainer kami kembalikan dan selesai. Artinya, urusan ini bisa kita selesaikan,” ujarnya.

Para aktivis lingkungan dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk menghentikan impor sampah plastik dari negara-negara maju. Presiden diminta mengikuti langkah sejumlah negara di ASEAN yang sudah menerapkan kebijakan pembatasan impor sampah plastik. Pada Juli 2018, misalnya, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan telah menargetkan pelarangan impor sampah plastik pada 2021.

Sementara itu, Thailand juga menargetkan pelarangan impor akibat kenaikan drastis impor sampah plastik dari Amerika pada 2018 yang mencapai dua ribu% (91.500 ton). Vietnam pun sudah tidak lagi mengeluarkan izin untuk impor sisa, reja (sisa buangan), dan serpihan plastik; kertas, serta logam.

Direktur Eksekutif Ecological Observations and Wetlands Conversation (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan bahwa Presiden Jokowi harus segera menghentikan impor sampah karena sejak tahun 2015 para peneliti menemukan bahwa Indonesia merupakan negara kedua pencemar laut dunia atau penghasil sampah plastik ke laut (187,2 juta ton) setelah Cina (262,9 juta ton). Selain itu, Ecoton juga menemukan bahwa masuknya sampah kertas impor sebagai bahan baku kertas memang kerap disertai sampah plastik

Ecoton sendiri merupakan salah satu elemen penginisiasi AZWI, bersama Walhi, BaliFokus/Nexus3, dan Indonesian Center for Environmentl Law (ICEL).

Prigi menyebut ada 43 negara yang mengimpor sampahnya ke Jawa Timur, antara lain Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura dan Kanada. Pertanyaannya, mengapa Indonesia mengimpor sampah plastik dari luar negeri padahal sudah menempati peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut?

“Untuk sampah dari Amerika, kita negara tujuan nomor dua setelah India. Dari Inggris, kita nomor dua setelah Malaysia. Kalau dari Australia, kita nomor dua setelah Vietnam,” kata Prigi dalam jumpa pers di kantor Walhi di Jakarta, Selasa (25/06/19).

Imbas Kebijakan Cina, Sampah Plastik Indonesia Meningkat

Peningkatan jumlah sampah plastik yang masuk ke Indonesia diduga merupakan akibat kebijakan Cina memperketat impor sampah plastik dari Eropa dan Amerika. Anggota AZWI dari Bali Fokus, Yuyun Ismawati, melalui video telekonferensi menjelaskan lebih jauh bahwa sejak akhir 2017, Cina menerapkan kebijakan baru untuk memperketat impor sampah plastik yang dikenal sebagai kebijakan “Pedang Nasional.” Hal ini membuat perdagangan sampah, khususnya, sampah plastik, di seluruh dunia menjadi terguncang.

Padahal selama rentang 1988-2016, Cina menyerap sekitar 45,1% sampah plastik dunia. Yuyun menyebutkan kebijakan Cina itu terbilang berhasil karena benar-benar membatasi sampah plastik yang masuk dengan kualitas yang benar-benar bersih. Misalnya jika sampah plastik yang dikirim adalah botol plastik, botol itu harus dipilah lebih dulu sampai benar-benar tersisa badan botolnya saja, agar sampah itu bisa masuk ke Cina.

Temuan AZWI menyebutkan bahwa sampah plastik yang dikirim dari AS dan negara lainnya memang terdiri dari sampah yang tidak bisa didaur ulang dan sekali pakai, seperti sampah plastik dengan kontaminan di bawah 0,5%.

Sebetulnya, kegiatan impor sampah atau limbah memang legal dan tak sepenuhnya salah, asalkan yang diimpor adalah limbah non-B3. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya (B3).

Dalam aturan itu disebutkan bahwa limbah non-B3 yang dapat diimpor hanya berupa sisa, reja, dan serpihan. Selain itu, limbah non-B3 yang dimaksud juga tidak terkontaminasi limbah B3 atau limbah lainnya yang tidak diatur dalam Permendag Nomor 31 Tahun 2016. Importir juga harus mengantongi persetujuan impor disertai lampiran surveyor agar dapat mengimpor sampah.

Sayangnya, aturan itu tak sepenuhnya dijalankan lantaran masih adanya limbah B3 yang disusupkan masuk dalam kontainer yang berisi limbah non-B3.

Data Kementerian Perindustrian menjelaskan bahwa kebutuhan bahan baku bagi industri plastik nasional mencapai 5,6 juta ton per tahun. Dengan rincian, sebanyak 2,3 juta ton dicukupi virgin plastic (bijih plastik murni), impor biji plastik 1,67 juta ton, dan pemenuhan material plastik daur ulang dalam negeri 1,1 juta ton.

Dari jumlah tersebut, industri plastik masih kekurangan material sebanyak 600.000 ton, yang selama beberapa waktu terakhir ditutupi dari impor sampah plastik berupa serpihan sebanyak 110.000 ton. Tahun lalu saja ada 410 ribu ton sampah plastik masuk ke Indonesia, meski Indonesia mengaku hanya menerima sampah plastik sebesar 324 ribu ton.

“Jumlah sampah plastik yang diimpor ke Indonesia 2018 jumlahnya meningkat pesat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Ini adalah efek dari Cina, Malaysia, Filipina, Vietnam, tutup pintu terhadap impor sampah plastik,” ujar Yuyun.

Indonesia Nekat Impor Sampah

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengaku sangat heran dengan Indonesia yang nekat mengimpor sampah dari negara lain, padahal tak sanggup mengolah sampah dalam negeri. Nur juga menyoroti rumitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sampah di tanah air. Maka, ia tidak yakin aparat berwenang memahami peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah, termasuk sampah impor.

Lebih lanjut, Nur menegaskan bawa pencemaran atau kerusakan lingkungan bukan delik aduan. Oleh sebab itu, kalau terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan, polisi harus mengusut tuntas tanpa menunggu aduan dari masyarakat atau pihak tertentu.

Nur mendesak pemerintah untuk segera memperketat regulasi mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor, juga memperbaiki pengelolaan sampah sehingga dapat diolah kembali secara ekonomis. Pemerintah daerah dan pusat, ujarnya, harus segera mengeluarkan aturan untuk menghentikan produksi plastik kemasan sekali pakai. Hal ini untuk mengurangi produksi sampah plastik.

“Perusahaan-perusahaan pengimpor limbah yang ternyata tidak sesuai dengan peraturan, itu harus segera dikenai tindakan hukum. Cabut izin impornya. Itu merupakan suatu tindakan yang menunjukkan ketegasan kalau memang pemerintah Indonesia tidak mau dijadikan penadah sampah kotor dan sampah ilegal,” kata Nur dalam kesempatan yang sama.

Nur juga meminta perusahaan-perusahaan pengimpor sampah plastik untuk bertanggung jawab menangani pencemaran bawaan dari kegiatan tadah, pindah tangan, dan sumbang sampah. Ia menyebut yang dirugikan dari tidak terkontrolnya impor sampah plastik adalah pencemaran lingkungan dan kualitas kesehatan masyarakat, sementara yang diuntungkan hanyalah korporasi.

Sebenarnya, lanjut Nur, sampah-sampah impor itu di negara asalnya tidak boleh dikirim ke luar negeri dan harus diolah di negara asal. Tapi karena pengolahan semakin mahal, sampah-sampah itu akhirnya dikirim ke luar negeri.

Share: Polemik Impor Sampah Indonesia