Berbicara mengenai harga dan cukai rokok, perdebatan yang selalu terjadi adalah apakah harga dan cukai rokok perlu dinaikkan demi mengurangi konsumsi rokok, atau lebih baik tidak dengan alasan menjaga stabilitas perekonomian dan pekerjaan petani tembakau.
Pada hari Kamis, 2 Agustus 2018 kemarin, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengadakan diskusi publik dengan nama Ruang.Temu #1 “Rokok Masih Murah. Perlu Diubah atau Ya Sudah Lah..” di Tierspace, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut, topik utama yang dibahas adalah mengenai apakah rokok yang masih murah di Indonesia saat ini perlu dinaikkan harganya, atau dibiarkan saja.
Pembicara yang dihadirkan dalam acara kali ini adalah Bhima Yudhistira yang mewakili Institute for Development of Economic’s and Finance (INDEF), Yurdhina Meilissa yang mewakili Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Julius Ibrani, yang merupakan Sekretariat Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Dipimpin oleh Pangeran Siahaan selaku moderator, berikut rangkuman dari Asumsi mengenai acara tersebut.
Pembicara pertama dalam acara ini adalah Bhima Yudhistira. Membuka diskusi, ia menyatakan bahwa cukai yang sering mengalami kenaikan dari tahun ke tahun seharusnya dapat mengendalikan konsumsi rokok. Namun faktanya, cukai yang terus naik tidak sejalan dengan harapan berkurangnya konsumsi rokok.
“Tapi yang terjadi kenaikan cukai, itu enggak elastis dengan penurunan konsumsi dari rokok,” kata Bhima.
Dari fakta tersebut, Bhima pun menambahkan argumentasinya. Ia menyatakan bahwa cukai yang seharusnya menjadi pengendali konsumsi rokok, malah beralihfungsi hanya murni menjadi sumber pendapatan negara. Bahkan kini, cukai telah menjadi pendapatan ketiga terbesar negara setelah PPh dan PPN, yang mana 96 persen di antaranya adalah rokok.
“Tapi cukai sekarang justru menjadi pendapatan negara nomor tiga tertinggi, setelah dari PPh, PPN, yang ketiga cukai, dan 96 persen komponen cukai itu dari mana lagi kalo bukan dari rokok,” ujarnya.
Argumentasi lain yang diutarakan oleh Bhima terkait naiknya cukai adalah menaikkan cukai dan membuat harga rokok meningkat justru dapat membuat konsumsi rokok ilegal meningkat. Perlu diketahui seberapa tinggi kenaikkan tersebut. Yang pasti, rokok ilegal justru akan dikonsumsi lebih banyak.
“Jika cukai justru naiknya terlalu tinggi, otomatis harga rokoknya ditinggikan lah. Mau setinggi apa? Itu tetep peluang terjadinya shifting, atau pergeseran dari orang yang merokok konvensional berpita cukai resmi, itu kepada ilegal juga meningkat,” ucap Bhima.
Lebih lanjut, ia pun mempertanyakan kepentingan produksi hulu seperti petani dan buruh yang akan kehilangan pekerjaan jika rokok benar-benar dikontrol. Menurut ia, kalau rokok dikontrol sebegitu ketat, maka petani tembakau dan buruh akan kesulitan mendapat pekerjaan lain. Hal ini menjadi dilematis terkait kontrol rokok tersebut.
“Kalo misalnya rokok benar-benar dikontrol, katakanlah rokok disamakan dengan narkoba, petani tembakaunya mau kerja di mana?” ujar Bhima.
Menurut Bhima, kenaikan harga rokok tidak serta merta menurunkan konsumsi rokok. Tp ada kemungkinan mrk akan beralih ke rokok yg lebih murah bahkan rokok ilegal.— CISDI (@CISDI_ID) August 2, 2018
(Bhima) Cukai menjadi pemasukan tertinggi penerimaan negara, utamanya dr cukai tembakau. Kenaikan cukai tembakau bs jd tdk efektif menurunkan konsumsi rokok, krn konsumen bs memilih rokok yg lbh murah.— CISDI (@CISDI_ID) August 2, 2018
Kemudian, pembicara kedua, Yurdhina Meilissa menyatakan bahwa dari tahun ke tahun, meskipun cukai naik, jika dibandingkan dengan pendapatan masyarakat, justru harga rokok semakin terjangkau. Jika dilihat dari 2002-2017, harga rokok justru 1.5 kali makin terjangkau. Lebih parah lagi, jika dilihat dari tahun 1980, justru harga rokok dua kali semakin terjangkau.
“Kalau kita spread datanya lebih panjang, jika dibandingkan dari tahun 2002 aja ya, sampai 2017, itu justru 1,5 kali semakin terjangkau. Kalau kita spread lagi datanya dari 1980-an, itu harga rokok di tahun 2016 itu 2 kali lebih murah daripada 1980,” ucap Yurdhina.
Kemudian, jika berbicara tentang memangkas jumlah perokok, yang harus difokuskan adalah dengan memangkas jumlah perokok pemula. Perokok pemula ini adalah yang angkanya masih bisa dikurangi dan bisa dicegah, daripada para perokok yang sudah bertahun-tahun merokok.
Untuk mencegah naiknya jumlah perokok ini, menaikkan harga setinggi-tingginya dapat menjadi solusi. Selain itu, dengan menaikkan harga rokok ini, kemiskinan bisa turun.
“Tugas kita adalah ngerem supaya yang belum ngerokok, jadi ga ngerokok. Dan saya rasa itu seharusnya menjadi titik awal diskusi kita bahwa common ground-nya kan kita enggak pengen ngeliat anak-anak ngerokok, toh? Caranya adalah dengan naikkin harga setinggi-tingginya. Ada kok switch spot-nya, di mana kalo kita naikkin pada titik tertentu, UI bilang 36.000, WHO bilang 38.000, switch spot-nya itu kena, kemiskinan bisa turun,” kata Yurdhina.
(Yurdhina) Harga rokok di tahun 2016 dua kali lbh murah dibanding tahun 1980 karena ada modest reduction. pic.twitter.com/wBawhwKhjr— CISDI (@CISDI_ID) August 2, 2018
(Yurdhina) BPJS defisit krn harus menanggung beban penyakit akibat rokok. Sehingga cukai tembakau seharusnya bisa menjadi win-win solution.— CISDI (@CISDI_ID) August 2, 2018
Lalu, pembicara ketiga, Julius Ibrani, pun membicarakan polemik terkait rokok ini dari sudut pandang hukum. Menurut Julius, bahwa hak atas kesehatan manusia merupakan hak yang tidak boleh ditunda. Sudah tercatat di deklarasi universal HAM PBB dan telah diadopsi Indonesia.
Dengan kata lain, jika ada sesuatu yang membuat kesehatan terganggu, baik itu harus mengorbankan perdagangan dan perekonomian pada skala tertentu, kesehatan harus diutamakan.
“Hak atas kesehatan ini masuk satu rumpun yang sama sekali tidak boleh ditunda. Sehingga kalo dia, ini memang enggak ada mekanisme diadu ya, tapi saya pakai bahasa umum aja, ketika dia diadu dikatakan demi kesehatan, gak boleh dagang ini demi kesehatan, rokok harus dinaikkin, itu punya dasar hukum yang kuat,” kata Julius.
Kemudian, Julius pun menambahkan bahwa di Indonesia, hak atas kesehatan ini belum dijalankan dengan benar. Terlihat dari data yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan, bahwa masih sangat banyak kematian per hari yang disebabkan oleh rokok. Hal ini semakin membuktikkan bahwa rokok yang masih terjangkau ini harus dinaikkan, terutama ketika kembali lagi melihat fakta Indonesia telah menyetujui deklarasi universal HAM tersebut.
“Pas tahun 2013, Indonesia diketahui sebagai negara nomor tiga terbesar terdampak rokok, lebih dari sepertiga penduduknya, dengan angka kematian 659 orang per hari, itu datanya Menteri Kesehatan,” ujar Julius.
(Julius) Dasar hukum 28A ayat 1, Indonesia menjamin Hak atas Kesehatan. Dlm konteks HAM, hak atas Kesehatan masuk ke dlm golongan Hak yg tidak boleh ditunda.— CISDI (@CISDI_ID) August 2, 2018