Isu Terkini

Polemik Bebasnya Nazaruddin, dari Remisi sampai Masalah Justice Collaborator

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dinyatakan bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Minggu (14/6) berkat program cuti menjelang bebas (CMB) berdasarkan putusan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Nazaruddin sudah menjalani 2/3 masa pidananya, yang resmi berakhir pada 13 Agustus 2020.

“Muhammad Nazaruddin mendapat cuti menjelang bebas (CMB) terhitung mulai 14 Juni 2020 atau selama dua bulan karena memenuhi persyaratan berdasarkan Pasal 103 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang ‘Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat,’” ujar Kabag Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM Rika Aprianti.

Rika menjelaskan bahwa hak CMB diberikan karena yang bersangkutan telah memenuhi syarat administratif dan substantif, dan hak itu tidak membutuhkan rekomendasi dari KPK. Perlu diketahui, Nazaruddin telah membayar lunas subsider sebesar Rp1,3 miliar dan oleh karenanya berhak atas hak remisi sejak 2014 sampai 2019. Nazaruddin mendapat remisi total 49 bulan.

“Pemberian remisi itu menegaskan status Nazaruddin sebagai justice collaborator (JC), karena remisi tidak mungkin diberikan pada narapidana kasus korupsi yang tidak menjadi JC sesuai PP 99/2012,” ujar Rika.

Menurut Rika, Nazaruddin mendapat status JC merujuk pada surat keterangan yang dikeluarkan KPK. “Bahwa [menurut] surat keterangan yang dikeluarkan KPK, [Nazaruddin] dikategorikan sebagai JC sebagaimana pasal 34A Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012. Status JC untuk Muhammad Nazaruddin juga ditegaskan pimpinan KPK pada 2017 dan dimuat di banyak media massa.”

Nazaruddin dihukum untuk dua kasus yang berbeda. Pertama, kasus korupsi  pembangunan Wisma Atlet dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta. Kasus keduanya ialah penerimaan gratifikasi dan pencucian uang dengan hukuman enam tahun penjara dan perampasan aset senilai Rp550 miliar.

KPK Bantah Klaim Ditjen PAS soal Status JC Nazaruddin

Pihak KPK membantah klaim Ditjen PAS bahwa Nazaruddin telah mendapatkan status JC dari KPK. Menurut perwakilan komisi antirasuah itu, Ditjen PAS semestinya juga bisa lebih selektif dalam memberi hak binaan bagi narapidana kasus korupsi.

“Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ [Nazaruddin],” ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Ali hanya membenarkan adanya dua surat keterangan bekerja sama dengan Nazaruddin yang diungkapkan Rika sebelumnya.

Rika menyebut status JC bagi Nazaruddin berdasarkan Surat nomor R-2250/55/06/2014 tanggal 9 Juni 2014 perihal surat keterangan atas nama Muhammad Nazaruddin dan Surat Nomor R.2576/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017, perihal permohonan keterangan telah bekerja sama dengan penegak hukum atas nama Mohammad Nazaruddin.

Namun, Ali menegaskan surat tersebut bukanlah penetapan status JC. Ali mengingatkan, status JC mestinya diberikan sebelum tuntutan dan putusan, sedangkan surat pada tahun 2014 dan 2017 itu keluar ketika putusan hakim telah berkekuatan hukum tetap. “Surat keterangan bekerja sama tersebut menegaskan bahwa pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan M. Nazarudin sebagai justice collaborator,” ucapnya.

Ali juga mengungkapkan bahwa KPK telah beberapa kali menolak memberi rekomendasi sebagai syarat asmilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat bagi Nazaruddin.

ICW Kecam Remisi Nazaruddin

Sebelumnya, kritik datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait pemberian remisi terhadap Nazaruddin. ICW menilai Nazaruddin tidak pernah mendapat status sebagai justice collaborator.

ICW pun menuntut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menganulir pemberian cuti menjelang bebas bagi Nazaruddin. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, ICW pun mengecam pemberian remisi sebanyak 49 bulan Nazaruddin yang membuat Nazaruddin bebas lebih cepat.

“ICW menuntut agar Menteri Hukum dan HAM segera menganulir keputusan cuti menjelang bebas atas terpidana Muhammad Nazaruddin,” kata Kurnia, dalam keterangan persnya, Rabu (17/06).

Kurnia menyebut ICW memiliki sejumlah catatan terkait pemberian remisi tersebut. Pertama, pemberian remisi terhadap Nazaruddin bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada PP 99 Tahun 2012, terpidana kasus korupsi harus bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) guna mendapat remisi.

“Sedangkan menurut KPK, Nazaruddin sendiri tidak pernah mendapatkan status sebagai JC,” ujar Kurnia. Lalu, ICW menilai pemberian remisi bagi Nazaruddin mengindikasikan Kemenkumham tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi dengan mengabaikan aspek penjeraan bagi pelaku kejahatan.

Sebab, semestinya Nazaruddin baru dapat bebas pada 2024 mendatang dengan hukuman pidana 13 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya. Pemberian remisi itu juga membuat Kemenkumham dinilai telah mengabaikan kerja keras penegak hukum dalam membongkar praktik korupsi.

“Dengan model pemberian semacam ini, maka ke depan pelaku kejahatan korupsi tidak akan pernah mendapatkan efek jera,” ucapnya. ICW juga menyinggung temuan Ombudsman pada 2019 yang mendapati ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel terpidana lainnya.

Jika temuan itu benar, menurut ICW, semestinya Kemenkumham tidak dapat memberikan penilaian berlakuan baik pada Nazaruddin sebagaimana disinggung dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a PP Nomor 99 Tahun 2012. “Ditambah lagi poin berlakuan baik tersebut merupakan salah satu syarat wajib untuk mendapatkan remisi,” kata Kurnia.

Share: Polemik Bebasnya Nazaruddin, dari Remisi sampai Masalah Justice Collaborator