Isu Terkini

Pesawat yang Jatuh di Permukaan Air Lebih Berbahaya Dibanding di Daratan

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Tiga hari sudah pihak Badan SAR Nasional (Basarnas) mencari korban dan puing-puing pesawat pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang sejak Senin, 29 Oktober 2018. Penerbangan dengan rute Cengkareng menuju Pangkalpinang itu mengalami kecelakaan setelah lepas landas dari Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta pukul 06:20 WIB, di mana sebelumnya sudah 13 menit mengudara.

Pesawat dengan regitrasi PK-LQP jenis Boieng 737 MAX 8 itu mengangakut 178 penumpang dewasa, satu penumpang anak-anak, dan dua penumpang bayi. Pesawat buatan 2018 dan baru dioperasikan oleh Lion Air sejak 15 Agustus 2018 dikendarai oleh kapten pilot yang cukup berpengalaman, dengan jam terbang lebih dari 6.000 jam terbang.

Berdasarkan analisis awal, pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh itu dalam keadaan tidak meledak di udara, melainkan jatuh ke permukaan laut dengan kecepatan sangat tinggi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ketua Komite Nasional Keselamtan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono, “Kalau pecah di udara, sebarannya berkilo-kilo. Tapi, ini kan cuma di titik itu saja,” ujarnya.

Menurut praktisi dan pengamat penerbangan, Yayan Mulyana, kecelakaan yang dialami Lion Air tiga hari lalu termasuk jenis yang cukup langka karena terjadi di climbing. Sebab, jelas Yayan, rata-rata kecelakaan pesawat terjadi pada saat lepas landas atau dalam proses pendaratan, bukan pada posisi climbing atau saat sudah berada di ketinggian.

Selain itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga telah menyatakan bahwa kecelakaan itu tidak berkaitan dengan kondisi cuaca yang buruk. “Memang berawan, namun tidak ada awan jenis Cb. Kalaupun terdeteksi kami (BMKG) pasti akan memberikan peringatan,” ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Bali, Senin, 29 Oktober 2018.

Hingga saat ini, Tim SAR Gabungan yang terdiri dari Basarnas, TNI hingga Polri masih terus melakukan pencarian korban dan bodi pesawat Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat. Berdasarkan data dari posko Basarnas di JICT 2, tercatat hingga Rabu, 31 Oktober 2018 sore ini sudah sebanyak 49 kantong jenazah yang berhasil dievakuasi oleh tim. Sementara menurut data Polri, sudah sebanyak 46 kantong jenazah yang diterima oleh RS Kramat Jati, Polri.

Tim gabungan dari Basarnas, TNI Polri masih terus melakukan pencarian kepada bangkai pesawat Lion Air JT-610. Namun, hingga sore ini belum juga menemukan bodi utama dari Lion Air JT 610. Padahal, Basarnas telah mengerahkan 35 kapal laut dan 50 penyelam selama 24 jam untuk mencari bodi pesawat.

Maka dari itu, saat ini muncul pertanyaan-pertanyaan terkait mengapa bodi utama sulit ditemukan, dan mengapa korban meninggal yang ditemukan bisa dalam keadaan tidak utuh? Seberapa parahkah keadaan pesawat yang jatuh di air itu?

Kecepatan dan Hantaman yang Terlalu Keras

Situs web Flight Radar menyajikan informasi berkaitan dengan beragam aktivitas penerbangan yang terpantau radar, termasuk penerbangan nahas Lion Air JT 610. Data yang didapat menunjukkan bahwa kecepatan pesawat hingga kisaran 300 knot. Padahal pesawat belum mencapai ketinggian 10.000 kaki.

Data itu memperlihatkan, bahwa pesawat terus berada di kecepatan sekitar sekitar 550 kilometer per jam di ketinggiannya yang tak sampai 6.000 kaki atau setara 1800 meter. Sehingga indikasi yang cukup dekat dari pertanyaan mengapa bodi pesawat bisa terpecah-pecah, adalah adanya hantaman keras pesawat yang jatuh ke air karena kelebihan kecepatan (overspeed).

Dalam laporan yang dibuat oleh Andrew C. Revkin yang dimuat New York Times pada 5 September 1998, mengungkapkan bahwa pendaratan darurat di atas perairan bisa jauh lebih berbahaya ketimbang pendaratan darurat di daratan. Salah satu penyebabnya adalah kondisi atas permukaan laut, danau, atau sungai. Sebab, semakin besar ombaknya maka bodi pesawat akan makin beresiko hancur.

In the water, you’ve got a tremendous amount of turmoil and confusion and stress. Even if the passengers held a class before they got on board it probably wouldn’t help much,” ujar Gary, pengarah penelitian tersebut.

Share: Pesawat yang Jatuh di Permukaan Air Lebih Berbahaya Dibanding di Daratan