Isu Terkini

Pertemuan Rahasia Jokowi dengan Bos Freeport dan Masalah HAM yang Belum Tuntas

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dituding melakukan pertemuan rahasia dengan bos PT Freeport McMoran, James R Moffet. Hal itu diungkapkan oleh Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kini menjadi Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Menurut versi Sudirman, pertemuan rahasia tersebut membahas kesepakatan soal perpanjangan izin PT Freeport Indonesia.

“Surat 7 Oktober 2015. Jadi surat itu seolah-olah saya yang memberikan perpanjangan izin, itu persepsi publik,” kata Sudirman dalam diskusi yang diselenggarakan Institut Harkat Negeri, Jakarta, Rabu, 20 Februari 2019 kemarin.

Sudirman kemudian menceritakan kronologi pertemuan antara Jokowi dan bos besar Freeport itu.  Sehari sebelum diterbitkannya surat perpanjangan, yakni pada 6 Oktober 2015, Sudirman mengaku ditelepon ajudan presiden untuk datang ke Istana. Namun, ia tidak diberi tahu tujuan Presiden memanggilnya.

“Sebelum masuk ke ruang kerja, saya dibisiki aspri (asisten presiden), ‘Pak menteri pertemuan ini tidak ada’. Saya ungkap ini karena ini hak publik untuk mengetahui di balik keputusan ini. Jadi bahkan Setneg tidak tahu, Setkab tidak tahu,” katanya.

Ia pun menuruti pesan yang disampaikan asisten pribadi Presiden tersebut. Saat masuk ke ruangan, Sudirman merasa sangat kaget. Itu lantaran di ruangan tersebut sudah ada James R Moffet yang saat itu adalah bos Freeport McMoran Inc.

“Tidak panjang lebar Presiden (Jokowi) mengatakan, ‘Tolong disiapkan surat seperti apa yang diperlukan. Kira-kira kita ini menjaga kelangsungan investasi, nanti dibicarakan setelah pertemuan ini’. Baik,” kata Sudirman.

Meski begitu, Jokowi membantah cerita Sudirman. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini memang mengaku sempat beberapa kali bertemu dengan Presiden Freeport McMoran Inc., James R Moffet, di Indonesia. Namun, pembahasan yang dibicarakan tidak hanya sekedar perpanjangan izin, namun juga negoisasi agar Indonesia mendapatkan 51 persen saham Freeport.

“Ya perpanjangan. Dia kan minta perpanjangan. Pertemuan bolak-balik memang yang diminta perpanjangan, terus apa? Ya kita ini kan diminta untuk perpanjangan, diminta untuk itu. Tapi sejak awal saya sampaikan, bahwa kita memiliki keinginan itu (untuk menguasai 51 persen saham), masa enggak boleh,” ungkap Jokowi pada media di Hotel El Royale, Jakarta, Rabu, 20 Februari 2019.

Indonesia Akhirnya Punya Saham Lebih Besar

Proses divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah tahap final. PT Inalum dan Freeport McMoRan (FCX) bersama Rio Tinto pun telah meneken perjanjian Sales Purchase Agreement (SPA) di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Kamis, 27 September 2018 lalu. Penandatanganan SPA memastikan divestasi PTFI hampir tuntas.

Pemerintah pun menyatakan Inalum resmi memegang 51,23 persen saham PTFI usai menyelesaikan transaksi pembayaran kepada Rio Tinto dan FCX di akhir November 2018. Pemda Papua juga dinyatakan mendapat porsi 10 persen saham PTFI setelah divestasi ini selesai.

“Dengan selesainya proses divestasi saham PTFI dan peralihan Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK, dapat dipastikan PTFI akan memberikan kontribusi penerimaan negara yang secara agregat lebih besar dibandingkan saat KK berlaku,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam siaran resmi pemerintah.

Freeport yang Masih Menjadi Polemik di Indonesia

Lepas dari pro-kontra terkait divestasi dan negosiasi antara pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan Inc., persoalan pertambangan haruslah dilihat dari aspek lain seperti keadilan. Bukan hanya bagi pemerintah namun jua bagi warga Papua. Sebagai perusahaan penambang emas, Freeport juga bertanggung jawab atas kerusakan alam yang mereka perbuat.

Persoalan Freeport di tanah Papua memang bukan soal perdagangan atau ekonomi semata, ada begitu banyak fakta kejahatan yang dilakukan oleh PT Freeport, terutama pelanggaran terhadap pencemaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia orang Papua. Kerugian hilangnya kehidupan, kebudayaan, penghancuran bentang alam dan hutan Papua selama ini tidak menjadi dasar penghitungan dalam cerita investasi, semua dianggap tidak ada nilainya.

“Freeport adalah gambaran luka bagi orang Papua. Bukan hanya kerugian secara ekonomi bangsa Indonesia. Orang Papua selama ini telah mengalami kerugian atas nilai-nilai kehidupan, kebudayaan, dan lingkungan hidup yang telah dihancurkan dengan industri raksasa ini,” ujar Maurits J Rumbekwan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua.

Bagi Maurits, penandantanganan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak boleh menjadi penghapusan atau pemaafan atas berbagai pelanggaran HAM yang telah terjadi. Pemerintah Indonesia berkewajiban mengusut dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang dilakukan, juga harus mencegah pengulangan, serta menghentikan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Freeport, Perusahaan Asing Pertama di Indonesia

Forbes Wilson, geolog Freeport datan ke Papua pada 1960. Ia terpukau dengan gundukan harta karun pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Ia sangat terpesona oleh hamparan bijih tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah. Dalam laporan perjalanannya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain (1989), Wilson menyebut terdapat bijih besi, tembaga, perak serta emas.

Ia membawa sejumlah batu dari Ertsberg pulang ke Amerika Serikat. Dari contoh-contoh yang dibawa Wilson, para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung itu bakal amat menguntungkan. Modal awal akan kembali hanya dalam tiga tahun, kata mereka.

Namun, Freeport menghadapi jalan buntu, sebab Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia kala itu menolak keras terhadap kaum kapitalis Barat. Namun setelah Soekarno lengser dan digantikan Soeharo, Freeport kembali mendapatkan kesempatan mendulang keuntungan di Tanah Air. Soeharto bahkan mengeluarkan aturan tentang Penanaman Modal dan menjadikan Freeport sebagai perusahaan asing pertama di Orde Baru.

“Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim baru di Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia,” tulis Denise Leith dalam Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia (2003).

Soeharto sebenarnya baru ditetapkan presiden pada 12 Maret 1967. Salah satu keputusan Soeharto yang berdampak panjang secara ekonomi yaitu memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun. Kontrak karya itu ditandatangani pada 7 April 1967, atau hanya sekitar tiga minggu setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden.

Share: Pertemuan Rahasia Jokowi dengan Bos Freeport dan Masalah HAM yang Belum Tuntas