Rabu, 24 Juli 2019, media ramai-ramai mengabarkan “reuni” empat tokoh politik di dua tempat berbeda. Megawati Soekarno Putri dengan Prabowo Subianto, Surya Paloh dengan Anies Baswedan. Beda tempat namun kegiatannya sama. Mereka berbincang sembari menyantap makan siang.
Megawati dan Prabowo sama-sama mengenakan batik, tetapi penampilan Anies-Surya tak seragam. Ketua umum Partai NasDem mengenakan jas dengan kemeja putih, Anies memakai baju dinasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kalau membicarakan penanda dan pertanda, mungkinkah Megawati dan Prabowo ingin menunjukkan bahwa mereka bertemu “demi Indonesia,” sementara Anies hendak tampil sebagai gubernur? Atau kebetulan saja Anies mengenakan seragam, mengingat ia berjumpa Surya Paloh pada hari dan jam kerja?
Kalau kata Franklin Roosevelt, tidak ada yang kebetulan di dalam dunia politik. Tentang semua yang tampak, katanya, “You can bet it was planned that way.”
Kembali pada 2010, Nasional Demokrasi (NasDem) awalnya didirikan sebagai organisasi massa yang dideklarasikan pendiriannya oleh 45 tokoh. Salah satu dari 45 orang tersebut adalah Anies Baswedan, sedangkan Surya Paloh berperan sebagai pencetus pendirian ormas ini bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Dalam deklrasi tersebut, Anies menyebutkan bahwa NasDem “menolak demokrasi yang sekadar merumitkan tata cara berpemerintahan tanpa mewujudkan kesejahteraan umum.” Anies juga menegaskan bahwa Nasdem menolak demokrasi tanpa orientasi publik. Ia bersama Nasdem bercita-cita menciptakan demokrasi Indonesia yang “menjadi tempat persandingan keberagaman dengan kesatuan, dinamika dengan ketertiban, kompetisi dengan persamaan, dan kebebasan dengan kesejahteraan.”
Sudah, sampai di situ, Anies tak pernah kelihatan terlibat lagi.
Setahun kemudian, NasDem dideklarasikan sebagai partai politik namun hanya ada 2 nama tercatat sebagai orang penting dalam deklarasi tersebut: Rio Capella, yang sempat menjadi ketua umum periode 2011-2013 dan kemudian menyerahkan kursi kepemimpinan kepada Surya. Di bawah kepemimpinan Surya, Partai Nasdem lolos seleksi KPU untuk menjadi satu dari 10 parpol yang menjadi peserta Pemilu 2014.
Anies sendiri maju sebagai peserta Konvensi Capres Partai Demokrat di 2013. Itu menjadi kiprah pertamanya di dunia politik sebab sebelumnya ia lebih dikenal di dunia pendidikan. Anies sempat menjadi rektor termuda Indonesia karena memimpin Universitas Paramadina dalam usia 38 tahun.
Dengan 11 orang lainnya, Anies “berperang” untuk merebut kursi orang nomor satu Partai Demokrat. Ia juga harus melawan Pramono Edhie Wibowo, ipar Susilo Bambang Yudhoyono. Mirip dengan perebutan kursi RI 1, Anies juga harus melakukan rangkaian debat di berbagai kota untuk meyakinkan kader-kader Demokrat bahwa ia cocok memimpin partai yang mengaku “nasionalis relijius” itu. Dalam pidatonya, Anies menekankan bahwa ia berpolitik karena ingin melunasi Janji Kemerdekaan; terutama terkait keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, Dahlan Iskhanlah yang ternyata menjadi pemenang konvensi.
Dari dua perannya di ormas NasDem dan Demokrat, Anies mengutarakan kemiripan dalam deklarasinya. Adalah keadilan sosial yang menjadi “jualan” Anies ketika berorasi. Di ormas NasDem, Anies ingin menciptakan organisasi yang menyatukan warga Indonesia dan dapat menciptakan keadilan dan kebebasan dengan kesejahteraan. Sementara ketika maju berkompetisi di Demokrat, Anies ingin membuat seluruh warga Indonesia dapat menikmati keadilan sosial.
Perjalanan politik masih berlanjut. Di tahun yang sama, Anies terpilih sebagai jubir kampanye Pilpres 2014 untuk pasangan capres-cawapres Jokowi-JK. Sikap ini berseberangan dengan dukungan politik Demokrat terhadap Prabowo-Hatta Rajasa, tetapi satu suara dengan NasDem yang ikut mengusung pasangan Jokowi-JK.
Satu hal yang penting: Anies dipilih langsung oleh Jokowi, bukan karena masa lalunya dengan NasDem, tetapi Jokowi menilai bahwa Anies merupakan sosok muda dan inspiratif. Anies sendiri menganggap bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang bisa membawa terobosan. Perannya dalam kampanye Pilpres 2014 juga bisa dikatakan berhasil membawanya pada pekerjaan selanjutnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (2014-2016).
Lagi-lagi, Anies terpilih karena latarnya yang dinilai berkaitan dengan bidang pendidikan. Anies menjadi satu dari sedikit menteri yang berasal dari kaum profesional. Maka, bisa dibilang kalau ini tidak ada sangkut pautnya dengan NasDem ataupun Surya Paloh secara pribadi.
Selesai menjabat sebagai Mendikbud, masih jelas di ingatan khalayak luas bahwa Anies maju dalam Pilgub DKI 2017 bersama Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Mereka hanya diusung dua partai, yaitu Partai Gerindra dan PKS. NasDem mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama dengan Djarot Saiful Hidayat.
Hingga kemenangannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tidak terlihat dukungan dan/atau kedekatan Nasdem ataupun Surya secara pribadi dengan Anies setelah menjadi partai politik. Hubungan itu pun akhirnya baru tercium lagi ketika pertemuan Rabu (24/7) kemarin diadakan. Kata Anies, tak ada pembahasan politik, mereka hanya membicarakan ibu kota.
Tapi bisakah kita menerima ucapan Anies begitu saja? Mengingat terpilihnya Anies juga melalui proses politik yang dikatakan demokratis, apa memang perbincangan terkait Jakarta itu tidak termasuk obrolan politik? Jabatannya sebagai gubernur juga merupakan sebuah jabatan politik. Jadi, bisakah dikatakan kalau “bicara soal Jakarta” itu juga menjadi salah satu pembahasan agenda politik?
Apalagi Anies sendiri masih memiliki waktu (kurang lebih) 3 tahun menuju Pilkada DKI Jakarta 2022 mendatang. Sementara NasDem juga memiliki 2 kursi baru untuk diduduki di DPRD DKI Jakarta, dari 5 menjadi 7 kursi. Kecil memang bila dibanding dengan jumlah anggota DPRD DKI yang berjumlah 106 caleg untuk periode 2019-2024. Kecil juga dibanding perolehan PDIP yang mengisi 25 kursi. Tapi kalau terkait urusan politik, hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatifnya tetap penting, bukan?
Kembali pada pembahasan hubungan Anies dengan Surya, memang sempat terlihat renggang di tahun 2013-2019. Setelah NasDem berdiri sebagai partai politik, tidak ada lagi kabar tentang hubungan mereka. Baik itu kabar baik ataupun kabar buruk. Namun, pertemuan politik ini mungkin bisa jadi membuktikan perkataan Groucho Marx, seorang komedian dan bintang film AS. “Politics doesn’t make strange bedfellows – marriage does,” katanya. Dalam politik, semua bisa jadi kawan di peraduan.
Mereka yang tadinya “terlihat” renggang bisa saja bertemu dan mengakrabkan diri. Yang sepertinya tak berkepentingan, bisa saja sedang menyiapkan rencana besar.