General

Persimpangan Politik: Citra atau Gagasan?

Ikhsan Yosarie — Asumsi.co

featured image

Saya pikir tidak ada yang tidak sepakat, bahwa level politik dan berpolitik di Indonesia harus naik kelas. Mulai dari bakal calon peserta Pilkada, Pileg, dan penekanan tentu teruntuk para politisi sekarang, mengingat “pasaran” sedang panas menuju Pilpres 2019. Level politik kita tidak lagi berada hanya dalam ranah citra atau popularitas si calon, sehingga rekrutmen partai politik dalam menjaring para calon yang ingin berkontestasi menjadi penting untuk kita awasi bersama. Apakah partai hanya mementingkan popularitas dari calon yang melamar, atau melihat track record-nya?

Ranah gagasan dan ide sudah seharusnya menjadi prioritas utama dalam arena kontestasi politik. Memiliki gagasan, tidak serta pula berarti hanya akademisi saja yang memiliki. Negara ini, khususnya masyarakat, membutuhkan calon-calon yang akan mengatur hajat hidup orang banyak dengan inovasi, gagasan, dan kemajuan dalam berfikir. Popularitas bukan hal yang substansi, karena menjadi politisi dan ikut kontestasi politik bukan untuk menjadi selebritis. Toh, popularitas tidak menjawab kebutuhan rakyat dan daerah. Bagaimana caranya rakyat akan kaya, hidup sejahtera, berkecukupan, dan hal-hal positif lainnya, jika keutamaan para calon adalah popularitas? Lalu, untuk apa masa kampanye jika popularitas menjadi daya tarik partai politik dalam menjaring setiap bakal calon?

Para konstestan politik, baik yang akan menjadi wakil rakyat atau pemimpin, harus menghadirkan solusi atas permasalahan dan inovasi untuk kemajuan. Untuk itulah butuh gagasan, bukan hanya mengumbar senyum untuk rakyat. Ranah ide dan gagasan pun nanti juga akan bisa kita lihat pada baliho-baliho para calon. Apakah isinya seperti biasa, terdapat foto dan slogan normatif yang tidak jelas indikator dan pembuktiannya, atau ada sesuatu yang baru dan menarik. Sehingga, penyebaran baliho-baliho bakal calon pada masa prapendaftaran atau pascapendaftaran nanti, akan melahirkan diskursus-diskursus yang membangun di kalangan masyarakat.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkuri juga bahwa popularitas memang dibutuhkan oleh setiap calon. Karena itu menjadi modal awal dan pertanda bahwa masyarakat sudah mengenal si calon. Namun, akan menjadi riskan jika popularitas itu yang kemudian menjadi jualan si calon. Kondisi seperti ini secara gamblang telah menggeser substansi dari politik itu sendiri, khususnya untuk konteks pemilu atau pilkada. Pergeseran itu dari ranah esensi menuju eksistensi, dan dari gagasan menuju ketokohan. Citra cenderung lebih bernilai ketimbang gagasan dan melahirkan politik ketokohan.

Jika citra yang menjadi andalan, nalar kritis menjadi teredam. Baliho-baliho hanya menghadirkan foto-foto dan slogan yang mudah diingat. Slogan pun juga bersifat normatif, seperti “bersih, jujur, adil dan sebagainya”. Diskursus dalam hal ini tidak akan berkembang, malah hanya akan menimbulkan tanda tanya yang mendasar. Dan politik tidak akan naik kelas, jika fenomena ini terus berlanjut.

Slogan, visi, dan misi calon seharusnya mengundang keberpihakan secara rasional atau ideologis dari setiap pemilik suara. Artinya, perlu ada sebuah narasi singkat yang konkret dan representatif yang menjadi penghubung antara ketiga hal tadi dengan pembaca atau masyarakat. Narasi singkat itulah yang akan memunculkan diskursus di kalangan masyarakat. Jika  isi baliho itu hanya berupa foto dan 3 kata yang normatif, seperti “bersih, jujur, dan adil”, apa yang akan di diskursuskan?

Pilkada dan Pemilu bukan ajang popularitas atau menjual ketenaran. Terlalu mubazir jika pesta demokrasi kita diinfiltrasi dengan hal demikian. Jika si calon berangkat untuk maju dengan modal popularitas, kecenderungan yang bersangkutan baru ketika ditengah jalan mencari atau menyusun gagasan. Dan sebaliknya, mereka yang tidak populer enggan untuk maju. Biaya politik (cost politic) mahal, itu logika sederhananya untuk tidak maju. Jika popularitas yang menjadi jualan, tentu saja hal ini terjadi. Baliho, kalender, dan baju tim sukses turut andil dalam hal mempertebal ongkos politik. Dan pada intinya, pengelaborasian popularitas dalam kampanye si calon untuk meraup suara tidak menjawab kebutuhan masyarakat.

Jika kita hubungkan antara ongkos politik yang mahal dengan slogan “bersih, jujur, dan adil”, yang menjadi pertanyaan adalah dimana letak keseiringan atau titik temu kedua hal ini? jika masyarakat dibiasakan untuk apatis terhadap politik dan dimatikan nalar kritisnya, siapa yang akan mengawasi atau mengingatkan pemerintah jika pertemuan dua hal tadi jatuh kepada hal negatif? Dan dengan demikian, politik kita tidak akan naik kelas.

Mendidik dan Terdidik

Pendekatan-pendekatan kepada masyarakat tidak bisa lagi bersifat simbolis. Misalnya dengan mengkampanyekan paslon dengan merujuk perilakunya, pilih si A karena ia bagus dan jujur. Atau dengan merujuk kondisi foto paslon di baliho-baliho paslon yang akan dipasang disetiap sudut kota, dengan kata-kata simbolis coblos pecinya atau coblos jempolnya.

Fenomena ini sering kita jumpai. Setiap calon kemudian juga berlomba membangun image atau citra dirinya secara simbolis yang mudah untuk diingat. Ini seperti mengajarkan anak kecil. Cara-cara seperti ini secara sadar atau tidak, jutru tidak memajukan dan tidak mendidik masyarakat dalam politik. Cara yang mendikte seperti ini tidak membangun nalar kritis dan hal-hal konstruktif lainnya.

Akan menjadi luar biasa ketika orang-orang memilih untuk mendukung si calon karena mendengar kegelisahannya terhadap daerahnya, kemudian menghadirkan solusinya, misalnya tentang pembangunan kota, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan kemajuan. Kemudian kegelisahan ini disampaikan dengan narasi yang mudah dicerna oleh masyarakat dan menimbulkan kegelisahan yang sama. Dan disanalah letak poin visi-misinya.

Gagasan harus menjadi modal utama calon untuk maju dalam kontestasi politik. Dengan modal gagasan, maka persoalan tua dan muda tidak layak untuk dikedepankan. Calon yang memiliki gagasan menandakan ia memiliki prinsip dan rule yang jelas ketika terpilih nantinya. Dengan kata lain, pembangunan sudah ada di pikirannya.

Mengedepankan citra, artinya kita akan tetap mempertahankan level politik kita yang rendah. Di kala daerah atau negara lain tengah berlomba dengan gagasan yang maju, kita masih berkutat pada tahap si A tingkat elektabilitasnya rendah atau tidak populer. Ini juga menjadi bahan introspeksi bagi partai politik yang mengusung atau tengah menjaring calon yang akan diusung, bahwa nilailah gagasannya, bukan citranya. Jika citranya masih kurang populer, itulah momennya di masa kampanye.

Ikhsan Yosarie adalah seorang peneliti di SETARA, Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian.

Share: Persimpangan Politik: Citra atau Gagasan?