Isu Terkini

Karier Singkat Theresa May sebagai PM Inggris

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Theresa May memutuskan untuk melepas jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris Raya. Keputusan ini berlaku per 7 Juni 2019. Dengan mata yang berkaca-kaca, May mengatakan, “sebentar lagi saya akan meninggalkan pekerjaan yang merupakan kehormatan dalam hidup saya.” Ia bilang dirinya merupakan perdana menteri perempuan kedua, tetapi tentu bukan yang terakhir.

Perjalanan Theresa May sebagai perdana menteri unik dan penuh tantangan. Tanpa pemilihan umum, ia menggantikan David Cameron–yang mundur setelah hasil referendum Uni Eropa tidak sesuai dengan harapannya. Misi mengantarkan Inggris Raya keluar dari Uni Eropa pun menjadi milik Theresa May.

Naiknya Theresa May sebagai perdana menteri langsung dipertanyakan sejak awal. Publik Inggris Raya, terutama pendukung Partai Konservatif, merasa bahwa Theresa May adalah seorang remainer–seseorang yang pro-Uni Eropa. May satu suara dengan Cameron soal keanggotaan Inggris Raya di Uni Eropa. Kontradiksi sejak awal ini menjadi kesulitan pertama yang dihadapi Partai Konservatif, sekaligus menjadi formula yang tepat dalam menurunkan kepercayaan publik pada partai yang berkuasa semenjak tahun 2010 ini.

Di Partai Konservatif tentu ada pendukung Brexit, di antaranya Jacob Rees-Mogg dan Boris Johnson yang sejak lama berkampanye tentang pentingnya Inggris Raya keluar dari Uni Eropa. Namun, Cameron digantikan Theresa May, bukan mereka.

Peluang “No Deal Brexit”

Pada Januari 2017, selang beberapa bulan setelah naik menjadi perdana menteri, Theresa May mendapatkan sanjungan dari kelompok sayap kanan Inggris Raya. Sanjungan ini ia terima setelah dirinya dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan segan-segan keluar dari Uni Eropa tanpa perjanjian apapun (No Deal Brexit).

“Tanpa kesepakatan lebih baik daripada harus menerima kesepakatan buruk,” ujar Theresa May di Brussels.

Dalam kondisi ini, hubungan Uni Eropa dan Inggris Raya akan didasarkan pada aturan-aturan World Trade Organization. Harian Daily Mail melabeli May sebagai “New Iron Lady”, istilah yang tentu saja merujuk Margaret Thatcher.

Yakin mendapat dukungan publik Inggris Raya, Theresa May mengadakan Pemilihan Umum dadakan pada Juni 2017. Dari Pemilu ini, ia berharap dapat mengukuhkan mayoritas yang lebih besar di parlemen, sehingga ia dapat mengambil keputusan terkait Brexit dengan lebih leluasa.

Alih-alih mencapai tujuannya, May justru kehilangan mayoritas parlemennya. Jargon “kuat dan stabil” milik pemerintahannya pun tinggal jargon. Demi mempertahankan kekuasaan Partai Konservatif di parlemen, May memutuskan untuk berkoalisi dengan partai Irlandia Utara, Democratic Unionist Party (DUP).

Kehilangan Kepercayaan, No Deal Tinggal Kenangan

Usul yang ditawarkan Theresa May ternyata jauh panggang dari api. Pada Januari 2019, proposal Brexit May dianggap masih terlalu terikat dengan Uni Eropa. Di sisi lain, kelompok remainer di Uni Eropa juga tidak puas dengan apa yang ditawarkan May. Alhasil, usul itu ditolak parlemen, dengan catatan rekor baru sebagai proposal yang dikalahkan dengan selisih suara paling telak sepanjang sejarah, yakni 432-202.

Satu per satu, anggota kabinet Theresa May mundur dari jabatan, termasuk Boris Johnson dan Dominic Raab. Itu menandakan bahwa sang perdana menteri mulai tidak dipercaya. Sejak November 2018, belasan menteri Theresa May sudah meninggalkan pos.

Yang membikin geram banyak orang di Partai Konservatif adalah kegoyahan Theresa May. Pada 29 Maret 2019, seharusnya Inggris Raya sudah resmi keluar dari Uni Eropa dengan status No Deal. Namun, alih-alih keluar, ia meminta perpanjangan waktu demi mencegah terjadinya No Deal Brexit.

Perpanjangan demi perpanjangan yang diminta menjadi tanda bahwa Theresa May enggan memutuskan No Deal Brexit. Hal ini membuat dukungan para anggota Partai Konservatif terus menyurut. Pada 21 Mei 2019, Theresa May menggulirkan proposal Brexit miliknya untuk yang terakhir kali.

Share: Karier Singkat Theresa May sebagai PM Inggris