Isu Terkini

Peringatan Hari Anti Kekerasan Perempuan: RUU PKS Terganjal Lobi DPR Jelang Pilpres

Fariz Fardianto — Asumsi.co

featured image

Sejumlah aktivis pro hak asasi perempuan merayakan momentum Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Tepat di hari Minggu pagi pukul 07:00 WIB, para aktivis dari berbagai lembaga mulai LBH Apik, SPRT Merdeka, LRC-KJHAM, DFCI hingga PKBI menggelar ragam kegiatan untuk menarik perhatian masyarakat yang berolahraga di hari bebas berkendara.

Dimulai dari ruas Jalan Pahlawan, mereka mengumpulkan ratusan warga untuk ikut ajang fun run hingga long march menyusuri bundaran Simpang Lima.

Koordinator Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM Semarang, Citra Ayu Kurniawati mengaku geregetan dengan ulah panitia kerja DPR RI yang sengaja mengulur waktu untuk mengesahkan draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Padahal, kata Citra, para legislator di Senayan sudah menyanggupi untuk mengesahkan RUU PKS maksimal di tahun ini. “Tapi nyatanya apa, dari dua tahun lalu sampai sekarang pembahasannya malah mandek. Akibatnya, banyak korban kekerasan seksual yang tak bisa didampingi saat berhadapan dengan penegak hukum,” kata Citra saat ditemui Asumsi.co di sela kegiatannya.

Kondisi yang ada selama ini, malah membuat hak-hak korban kekerasan seksual terenggut. Mereka jadi takut melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada kepolisian.

Korban Malah Dijerat UU ITE

Contoh terkini, ia bilang bisa dilihat dari kasus Baiq Nuril dan Agni, dua perempuan yang terkena hukuman penjara karena telah melapor menjadi korban kekerasan seksual. Bukannya membela, penegak hukum malah menjerat mereka dengan dalih melanggar UU ITE.

“Mereka kan korban tapi justru menjadi pelaku, sampai dijerat UU ITE. Sekarang pelaku masih bebas tanpa ada proses hukum yang jelas. Situasi ini yang harus dihentikan sekarang,” bebernya.

Serupa tapi tak sama juga muncul di Jawa Tengah. Ia menemukan ada 171 kasus tahun ini. Rata-rata didominasi tindakan perkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seksual yang dilakukan oknum keluarga korban.

Kejahatan Seksual Libatkan Anggota Keluarga

Kendati jumlah kasusnya cenderung menurun, Citra mengatakan fenomena yang muncul belakangan ini, polisi kedapatan kerepotan menindak pelakunya.

Ia menyoroti ulah keluarga korban yang terkesan menyembunyikan kasus itu, bahkan ada mengajak berdamai. “Karena ada kasus anak diperkosa orangtuanya sendiri, yang ada malah keluarganya sendiri mendamaikan dengan perantara pemda-pemda. Yang kayak gini ditemukan di Kendal,” tuturnya.

“Dampaknya korban malu melapor atau minim informasi lembaga pendampingam hukum di kelurahan maupun propinsi,” sambungnya.

DPR Abaikan RUU PKS

Ia mengecam tindakan para anggota fraksi parpol di Senayan yang abai terhadap pengesahan RUU PKS. Terdapat pula sejumlah fraksi yang menolak meneruskan lobi-lobinya demi memuluskan kepentingan politiknya menjelang kontestasi Pilpres dan Pileg 2019 nanti.

“Informasi yang beredar saat ini, ada fraksi-fraksi secara gamblang menolak disahkannya RUU PKS. Alasannya, lebih penting meramaikan Pemilu karena ada pemilihan presiden,” cetusnya.

Ini, tambahnya membuat proses penindakan terhadap pelaku menjadi sangat lemah. Bagi kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak, misalnya kepolisian hanya menggunakan UU Perlindungan anak. Jika pelaku dan korbannya dari orang dewasa, kepolisian sering kesulitan menindaknya.

“Seringnya itu dianggap suka sama suka. Jadinya pelaku sulit dihukum. Kalau ada kasus yang muncul, polisi hanya menjatuhkan hukuman penjara yang rendah, acuannya UU KUHP. Kalau korbannya dewasa, pelakunya cuma dihukum ringan,” ungkapnya.

Lebih jauh lagi, untuk menyetop maraknya kasus kekerasan seksual, Citra mendesak DPR RI supaya lekas mengesahkan RUU PKS. Sehingga kepolisian punya patokan yang jelas untuk menjatuhi hukuman bagi pelakunya sekurangnya 15 tahun sampai 20 tahun penjara.

Ia menuturkan dengan disahkannya RUU PKS, paling tidak korban mendapat pendampingan hukum dan terselip aturan yang meringankan korban. Salah satunya para lorban bisa jadi saksi dan jadi bukti pelaporan ke kepolisian. “Nah kalau begitu baru bisa menjerat pelakunya dengan hukuman setimpal,” ujar Citra.

Data yang diperoleh dari LBH Apik Semarang, dalam rentang waktu Januari-November kasus yang muncul menjurus pada KDRT.

Saban hari pihaknya bisa menangani laporan satu sampai tiga kasus via tatap muka maupun aduan dari sambungan telepon. Jumlahnya ada 55 kasus.

“Semuanya sudah diproses sesuai perdata dan pidana,” Raden Ayu Rara Hermawati Sasongko, Kordiv Pelayanan Hukum, LBH Apik Semarang.

Share: Peringatan Hari Anti Kekerasan Perempuan: RUU PKS Terganjal Lobi DPR Jelang Pilpres