Budaya Pop

Perempuan Tanah Jahanam: Hantu dan Perempuan Bukan Ancaman

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Film horor Indonesia telah melalui banyak zaman. Kita telah melewati era film horor Orde Baru, di mana para hantunya seringkali adalah manifestasi dari kekerasan sistemik yang dialami oleh perempuan—seperti pemerkosaan dan kematian akibat proses kelahiran yang tak aman. Dalam Sundelbolong (1981), misalnya, hantu sundelbolong hadir untuk membalas dendam karena ia mati dibunuh dengan sebelumnya diperkosa oleh sekumpulan laki-laki.

Setelah itu, pada awal Reformasi, kita melewati masa di mana film horor berpaduan dengan gairah seks. Fungsi horor tak hanya untuk menakut-nakuti, tetapi juga untuk mempertontonkan tubuh perempuan dan mengundang nafsu seksual. Namun, dengan semakin banyaknya film yang mereproduksi materi serupa, penonton pun mencapai titik jenuhnya dan film horor berbau seks tak lagi laku di pasaran.

Sementara itu, saat ini, tren film horor telah berubah lagi. Di satu sisi, perfilman kita saat ini rajin memproduksi film horor. Dalam setahun terakhir saja, lebih dari sepuluh film horor menghiasi layar bioskop. Beberapa judul film horor yang laku di pasaran juga dibuat sekuelnya, seperti Danur yang hingga saat ini telah punya tiga film dan satu sempalan berjudul Asih (2018), atau The Doll yang terdiri dari dua film dan satu sempalan berjudul Sabrina (2018).

Entah tren film horor macam apa yang ada saat ini. Namun, yang pasti, terlepas dari kuantitas film horor setiap tahunnya yang melimpah, tak banyak hal baru yang ditawarkan. Kebanyakan film horor Indonesia masih lebih banyak mengandalkan jump scare untuk menakut-nakuti penonton—tetapi konteks, latar belakang, hingga alur cerita film sendiri tak terlalu diperhatikan.

Yang Horor itu Manusia

Perempuan Tanah Jahanam (2019), film horor terbaru yang disutradarai Joko Anwar, mengambil pendekatan berbeda. Film ini berpusat pada karakter Maya (Tara Basro). Ia bersama sahabatnya, Dini (Marissa Anita), memutuskan untuk pergi ke sebuah desa terpencil bernama Harjosari. Maya berharap ia bisa mengambil harta warisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya di sana. Namun, rencana tidak berjalan mulus. Mereka tidak tahu bahwa desa tersebut dikutuk dan penduduknya mengincar nyawa keduanya.

Pada film ini, hantu justru bukan yang membuat film ini jadi horor. Jump scare yang biasanya diasosiasikan dengan kemunculan hantu pun justru terjadi ketika manusia muncul.

Perempuan Tanah Jahanam membuat pertemuan Maya dengan manusia-manusia lain menjadi menakutkan. Tak hanya yang berintensi jahat—kecurigaan terhadap manusia itu ditanamkan sejak awal film ke hampir siapapun yang berwujud manusia. Contohnya adalah ketika Maya sedang berjalan sendirian di lorong toko yang sepi. Ia melihat seseorang memakai jubah panjang hitam berdiri di ujung. Ketika didekati, ia ternyata hanya orang biasa yang sedang menjaga toko.

Mengasosiasikan manusia sebagai sebuah bentuk ancaman ini menjadi logis—sebab, seiring berjalannya cerita, terbukti bahwa pada dasarnya manusia adalah sumber utama ancaman bagi Maya. Warga Desa Harjosari percaya bahwa sumber kutukan di desa adalah Maya, dan cara untuk menghilangkannya adalah dengan membunuh Maya. Film ini seolah mengatakan bahwa manusia dapat dengan mudah membunuh sesamanya tanpa ragu ketika kepentingan mereka sendiri dipertaruhkan.

Terlepas dari tindakan bengis mereka, karakter antagonis dalam Perempuan Tanah Jahanam punya motif yang jelas. Selama 20 tahun penduduk desa Harjosari tak bisa melahirkan bayi yang sehat. Selama 20 tahun pula mereka mesti membunuh anak-anak mereka sendiri. Mungkin bagi mereka: apalah arti sebuah nyawa orang dewasa jika mereka bisa memberikan kesempatan bagi nyawa-nyawa lain untuk hidup.

Sementara itu, karakter makhluk halus pada film ini memang tetap menampakkan diri. Namun, tak seperti karakter hantu dalam kebanyakan film horor lain yang tampil untuk menakut-nakuti, mengganggu, atau mengancam nyawa seseorang, hantu dalam Perempuan Tanah Jahanam justru muncul untuk meminta tolong kepada yang masih hidup.

Kemunculan mereka pun seringkali tidak disertai dengan jump scare. Mereka memang datang secara tiba-tiba, tetapi tidak diiringi oleh perpindahan kamera mendadak, close-up ke wajah hantu, atau backsound keras yang mengagetkan. Maya yang ditemui oleh mereka pun tidak merasa kaget atau takut ketika melihat hantu-hantu ini.

Relasi Antar-perempuan

Perempuan Tanah Jahanam (2019) menjadi film horor ketiga Joko Anwar. Sebelumnya, Joko Anwar telah membuat Pengabdi Setan (2017) dan film pendek A Mother’s Love (2018). Ketiga film horor tersebut punya kesamaan: karakter utama protagonisnya adalah perempuan.

Dalam A Mother’s Love, Joko Anwar memperlihatkan relasi yang menarik antara hantu dan manusia yang sama-sama perempuan. Sebagai seorang ibu (Marissa Anita), paham mengapa wewe gombel yang menculik anaknya begitu ingin memelihara anak-anak.

Joko Anwar memperlihatkan kesepian dan kehilangan seorang ibu ketika anaknya direnggut darinya. Memahami ini, sang ibu tak serta merta membenci atau menjadi takut kepada wewe gombel—ia justru memeluk dan berempati padanya.

Maka, jika hantu pada film horor Orde Baru membalaskan dendam atas ketidakadilan yang menimpa mereka di dunia nyata, hantu pada film-film Joko Anwar berakhir dimanusiakan.

Dalam konteks ini, A Mother’s Love maupun Perempuan Tanah Jahanam tak ikut arus film horor yang menjadikan sosok hantu perempuan sebagai ancaman. Sebab, sebagaimana era Orde Baru, kebanyakan film horor saat ini masih menjadikan perempuan sebagai hantu yang menakutkan. Sayangnya, hantu-hantu ini tak punya motif yang jelas—apalagi mencoba berefleksi terhadap situasi terkini.

Sebutlah Kuntilanak (2018) yang antagonisnya adalah hantu kuntilanak. Ia menculik anak-anak, tetapi tak jelas motivasi yang membuatnya melakukan itu. Hal serupa terlihat pada Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) yang menyederhanakan motivasi karakter aslinya dalam Sundelbolong menjadi balas dendam biasa. Konteks cerita tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan tidak diangkat, terlepas dari masih relevannya isu tersebut hingga kini.

Selain itu, menarik pula untuk melihat relasi antara Maya dan Dini dalam Perempuan Tanah Jahanam. Sebagai dua perempuan yang bersahabat erat, mereka melakukan segalanya bersama-sama: dari bekerja sebagai penjaga gerbang karcis tol, tinggal bersama, membuka bisnis baju, hingga pergi ke desa tempat rumah masa kecil Maya.

Maya dan Dini ini senantiasa suportif terhadap satu sama lain. Dini dengan sigap menghubungi petugas keamanan ketika Maya memberi tahu seorang laki-laki mengganggunya. Ia pun tak sekadar berharap Maya akan mendapat harta warisan, tetapi menemaninya langsung ke sana. Selain Dini, ada pula karakter perempuan lain (Asmara Abigail) di desa yang tanpa ragu membantu dan melindungi Maya.

Perempuan Tanah Jahanam keluar dari trope the final girl”, yaitu pola film horor membedakan nasib antara karakter perempuan yang berperilaku baik dan tidak baik. Perempuan yang tidak baik: berpacaran atau aktif secara seksual, mengganggu atau merisak orang lain akan diganjar dengan maut, sementara yang berperilaku baik akan bertahan menjadi “the final girl”.

Trope ini akhirnya seringkali sengaja membuat dua karakter perempuan punya kepribadian yang kontras. Atas nama moral, perempuan yang berpakaian terbuka, menikmati seks, atau sekadar punya banyak opini jadi dianggap patut untuk dibunuh dibanding perempuan lain yang lebih kalem dan sopan.

Trope yang sebenarnya sudah sangat usang ini masih dipakai pada film Dreadout (2019). Jessica (Marsha Aruan), si perempuan kaya dan ambisius mencari popularitas, berakhir diculik dan kesurupan. Sementara si protagonis utama, Linda (Caitlin Halderman), yang bekerja keras, tak banyak bicara, dan tak neko-neko, dibuat selamat.

Sebelum Iblis Menjemput juga mengadopsi tren serupa. Maya (Pevita Pearce) adalah saudara tiri karakter protagonis utama film ini, Alfie (Chelsea Islan). Karakter Maya galak dan blak-blakan, kontras dengan karakter Alfie yang tak banyak bicara dan berjarak. Ia dan ibunya pun mengincar harta peninggalan ayah Alfie. Maya dan ibunya berakhir kesurupan dan dibakar, Alfie berhasil menyelamatkan diri.

Baik Dreadout dan Sebelum Iblis Menjemput membuat dua karakter perempuan mereka saling bersitegang antar satu sama lain—melanggengkan stigma bahwa perempuan tidak mudah rukun atau akrab dengan perempuan lainnya.

Berbeda dengan Dreadout yang karakter perempuan “tidak baik”-nya dibuat kesurupan, Perempuan Tanah Jahanam tak bermain moral: Dini justru celaka duluan dari Maya—padahal ia adalah orang yang peduli dan memerhatikan Maya. Dini celaka bukan karena sikap moralnya, tetapi sesederhana karena ia terlalu cuek dan tak mudah curiga kepada orang lain.

Maka, di tengah gempuran film horor di Indonesia, Perempuan Tanah Jahanam—sebagaimana film-film horor Joko Anwar lainnya—tak begitu saja mengikuti arus film-film horor lain yang sedang beredar. Film ini justru membalikkan sumber ancaman dari yang tidak terlihat menjadi yang terlihat jelas di depan mata.

Tak hanya itu, ketika film-film horor lain masih senang untuk melanggengkan trope tertentu pada karakter perempuan, Perempuan Tanah Jahanam justru mencoba mengurainya. Hal ini bisa jadi kelewat sederhana untuk diapresiasi. Tapi, lagi-lagi, mengingat film-film horor kita seringkali kelewat berambisi mengagetkan penonton, yang mendasar seperti ini justru penting untuk terus diingatkan agar tak terlewatkan begitu saja.

Share: Perempuan Tanah Jahanam: Hantu dan Perempuan Bukan Ancaman