Isu Terkini

Penolakan Dwifungsi ABRI di Aksi Kamisan

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Gelombang penolakan terhadap potensi munculnya Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru kembali muncul. Kali ini, kritikan datang dari sejumlah aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam Aksi Kamisan ke-576 di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Februari 2019. Pada Aksi Kamisan itu, kritik yang digaungkan adalah menolak kembalinya Dwifungsi ABRI.

Setidaknya ada sekitar 450 orang yang ikut serta dalam aksi menolak kembalinya militer untuk menduduki jabatan sipil. Seperti biasa, Aksi Kamisan yang sudah dimulai sejak 18 Januari 2007 itu juga diikuti para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Dengan berpakaian dan berpayung hitam, Aksi Kamisan itu pun berlangsung damai.

Para aktivis memprotes wacana restrukturisasi dan reorganisasi TNI dengan rencana penempatan anggota militer aktif di jabatan Sipil. Wacana militer menempati jabatan sipil tersebut berawal ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berencana membuat kebijakan agar perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) TNI masuk ke kementerian/lembaga di Indonesia.

Hadi mengusulkan revisi Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Revisi ini nantinya akan memungkinkan TNI bisa menduduki kursi birokrat sesuai dengan jumlah pati dan pamen yang non-job.

Baca Juga: Melihat Kembali Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru

Wacana tersebut dianggap sebagai solusi atas banyaknya pati dan pamen yang belum mendapat jabatan alias non-job di struktur TNI. Namun, massa menilai wacana tersebut sejatinya justru bertentangan dengan reformasi TNI itu sendiri. Selain itu, keterlibatan TNI dalam jabatan sipil ditakutkan kembali memunculkan aroma Dwifungsi ABRI yang sempat muncul di era Orde Baru.

Tak Ingin Kembali ke Masa Kelam Orde Baru

Direktur The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf mengatakan bahwa keterlibatan militer di politik juga berpotensi memunculkan pelanggaran HAM. Maka dari itu, para aktivis dan masyarakat tak ingin kembali ke masa kelam ketika militer terlibat di politik pada masa Orde Baru.

“Kekerasan-kekerasan yang melanggar HAM dihasilkan akibat dari penguatan politik militer pada era baru sehingga penguatan politik era baru basis dasarnya itu adalah dwifungsi itu sendiri,” kata Direktur Imparsial Al Araf, Kamis, 28 Februari 2019.

Dalam usaha untuk menolak kembalinya Dwifungsi ABRI, Al Araf beserta para aktivis lainnya juga sudah mengirimkan surat ke Presiden RI Joko Widodo. Tak hanya itu saja, usaha lainnya adalah berusaha untuk duduk bersama anggota DPR RI terutama Komisi I untuk membahas permasalahan tersebut.

“Hari ini kan kamisan kita selalu kirim surat ke presiden atas nama Suciwati dan Sumarsih, kedua kita mencoba melakukan peluang lobi kepada komisi I DPR dan juga membuka ruang kepada pemerintah serta akan melakukan langkah-langkah lain untuk menyampaikan aspirasi,” ucap Al Araf.

Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru

Gagasan utama Dwifungsi ABRI sendiri adalah keikutsertaan angkatan perang dalam politik. Dalam hal ini, pencetus gagasan itu sendiri adalah Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Jenderal Nasution memunculkan konsep ‘jalan tengah’ yang jadi cikal bakal Dwifungsi ABRI.

Konsep ‘jalan tengah’ pun terus dimatangkan Nasution terutama dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Setelah itu disepakati dan ditetapkan bahwa AD diperbolehkan menjalankan perannya di luar militer seperti berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Perlu diketahui, Nasution sendiri sebenarnya sudah merasakan kekuasaan politik selama kariernya di dunia militer. Ia pernah diangkat Presiden Sukarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pada 10 Juli 1959 dalam Kabinet Kerja III, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sejak 1966, dan berlanjut setelah Soeharto jadi presiden sampai 1972.

Konsep ‘jalan tengah’ Nasution inilah yang membuka jalan militer Indonesia untuk mengambil peran di panggung politik. Apalagi saat Soeharto mulai berkuasa, konsep tersebut pun dilanjutkan bahkan dikemas dalam istilah “Dwifungsi ABRI”.

Baca Juga: Sumarsih dan Cerita yang Tersisa Usai Keluarga Korban Pelanggaran HAM Bertemu Jokowi

Pada akhirnya, setelah reformasi 1998, konsep dan implementasi Dwi Fungsi ABRI sendiri dikritik habis-habisan sampai akhirnya konsep tersebut dicabut. Padahal seperti yang kita ketahui, konsep ini sepenuhnya dilaksanakan di era Orde Baru. Meski dalam implementasinya, Dwifungsi ABRI dinilai kelewatan ketimbang konsep awalnya.

Dalam penerapannya, terlihat bahwa hampir semua pejabat daerah dikuasai oleh perwira TNI, adanya kursi TNI di DPR hingga di kursi menteri, serta di perusahaan-perusahaan. Menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) AH Nasution, konsep ‘jalan tengah ABRI’ itu intinya “peran ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik)”.

“Pikiran saya cuma satu, kita perlu mengadakan kerja sama. Kita menganggap kekuatan diri kita juga adalah kekuatan politik,” kata AH Nasution, seperti dikutip dari buku Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai, perjalanan hidup AH Nasution (1998).

Maka dari itu lah, Nasution pun mengaku cukup kaget dengan penerapan “jalan tengah” ABRI di masa Orde Baru, yang ditandai antara lain banyaknya orang-orang militer yang ditempatkan di berbagai perusahaan. Menurut Nasution, penempatan itu tidak tercakup dalam pemahaman Dwifungsi ABRI.

Nasution mengatakan, konsep Dwifungsi sekarang (saat Orde Baru) telah bergeser. Pelaksanaan konsep Dwi Fungsi ABRI dalam perjalanannya mengalami pelencengan. Terutama karena adanya rekayasa politik, di antaranya karena partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah.

Share: Penolakan Dwifungsi ABRI di Aksi Kamisan