Isu Terkini

Mengapa Masih Terjadi Pengusiran Wartawan Asing Dari Papua?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Hampir tiga tahun setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa wartawan asing dibebaskan untuk melakukan peliputan di Papua, ternyata masih ada kasus-kasus yang berujung pengusiran jurnalis asing dari provinsi ujung timur Indonesia itu.

Dalam kunjungannya ke Papua pada Mei 2015 lalu, Presiden Jokowi mengatakan, “Mulai hari ini, Minggu [10 Mei 2015], saya membebaskan wartawan asing yang ingin ke Papua seperti halnya ke daerah lain.”

Beberapa hari lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengambil sikap tegas atas insiden pengusiran terhadap jurnalis yang hendak melakukan peliputan wabah campak dan busung lapar di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Melalui rilis resmi di situsnya, AJI pun mengecam aksi pengusiran tersebut.

Kronologi Pengusiran Wartawan BBC dari Papua

Sebelumnya, terjadi insiden pengusiran terhadap tiga jurnalis British Broadcasting Corporation (BBC) Indonesia yakni Dwiki Marta, Heyder Affan, dan Rebecca Henscke. Akibat pengusiran tersebut, ketiganya pun tak bisa melanjutkan tugas peliputannya.

Tak hanya diusir, ketiganya juga diperiksa polisi di Agats dan dimintai keterangan petugas imigrasi di Timika, Mimika. Asmat menjadi sorotan media dan masyarakat luas karena kejadian luar biasa (KLB) campak dan busung lapar yang menyebabkan setidaknya 71 anak meninggal.

Berdasarkan penjelasan AJI, insiden pengusiran berawal saat tiga jurnalis BBC berangkat ke Asmat pada 1 Februari lalu untuk melakukan peliputan. Baru saja tiba, ketiganya diinterogasi dan diperiksa polisi di Agats. Dari pemeriksaan terhadap ketiganya diketahui bahwa mereka diperiksa karena Henscke membuat cuitan di akun Twitter pribadinya,

Cuitan di Twitter itu sendiri berisi foto dan keterangan teks soal bantuan untuk anak yang mengalami gizi buruk di Asmat berupa mie instan, minuman ringan, dan biskuit. Foto tersebut kemudian sudah dihapus dari akunnya.

Children in hospital eating chocolate biscuits and that’s it.— rebecca henschke (@rebeccahenschke) February 1, 2018

Dalam cuitan lainnya pada hari yang sama, Henschke memberikan catatan bahwa keterangan dari sejumlah narasumber lain mengatakan barang-barang tersebut bukan bantuan, melainkan pasokan normal.

Adding important NOTE: Other sources say this is NOT aid but normal supplies. Huge relief effort underway here.— rebecca henschke (@rebeccahenschke) February 1, 2018

Informasi resmi dari Kodam Cenderawasih dan Imigrasi menyatakan bahwa cuitan itulah yang menjadi alasan polisi dan imigrasi memeriksa jurnalis BBC itu. Usai diperiksa polisi pada Jumat, 2 Februari, Dwiki terbang ke Jakarta dari Agats.

Sementara Affan dan Henscke diperiksa di Imigrasi Mimika hingga Sabtu, 3 Februari. Setelah pemeriksaan itu, keduanya tak bisa melanjutkan tugas peliputannya. Mereka dikawal aparat keamanan menuju Bandara Timika, untuk penerbangannya ke Jakarta, Sabtu pagi keesokan harinya.

Tak ada pelanggaran administratif

Berdasarkan informasi yang didapat AJI, tak ada bukti adanya pelanggaran administratif yang dilakukan oleh tiga jurnalis BBC ini. Pelarangan peliputan terhadap jurnalis asing di Papua yang sebelumnya terjadi sering kali menggunakan alasan administratif, yaitu tidak memiliki visa jurnalistik.

Sementara Henscke adalah pemegang visa jurnalis, mempunyai kartu izin peliputan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri, dan memiliki izin tinggal sementara (Kitas) di Indonesia. Jadi, menurut AJI, tak ada alasan untuk melakukan pengusiran terhadap jurnalis yang punya dokumen dan izin liputan yang lengkap.

AJI menyesalkan kejadian ini lantaran cuitan di Twitter itu justru jadi dasar untuk menghalangi aktivitas peliputan jurnalis di Papua. Selain itu, meskipun tak ditemukan ada pelanggaran administratif yang dilakukan, mereka tak bisa melanjutkan liputannya karena aparat keamanan mengawalnya menuju bandara untuk naik pesawat ke Jakarta.

Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan mengecam insiden pengusiran tersebut. Ia mengatakan peristiwa itu menunjukkan bahwa pemerintah ketakutan terhadap peliputan Agats sehingga jurnalis diintimidasi.

“Kami mengecam pengusiran jurnalis BBC ini. Peristiwa ini juga mengesankan ada ketakutan pemerintah terhadap peliputan media asing soal kondisi Papua,” kata Manan.

Mana janji Jokowi?

Presiden Jokowi saat mengunjungi Papua pada 11 Mei 2015. Foto dari Setkab.go.id
Presiden Jokowi saat mengunjungi Papua pada 11 Mei 2015. Foto dari Setkab.go.id

Berkaca dari kasus pengusiran jurnalis itu, ia menyebut insiden itu tidak sejalan dengan janji Presiden Joko Widodo tiga tahun lalu. Padahal, Presiden Jokowi pernah mengeluarkan pernyataan yang intinya menegaskan bahwa Papua terbuka bagi jurnalis asing untuk melakukan peliputan saat menghadiri panen raya di Kampung Wameko, Hurik, Merauke, pada 2015 lalu.

Tak hanya itu saja, penegasan soal tidak adanya pelarangan bagi jurnalis asing untuk melakukan peliputan juga disampaikan pemerintah saat Indonesia menjadi tuan rumah peringatan World Press Freedom Day pada 3 Mei 2017 silam.

“Kasus terbaru di Papua ini merupakan salah satu indikasi bahwa pemerintah tak serius dengan janjinya untuk lebih membuka akses jurnalis ke Papua,” kata Manan.

Berdasarkan data yang dibuat AJI Indonesia, setidaknya ada delapan jurnalis asing yang dideportasi ketika melakukan peliputan di Papua sepanjang 2017 kemarin. Alasan yang dipakai sebagai dasar pengusiran adalah masalah pelanggaran administrasi, yaitu tak memiliki visa jurnalistik saat melakukan liputan di provinsi di ujung timur Indonesia ini.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Hesthi Murthi menambahkan, kasus ini seolah menunjukkan jika aparat negara tidak memahami fungsi pers sebagai alat kontrol sosial seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Kritik yang disampaikan media berdasarkan fakta di lapangan seharusnya disikapi dengan bijak sebagai masukan untuk memperbaiki penanganan campak dan busung lapar di Asmat dan Papua, bukan malah dijadikan dalih untuk membatasi akses jurnalis,” kata Hesthi..

Di tempat yang berbeda, seperti dikutip dari Tempo Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan bahwa pemerintah tidak seharusnya bersikap cepat panas kuping hanya karena sebuah cuitan di Twitter.

“Pekerjaan para jurnalis ini penting untuk mengabarkan kepada dunia mengenai krisis di Asmat,” kata Usman seperti dikutip Tempo, pada Senin, 5 Februari.

‘Cuitan Henschke timbulkan kesan negatif’

Di pihak lain, juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi Agung Sampurno mengatakan cuitan Henschke menimbulkan kesan negatif, tidak hanya menyinggung pemerintah, tetapi juga masyarakat Indonesia yang selama ini menyaksikan kemajuan pembangunan di wilayah Papua.

“Serta mencederai profesi jurnalis yang harus berimbang dalam pemberitaan berdasarkan fakta yang ada,” kata Agung.

Ia mengatakan bahwa kantor imigrasi terus mengawasi aktivitas warga negara asing di Indonesia demi alasan keamanan, termasuk aktivitas mereka di media sosial.

Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Kolonel Infanteri Muhammad Aidi mengatakan Henschke dipulangkan ke Jakarta bukan hanya karena cuitan negatif, tapi juga nomor paspor yang berbeda berdasarkan dokumen Kementerian Ketenagakerjaan.

Share: Mengapa Masih Terjadi Pengusiran Wartawan Asing Dari Papua?