General

Pengaruh Kuat Media Sosial dalam Dunia Politik

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Era media sosial. Sudah seberapa sering kalian mendengar jargon ini? Era media sosial telah menjadi jargon yang seringkali didengungkan, meskipun sebenarnya banyak orang yang masih memperdebatkan apa definisi dari era media sosial dan kapan era ini dimulai. Acapkali, era media sosial didefinisikan sebagai era, dengan kondisi orang-orang yang sudah terintegrasi dengan media sosial, baik itu Facebook, Twitter, Instagram, atau pun media sosial lainnya. Maksud terintegrasi di sini pun bukan hanya sekadar seberapa banyak orang yang menjadi pengguna media sosial di suatu negara. Namun, makna terintegrasi di sini adalah seluruh kehidupan masyarakat yang sudah masuk ke dalam media sosial, dan bahkan identitas mengenai penggunanya tersebut, secara sadar atau tidak, sudah tertera di media sosial. Jika menggunakan konteks yang lebih kritis, era media sosial adalah era ketika media sosial telah mengontrol setiap sendi kehidupan manusia.

Ketika awal dibuat, tidak banyak orang yang sadar akan seberapa kuatnya media sosial ini. Dari dulu hingga kini, orang dengan senang hati mendaftarkan identitasnya di media sosial. Media sosial seperti LinkedIn atau Facebook bahkan secara eksplisit meminta data-data profesional dan personal secara komprehensif. Sebenarnya, kekomprehensifan data-data yang diminta tersebut tidak masalah. Toh, setiap pengguna melakukannya secara sukarela. Masalahnya, adalah ketika data-data di media sosial tersebut justru digunakan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan keuntungan pihak-pihak tertentu saja, yang salah satunya sedang banyak terjadi di dunia politik.

Di dunia perpolitikan, penggunaan media sosial sebagai senjata untuk menyebarkan agenda politik sedang marak-maraknya. Dalam artikelnya, Thoughtco.com pun merangkum bagaimana media sosial telah mengubah lanskap politik, dari urusan yang paling sederhana, sampai yang paling rumit dan kompleks. Sederhananya, media sosial telah memberikan ruang untuk masyarakat bertemu dan berdiskusi langsung dengan pemilihnya, media sosial telah memudahkan kampanye karena bebas iklan dan tingkat ke-viral-an akan lebih besar melalui media sosial, dan media sosial dapat menjadi tempat yang lebih mudah untuk mencari dana kampanye. Yang lebih kompleks, media sosial dapat menjadi alat untuk mengubah opini publik tentang seorang kandidat politik, atau bahkan dapat mengubah peta persaingan karena kesetaran dan kekuatan masyarakat begitu kuat di media sosial. Kontrol masyarakat terhadap politisi jauh lebih kuat di era media sosial ini.

Namun dari segala perubahan dalam lanskap politik, tidak ada yang seberpengaruh bagaimana media sosial telah menjadi wadah paling mudah untuk mengaburkan mana yang benar dan mana yang salah. Media sosial menjadi wadah yang begitu kuat untuk satu agenda politik menciptakan kebenaran-kebenarannya sendiri, satu kondisi yang disebut dengan istilah post-truth. Hasilnya? Banyak sekali politisi-politisi yang berhasil memenangkan kontes elektoral dengan menggunakan media sosial sebagai senjata utamanya, meskipun argumentasi dan data yang disebarkan melalui media sosial mereka belum tentu valid dan bahkan tidak bersumber. Hal ini terjadi di berbagai negara di dunia.

Yang paling besar dampaknya adalah kampanye Donald Trump ketika dia maju menjadi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik tahun 2016 yang lalu. Donald Trump menggunakan jargon-jargon yang begitu melekat di pikiran banyak orang, seperti Fake News dan Make America Great Again. Namun, selain karena jargon-jargon tersebut memang kontroversial hingga melekat di pikiran, penggunaan media sosial lain juga sering sekali membicarakan ucapan-ucapan Trump sehingga namanya pun makin terdompleng. Ditambah lagi, berdasarkan Koichiro Matsui, rata-rata per minggu Trump ngetwit hingga 42 kali dalam seminggu. Itu angka yang cukup banyak bagi seorang politisi.

Tidak hanya sampai titik kemenangannya saja, ia pun terus menggunakan media sosial, khususnya Twitter, sebagai wadah untuk menyampaikan pesan politiknya. Matsui sendiri menilai ada beberapa poin mengapa media sosial begitu signifikan. Pertama, informasi yang disampaikan jelas lebih cepat sampai ke masyarakat. Penggunaan media sosial pun juga begitu signifikan ketika salah satu cuitan Trump di Twitter mengakibatkan Toyota dan Ford mengubah rencana bisnisnya. Hal ini tentu belum pernah terjadi sebelumnya, karena Obama dan berbagai pemimpin Amerika Serikat sebelumnya tidak menggunakan Twitter sesering dan sesignifikan Donald Trump.

Kemudian, fenomena politik lain yang juga berangkat dari pengaruh media sosial adalah Arab Spring. Fenomena Arab Spring ini adalah fenomena merekahnya demokrasi di kawasan Arab melawan kediktatoran yang selama ini masih menjadi bentuk pemerintahan yang mendominasi kawasan Arab. Tanpa pengaruh media sosial, mungkin tidak akan pernah terpikir oleh masyarakat Tunisia atau Mesir untuk menggulingkan kediktatoran dan menggantinya menjadi demokrasi.

Yang terbaru, Jair Bolsonaro dari Partai Liberal Sosial baru saja memenangkan pemilihan presiden Brazil. Ia baru saja memenangkan pemilihan presiden tersebut dengan angka yang cukup besar, yaitu 55,13 persen suara. Yang menjadi permasalahan bukanlah ia seorang konservatif atau seorang kapitalis. Yang menjadi kontroversial dari kemenangan Bolsonaro ini adalah ia memenangkan kontes ini dengan cara mengirimkan pesan hoaks berantai di aplikasi pesan instan Whatsapp. Memang tidak media sosial, tetapi caranya serupa. Pengiriman kebohongan untuk mencapai agenda politik tertentu melalui pesan digital.

Dari ketiga contoh ini, jelas media sosial merupakan pisau dua arah untuk demokrasi dan perpolitikan di suatu negara, tak terkecuali di Indonesia. Menjelang Pemilu Serentak 2019 nanti, media sosial pun akan menjadi wadah yang paling menentukan seperti apa hasil dari Pemilu tersebut. Sampai saat ini pun kekuatan media sosial sudah memperlihatkan taringnya. Video timses Prabowo-Sandiaga dengan video yang menyamakan Sandiaga dengan sosok Bung Hatta, cuitan Potong Bebek Angsa Fadli Zon atau iklan pertumbuhan ekonomi ala biskuit Khong Guan menjadi beberapa contoh yang memperlihatkan kekuatan media sosial dalam politik.

Dalam sisa waktu masa kampanye ini, bisa jadi pengaruh media sosial akan semakin terlihat. Pertanyaannya sekarang, akankah kejadian seperti di Amerika Serikat dan Arab Spring yang masif dan mengandalkan media sosial juga terjadi di Indonesia?

Share: Pengaruh Kuat Media Sosial dalam Dunia Politik