General

Pengamat: Image Jogja Sebagai Surga Kuliner Murah Harus Dipertahankan

Ilham — Asumsi.co

featured image
Foto: Wikipedia/Gunawan Kartapranata

Sebuah video yang beredar luas di berbagai media sosial berisi curhatan seorang wisatawan soal harga mahal pecel lele di Malioboro, Yogyakarta. Video yang viral itu dibuat oleh akun TikTok @aulroket. Pengguna media sosial itu menceritakan bahwa ia membeli pecel lele seharga Rp20 ribu, belum termasuk nasi dan lalapan.

“Sekarang aku di jalan Malioboro. Di pinggiran jalan ini, kalau menurut gue banyak lesehan-lesehan yang penjualanya menjual harga di luar nalar. Yang kita kenal, kan Yogyakarta kan harganya murah-murah. Terlepas ini adalah kota wisata atau daerah wisata atau turis,” katanya dalam video (26/5/21).

Menurut seleb TiktTok dengan follower seratus ribuan itu, harga lesehan makanan di Malioboro terlalu kapitalis dan harganya tidak sesuai.

“Menurut gue, harga-harganya, ya menurut gue .. belum sama nasi, biasanya harga nasi tujuh ribu. Ternyata guys, kalau gue pesan lalap harus nambah sepuluh ribu. Kalau menurut gue, nggak tahu apakah gue terjebak di suatu tempat. Atau emang semuanya kayak gini. Pokoknya gue nggak tahu, di deretan ini.  Mengapa kapitalis banget! Jadi menurut kalian, makan di daerah sini harganya suka nggak sesuai,” protesnya.

Baca juga: Intoleransi Marak di Yogyakarta, Langkah Apa yang Harus Dilakukan?

Video TikTok dari @aulroket ditonton sampai 2,3 juta orang dan membuat Wakil Wali kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi ikut berkomentar dan melakukan investigasi.

“Ya kami sedang telusuri dan mencari pedagangnya. Tolong yang tahu dimana membeli dan kapan terjadi bisa diinfokan ke pemkot,” ujarnya seperti dikutip dari Suara.com (26/5/21).

Ia mengatakan bila benar harga di lesehan Malioboro tersebut mahal, ia akan menindak tegas pelakunya dan memberikan sanksi kepada yang bersangkutan. Menurutnya, Pemkot Yogyakarta sudah memberikan aturan dan kebijakan agar kawasan Malioboro ramah kepada pengunjung, harga yang murah dan kuliner yang beraneka ragam.

“Sudah kebijakan sejak dari dulu, siapapun yang menarik harga tidak sesuai kesepakatan dan tidak normal. Maka akan terkena sanksi yaitu ditutup dan tidak boleh berjualan lagi di Malioboro,” ujarnya.

Pria berusia lima puluh lima tahun itu menambahkan bahwa sebenarnya sudah ada kesepakatan dengan para penjual Malioboro, komunitas hingga tukang parkir di sana. Kesepakatan itu dibuat agar citra kawasan Malioboro tidak rusak karena mahalnya dagangan di sana.

Ia berpesan bila hal itu terjadi lagi, wisatawan bisa segera menghubungi petugas yang ada di Malioboro.

“Baik itu Jogoboro maupun Satpol PP. Sehingga Pemkot bisa langsung mengambil kebijakan saat itu juga,” katanya.

Harga Kuliner di Malioboro Terkenal Murah

Pengamat Ekonomi INDEF, Bhima Yudistira mengungkapkan bahwa
memang sejak dahulu harga makanan, apa lagi pecel lele di bawah Rp20 ribu.

“Sejak saya dulu kuliah di UGM tahun 2008 harga pecel
lele dibawah 20 ribu, maka dari itu pecel lele favorit mahasiswa jogja.
Sekarang pun harga nya kisaran 12 ribu -15 ribu yaitu paket nasi, ikan lele dan
lalapan plus sambal. Tapi tergantung juga lokasi warungnya,” katanya kepada Asumsi.co (27/5/21). 

Menurutnya harga makanan di Yogyakarta murah salah satunya karena
harga tenaga kerja yang lebih murah dibanding daerah lainnya.

“Soal harga beras kan sama aja, kemudian ikan lele
mentah per kg juga relatif sama, sayur-sayuran juga tidak beda jauh. Jadi jogja
menang soal biaya tenaga kerja dan sewa tempat juga,” katanya.

Untuk itu apabila harga kuliner di Maliboro melebihi harga
di atas lima belas ribu perlu diinvestigasi mengapa bisa terjadi. Mengingat
kuliner di Yogyakarta terkenal murah.

Senada dengan Bhima, praktisi perpajakan, Yustinus Prastowo, yang juga sebagai warga Jogja
membenarkan harga kuliner yang murah di kota kelahirannya itu.

“Ya, menurut saya 
salah satu ciri khas dan daya tarik jogja adalah kuliner beraneka macam,
terkenal enak dan murah dan ini merupakan image bagi siapapun yang pergi ke
Jogja. Dan ini rasanya haris  menjadi
perhatian, jangan sampai membuat orang tidak terkesan dan membuat pandangan
orang berbeda,” katanya saat dihubungi terpisah.

Menurutnya  kejadian
seperti ini perlu diteliti, salah satunya dari daftar harga yang standar. Kalau
mungkin seperti di Malioboro harus ada standar.

“Saya rasa respon Pemda itu bagus dan proper dan yang
penting di cek. Apakah itu merata, kalau di Jawa istilahnya nuthuk atau mukul.
Kalau di sana, istilah harga tinggi itu nuthuk. Yang saya dengar sering terjadi
di situ,” katanya.

Ia meminta Pemda untuk menginvestigasi apakah kasus seperti
ini merata dan kausistik.

“Kedua, Pemda harus memastikan apakah harga sewa mahal
dan ketiga adalah premanisme, pungutan-pungutan dan mungkin saja itu yang
membuat harga dan ongkosnya tinggi. Dan ini harus menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah bagaimana memastikan environment atau lingkungan usaha di sana
win win, yang beli bisa murah dan yang jual biayanya murah,” katanya.

Sebagai orang Yogyakarta, ia berharap kasus ini bisa diselesaikan
sehingga image orang terkait Yogyakarta tetap dipertahankan sebagai surga kuliner
yang murah.

“Dan saya mengajak mereka yang bisnis di jogja punya
perspekftif yang luas bahwa kita membawa nama Jogja. Maka perlu kita
memperlakukan konsumen dengan harga yang wajar dan ini perlu dipikirkan bersama
agar image Jogja tetap dipertahankan,” katanya.

Pedagang Kuliner Harus Cantumkan Harga

Agus Suyatno dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
mengatakan bahwa setiap rumah makan, restoran sebetulnya wajib mencamtumkan
harga di menu makanannya.

“Ketika tidak adanya ini, maka akan ada kontraproduktif
terhadap mereka, karena konsumen akan menghakimi sendiri dan antipati untuk
membeli. Ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha dan konsumen,” katanya saat
dihubungi Asumsi.co, Kamis (28/5/2021).

Menurutnya ini harus diperhatikan oleh para pedagang kuliner
terutama di daerah wisata. Ia berpesan agar para pedagang tidak menaikkan harga
sesuka hati. Untuk itu ia berpesan kepada pemerintah kota yang mempunyai wisata
di daerahnya, dalam hal ini menangani UKM, perlu menerbitkan aturan yang jelas
soal mencamtukan harga makanan.

“Antisipasinya adalah di level pemerintah kota, dalam hal
ini menangani tentang UKM, perlu menerbitkan rambu-rambu atau semacam aturan
untuk rumah makan untuk mencamtumkan harga untuk di level pemerintah. Sedangkan
di level pedagang, ini perlu menjadi perhatian, karena konsumen bisa saja
menghakimi dengan menyebarluaskan informasi bahwa di tempat tertentu harganya
tidak wajar sehingga kerugian besar bagi pelaku usaha di sana,” katanya.

Baca juga: Makna Lagu Jogja Istimewa yang Dipakai Kampanye Tim Prabowo-Sandi

Sementara di tatanan konsumen, kata Dia, ketika melakukan transaksi perlu
bertanya dan menanyakan informasi.

“Ini harus dipahami oleh konsumen, ketika kenaikan harga
tidak wajar perlu ditanyakan lebih detail. Kalau kenaikan batas wajar kaitannya
terhadap biaya produksi dan ini perlu dipahami oleh konsumen,” katanya.

Agus berpesan kepada konsumen, dan wisatawan lokal agar
mencari tempat dan ada harga makanan di menunya.

“Ini sebetulnya salah satu cara promosi harga. Ketika pelaku
usaha tidak mencamtumkan harga, maka konsumen akan menomorduakan dan memilih
yang ada harganya. Jika suatu wilayah itu tidak ada harganya, maka konsumen
harus menanyakan harganya dan ini adalah hal yang wajar,” katanya.

Pe-Nuthuk Akhirnya Ketahuan

Kasus viralnya kuliner makanan di Yogkarta yang mahal
membuat Forum Komunikasi dan Koordinasi Jalan Perwakilan (FKKP), Adi Kusuma
melakukan investigasi dan akhirnya menemukan lokasi kejadian ‘nuthuk’ harga
pecel lele adalah penjual yang baru berjualan dua bulan dan mengambil alih
usaha pemilik lama.

“Dia belum bergabung dengam paguyuban dan mengaku tidak tahu
aturan harga di kawasan Malioboro,” katanya dilansir Tempo, Jumat (27/5/21)

Share: Pengamat: Image Jogja Sebagai Surga Kuliner Murah Harus Dipertahankan