Budaya Pop

Pengalaman Pahit Para Dara Metropolitan dalam ‘Online Dating’

Abdul Qowi Bastian — Asumsi.co

featured image

Guys (and girls!), yang namanya Hari Valentine itu identik dengan kasih sayang. Tapi ternyata, pengalaman Valentine enggak selalu menyenangkan, lho. Di era dengan kemajuan teknologi, banyak anak-anak muda yang mencoba mencari kasih di media sosial. Sayangnya, menemukan cinta enggak semudah itu.

Kita gampang terbuai dengan persona yang ditampilkan lewat Instagram feed yang cantik, atau tweets yang cerdas dan snarky, atau profil Tinder yang menjanjikan kenyamanan dan harapan. Tapi ketika udah mulai ngobrol (dan akhirnya ketemuan), enggak sedikit yang berujung jalan buntu.

Ini adalah cerita-cerita mereka yang pernah punya pengalaman enggak mengenakkan di media sosial.

‘Boleh Aku Panggil Kamu Bidadari?’

Gue pernah kenalan sama cowok di Twitter. Dulu, waktu kerja di sebuah media online, tulisan kritikan gue tentang lawakan komika di Indonesia sempat viral. Jadilah gue di-follow sama seorang komika yang lumayan punya nama di jagat stand-up comedy di Indonesia.

Setelah bales-balesan tweet, obrolan gue dan dia berlanjut lewat Direct Message (DM). Pada akhirnya, dia nanya gini ke gue:

“Aku panggil kamu Nadia atau Vetta?”

“Kalau Vetta panggilan temen-temen waktu kecil, sih. Nadia aja boleh.”

“Atau… bidadari?” tanya dia lagi yang sebelum gue jawab, dia udah lanjut bilang, “Ter-Dilan”.

Ya, emang sih, film Dilan lagi booming sekarang. Tapi gombalan kayak gitu menurut gue basi, sih. Dan gue bacanya juga langsung “krik… krik… krik.”

Gue tipe cewek yang enggak suka digombalin, apalagi yang enggak lucu kayak gitu. Jadi itu turn off banget buat gue. Setelah itu kita enggak pernah ngobrol lagi.

—Nadia Vetta, 26 tahun, penulis naskah film

Baru Kenal Kok Udah Posesif?

Awalnya gue enggak tertarik buat nyobain main Tinder, tapi karena ngelihat temen-temen gue pada pakai juga, akhirnya gue coba juga. Salah satu pengalaman yang nyebelin dan rada menyeramkan itu adalah ketika gue matched sama seorang pria India.

Pertamanya, sih, ngobrol biasa aja, bisa dibilang asik malah. Dia pernah ngebangunin gue buat salat Subuh, bayangin. Tapi karena adanya perbedaan waktu antara Indonesia dan India, jadi gue enggak bisa langsung ngebales chat dia pada saat itu juga. Entah karena saat itu gue lagi kerja atau dalam perjalanan.

Nah di sana lah, cowok ini mulai menunjukkan sifat negatifnya. Dia mulai nanya-nanya, “Kok balesnya lama banget sih?” Lho, lo kan bukan siapa-siapa, kok berani-beraninya marah-marah ke gue. Apalagi baru kenal dan kenalnya juga lewat media sosial.

Masih ada satu lagi sih cerita ngeselin lainnya. Jadi gue kenalan sama cowok lain dari Turki. Tapi yang bikin nyereminnya adalah dia juga mengeluarkan kata-kata kasar dan melecehkan. Dia dengan gampangnya ngatain gue “b*tch” dan pakai F word kalau lagi kesal. Akhirnya gue block aja orang itu.

Ruby Astari, 36 tahun, pengajar bahasa Inggris, penulis, dan penerjemah lepas

Asik Ngobrol di Chat, Tapi ‘Attitude’ di Kehidupan Nyata Enggak Banget

Pernah sekali kenalan sama cowok di Tinder waktu gue baru awal-awal main aplikasi itu. Jadi ceritanya gue matched sama pemain saxophone di Bandung, umurnya 31 tahun. Waktu itu tahun 2015. Sejak matched di Tinder kita ngobrol di sana sekitar 2 minggu sebelum pindah ke WhatsApp.

Orangnya asik banget, karena dia ngambil S1 dua kali, S2 dua kali, dan sekarang lagi menempuh S3 yang kedua kali juga. Selama 2 bulan berikutnya hubungan gue dan dia cuma lewat WhatsApp aja, sampai suatu hari dia ada gig di sebuah klub malam di bilangan Senayan.

Kita janji ketemuan di sana. Gue ajak dua temen cowok dari kantor, buat jaga-jaga karena ke klub malem-malem dan I don’t feel safe pergi sendiri. Selesai gig sekitar jam 10 malam, dia turun panggung, nyamperin gue di bar. Awalnya sopan sih, terutama di depan temen-temen gue. Tapi ketika dua orang temen gue ini mau permisi ke toilet, dia mulai mendekat ke gue dan nempel-nempel bikin risih.

Salah satu temen gue yang lagi jalan mau ke kamar kecil ngelihat tindak-tanduknya. Dia enggak jadi ke toilet dan memperhatikan dari kejauhan. Si cowok ini tangannya mulai mau raba-raba bagian sensitif gue, tapi sebelum dia berbuat lebih jauh lagi, udah dilabrak sama temen gue. Akhirnya gue cabut dari sana dan nge-block dia di WhatsApp dan unmatch di Tinder.

Menurut gue apa yang dia lakukan ini turn off banget, karena baru first meeting aja udah kayak gitu, padahal dia enggak mabuk. Jadi, berhati-hatilah dengan orang yang lo temui di Internet. Karena yang awalnya terlihat smart dan berpendidikan, tapi ternyata enggak punya attitude yang baik di kehidupan nyata.

Adina Rasti (bukan nama sebenarnya), 28 tahun, pekerja swasta

Dari Chat ‘Creepy’ Sampai Diajak Serius

Gue biasanya pakai Tinder kalau lagi di luar negeri aja. Karena dari foto udah kelihatan bahwa gue orang Asia, gue sebenarnya paling males kalau dapet pesan yang aneh-aneh. Orang kulit putih itu pada umumnya melihat perempuan Asia sebagai submissive. Kalau bicara konteks rasisme dalam dating, gue jadi curiga sama laki-laki. Gue mikir, “Lo suka sama gue karena gue Asia atau karena gue apa adanya?” Karena selama ini persepsi yang berkembang di masyarakat kulit putih adalah perempuan Asia itu suatu barang yang asing.

Kebanyakan cowok kulit putih yang gue temuin di Tinder di Eropa, mereka either pengin berhubungan badan aja sama cewek Asia atau pengin buru-buru “ngeseriusin” alias ngajak nikah. Lha, kan gue pengin kenalan doang ya. Padahal di profil gue udah ditulis panjang lebar kalau gue enggak mencari teman tidur dan sedang tidak mencari hubungan serius.

Kalau udah pesan-pesannya udah menjalar ke creepy dan menjurus ke yang lebih serius, gue udah males, pengin gue unmatch aja. Contoh kejadian yang creepy itu ketika mereka memuji gue soal kecantikan. Di profil Tinder gue yang panjang tadi itu, sebenarnya mereka bisa aja buka conversation yang menarik, enggak melulu memuji yang superficial. Memuji beauty itu yang bikin males.

Pernah juga, gue ketemuan sama dua cowok yang berbeda dalam satu hari, dan… dua-duanya minta seks. Gue udah bilang enggak mau—di online profile dan saat tatap muka—tapi mereka tetap memaksa. Kesimpulan yang gue ambil dari sini, sih, there is no space for either being friends or being normal human beings ketika kita ketemu orang baru.

Dea Safira, 25, mahasiswi S2

Jadi bagaimana dengan kalian, guys and girls? Apakah pernah punya pengalaman seperti mereka?

Share: Pengalaman Pahit Para Dara Metropolitan dalam ‘Online Dating’