Isu Terkini

Penembakan di Selandia Baru dan Aturan Kepemilikan Senjata Api yang Ingin Diperketat

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Penembakan yang terjadi di Masjid Christchurch, Selandia Baru pada Jumat 15 Maret 2019 kemarin masih menyimpan luka bagi banyak pihak. Sebab ada 49 orang yang meninggal dunia dan 48 orang terluka akibat penembakan yang membabi buta tanpa alasan itu. Dalam peristiwa ini, Tarrant yang merupakan WN Australia, telah ditangkap otoritas setempat.

Seperti dilansir media lokal Selandia Baru, The New Zealand Herald dan Stuff.co.nz, pada Sabtu, 16 Maret 2019 kemarin, dalam aksi kejinya, Tarrant disebut menggunakan lima senjata api, termasuk dua senapan semi-otomatis dan dua shotgun. Satu pucuk senapan patah (lever action) juga disita dari Tarrant.

Menurut polisi, Tarrant tidak memiliki sejarah kriminal dan tidak dikenal polisi di Selandia Baru atau Australia. Laman Newsroom.co.nz melaporkan, sebelum insiden ini, pelaku tersebut sebenarnya tidak masuk dalam daftar polisi atau daftar teroris. Senjata yang ia miliki bahkan sebenarnya memiliki izin yang legal.

Usut punya usut, kejadian tragis sekaligus memilukan itu ternyata bukanlah yang pertama kali terjadi. Setidaknya sekitar 30 tahun lalu, tragedi serupa juga pernah terjadi. Saat itu seorang pria bernama David Gray mengamuk dan menembak mati 13 orang. Setelah serangan itu, undang-undang (UU) tentang senjata tahun 1983 terus menjadi sorotan dan kritikan. Hingga akhirnya melahirkan amandemen baru di tahun 1993 tentang regulasi senjata api semi-otomatis gaya militer.

Memang peraturan kepemilikan senjata di Selandia Baru bisa dibilang tak begitu ketat, meski masih lebih baik dibandingkan Amerika Serikat di mana banyak warganya memiliki senpi. Di Selandia Baru, pemilik senjata memang diharuskan memegang lisensi, namun tidak diwajibkan melaporkan senjata apa saja yang dimiliki. Akibatnya, ada ketidakpastian data kepemilikan senjata, baik secara legal maupun ilegal.

Di Selandia Baru sendiri, seseorang berusia di atas 16 tahun sudah bisa membeli senjata dan lulus pemeriksaan latar belakang oleh polisi. Meskipun tingkat pembunuhan di sana sebenernya cukup rendah, dengan total hanya 35 kasus pembunuhan pada tahun 2017. Sayangnya, di tahun ini jumlah sudah bisa dipastikan bertambah karena adanya serangan terhadap masjid di Christchurch.

Peraturan Pembelian Senjata di Selandia Baru

Sebelumnya telah diterangkan terkait usia minimal seseorang untuk izin kepemilikan. Untuk mendapat izin, seseorang harus datang ke kantor polisi setempat lalu mengisi formulir, menyertakan dua foto paspor, tiga jenis kartu identitas, serta membayar uang sekitar Rp1,2 juta. Polisi akan melihat beberapa hal, salah satunya catatan kriminal, untuk menentukan apakan pendaftar layak mendapatkan izin.

Tak seperti izin mengemudi, izin kepelikan senjata tak perlu punya pengalaman. Cukup dengan kursus singkat selama 3,5 jam. Kemudian pendaftar izin itu harus menjawab 30 pertanyaan pilihan ganda. Proses selanjutnya adalah pihak yang berwenang akan memastikan apakah pemohon izin itu memiliki tempat penyimpanan senjata sesuai standar di tempat tinggalnya.

Kemudian, harus ada anggota keluarga atau kawan berumur di atas 20 tahun yang bersedia diwawancara untuk menguatkan bahwa pendaftar layak memperoleh izin. Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah ada sejarah penyakit mental atau kemungkinan kekerasan yang akan terjadi. Dengan demikian, proses barulah selesai, izin pun diberikan dan berlaku selama 10 tahun.

Pelaku yang menembak para umat Muslim di Masjid Christchurch sendiri diduga menggunakan senjata api jenis AR-15 yang dimodifikasi agar tampak seperti jenis military-style semi-automatic rifles (MSSA). Hal itu dilakukannya sebab daya bunuh memang akan lebih kuat. Apalagi, pembelian peluru di Selandia Baru tidak diatur dalam hukum dan tanpa izin sama sekali.

Aturan Kepemilikan Senjata Api yang Perlu Diperketat

Sebelum adanya tragedi penembakan, sebenarnya sudah pernah ada upaya untuk mereformasi aturan kepemilikan senjata di Selandia Baru. Pada 2005 misalnya, pemerintah di sana sempat merancang undang-undang tapi kemudian tidak pernah mengalami kemajuan di parlemen. Hingga akhirnya benar-benar ditolak pada 2012.

Pada 2017, parlemen Selandia Baru menunjuk komite khusus untuk membahas kepemilikan senjata ilegal. Dalam pembahasan, ada 20 rekomendasi yang ditawarkan dan dua pertiganya ditolak oleh Kementerian Polisi yang saat itu dipimpin Paula Bennet, seorang perempuan dengan hobi berburu. Namun kini, Perdana Menteri Selandia Baru (New Zealand) Jacinda Ardern berencana mengumumkan undang-undang baru mengenai perizinan senjata.

“Dalam 10 hari dari aksi terorisme yang mengerikan ini, kami akan mengumumkan reformasi yang, saya percaya, akan membuat komunitas kami lebih aman,” kata Ardern dalam konferensi pers seperti dilansir dari Reuters, Selasa, 19 Maret 2019.

Hal ini diumumkan setelah kabinetnya mencapai satu kesepakatan putusan. Sayangnya, Ardern belum memberikan perincian tentang undang-undang baru tersebut. “Undang-undang senjata api kita akan berubah,” tegas Ardern.

Share: Penembakan di Selandia Baru dan Aturan Kepemilikan Senjata Api yang Ingin Diperketat