Di tengah-tengah usaha pemerintah membahas hoaks, ternyata ada beberapa sejarah dan ilmu yang masih enggan untuk dibuktikan kebenarannya. Contohnya saja pelarangan faham komunisme. Dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera (MPRS) RI, ideologi Marxisme-Leninisme ini dilarang karena ajarannya dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Ketetapan yang diputuskan pada 1966 itu membuat segala hal berbau komunisme menjadi haram hukumnya. Bahkan larangan itu juga termasuk kepada pemakai kaos bergambar palu arit, sebab merupakan simbol komunis.
Maret 2018 lalu, perempuan bernama Masyita harus berurusan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) lantaran mengenakan kaos merah bergambar palu arit saat belanja di tempat pelelangan ikan Kelurahan Lappa, Kecamatan Sinjai Utara, Sinjai, Sulawesi Selatan. Setelah diinterogasi petugas, barulah diketahui bahwa Masyita yang berumur 37 tahun itu mendapatkan kaos tersebut dari Malaysia saat dirinya bekerja sebagai TKW. Masyita kemudian diinterogasi dan ditanyai mengenai alasan dia menggunakan baju bergambar lambang Partai Komunis itu. “Kita bawa dia untuk interogasi,” ungkapnya.
Sesudah diinterogasi, warga Desa Lamatti Riawang, Kecamatan Bulupoddo, Kabuapaten Sinjai itu mengaku kalau dia tidak mengetahui bahwa baju tersebut dilarang untuk digunakan. Ia mengaku tidak mengetahui arti kaos tersebut, bahkan tidak tahu menahu soal larangan terkait pemakaian kaos bergambar palu arit. Namun pengakuannya itu tak cukup, ia bahkan dijemput oleh Unit Intelijen Kodim 1424 Sinjai untuk dilakukan interogasi ulang
Tahun sebelumnya, seorang pemuda asal Wonosobo, berinisial AZN juga pernah berurusan dengan anggota TNI karena sebuah kaos. Sama dengan Masyita, AZN juga tidak mengetahui bahwa lambang persatuan palu arit itu dilarang di Indonesia.
Palu arit adalah sebuah lambang yang lahir ketika pecah revolusi Bolshevik, tahun 1917, kala itu Russia dipimpin oleh Vladimir Lenin. Palu sendiri melambangkan buruh, dan arit melambangkan petani. Jadi, pada saat itu, petani dan buruh bersatu untuk menggulingkan kekaisaran yang sudah bercokol di Russia selama ratusan tahun.
Uniknya, saat ini Indonesia seakan ketakutan hanya dengan melihat gambar itu bertengger di sebuah kaos. Hal ini tentu berkaitan dengan negara Indonesia yang tiap tahunnya dicekokin film pengkhianatan G30 SPKI. Begitu juga dengan buku-buku sejarah yang menceritakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu sangat kejam. Mereka diisukan menyiksa para jenderal dengan sangat keji, seperti disayat, dipotong kemaluannya, dan dicongkel matanya.
Hal itu diungkapkan oleh kabar berita milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yaitu harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan “penyiksaan barabarik” terhadap para jendral korban kudeta PKI. Bahkan Presiden Suharto yang saat itu memimpin Indonesia membenarkan membenarkan adanya “indikasi penyiksaan” di tubuh korban.
Nyatanya, hasil otopsi berkata lain. Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Otopsi itu sendiri dilakukan atas perintah Soeharto sendiri, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan keinginan dan jejaknya pun dihilangkan.
Namun hasil otopsi itu ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada indikasi penyiksaan seperti pencongkelan mata, pemotongan alat kelamin, dan lain halnya seperti yang digembar-gemborkan pemerintah orde baru kala itu.
Bukti itu sama dengan pengakuan Hendro Subroto, wartawan yang menjadi saksi sejarah Gerakan 20 September 1965. Dalam wawancara yang dimuat di majalah Tempo edisi 11 Maret 2001, Hendro mengaku, saat menjadi juru kamera TVRI, ia menjadi saksi karena bertugas mengabadikan momen pengangkatan enam jenazah jenderal.
“Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat. Dari jarak itu, saya tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan. Alat kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat. Masih utuh, kan?” ujar Hendro, dinukil dari majalah Tempo edisi Maret 2001.
Ia mengaku hasil liputannya itu banyak dibumbui serpihan dramatisir, dan mirisnya liputan itu terus disiarkan di TVRI selama tiga hari berturut-turut, dengan teks berita untuk menggambarkan pembunuhan yang dilakukan dengan cara yang keji. Hasilnya dari liputan tersebut, membuat amarah rakyat membuncah, dilakukannya pembantaian dan persekusi puluhan tahun kepada orang-orang PKI. Hingga kini pun, ketakutan itu masih melakat di hati sebagian masyarakat Indonesia, dan masih menjadi propaganda elite politik.
Padahal, komunisme sendiri adalah faham tentang aturan sosial-ekonomi, yang cita-citanya menghilangkan kelas sosial dengan membentuk kepemilikan bersama. Oleh sebab itu, tidak semua komunis adalah orang PKI. Sayangnya, hal ini yang tidak banyak diketahui masyakarat Indonesia, sebab adanya larangan rancu yang dibuat pada 52 tahun silam, alias Tap MPRS No.25 1966.