Isu Terkini

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Ditangkap, Bukti KPK Tidak Lemah?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Foto: Ramadhan Yahya/Asumsi

Pengesahan revisi Undang-undang No. 19 Tahun 2019 tentang KPK tahun lalu menuai banyak polemik.

Kewenangan Dewan Pengawas KPK yang meliputi teknis penanganan perkara—memberikan izin untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan—dinilai akan mempersulit proses penyidikan KPK. Status pegawai KPK yang ditetapkan sebagai ASN pun dinilai mengancam independensi lembaga ini.

Singkatnya, orang-orang mengatakan: KPK telah dilemahkan?

Namun, pagi ini (25/11), lembaga antirasuah tersebut menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Apakah “keberhasilan” ini membuktikan sebaliknya? Bagaimana tanggapan para pengamat politik dan pengamat kebijakan antikorupsi?

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Rimawan Pradiptyo

Rimawan mengaku terkejut atas keberhasilan KPK menangkap seorang menteri.

“Di dalam undang-undang 19/2019 sendiri, itu sangat dibatasi sekali bagaimana KPK bisa melakukan penyadapan. Banyak hal yang perlu dilewati dan itu mempersulit KPK sendiri, tidak seperti dulu,” ujarnya.

“Cuma sekarang pertanyaannya: apakah ini hanya jadi kasus khusus atau akan menjadi praktik yang umum di masa depan?” kata Rimawan ketika dihubungi Asumsi.co (25/11).

Pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hajar

Abdul menyatakan ada ketidaksamaan semangat antikorupsi di level penyidik dan pimpinan KPK.

“Di level penyidik tetap ada semangat independen, tapi coba dengar pernyataan Ketua KPK-nya, Firli Bahuri, yang menyatakan bahwa ditangkapnya Menteri Edhy Prabowo hanya untuk dimintai keterangan,” katanya.

“Kan konyol pernyataan seperti ini. Meskipun benar, tetapi logikanya ditangkap itu OTT [operasi tangkap tangan] sudah ada buktinya. Inilah buktinya KPK dilemahkan dengan UU-nya, termasuk oleh pimpinannya.”

Pengamat politik Ray Rangkuti

Jika dibandingkan dengan sebelum revisi UU KPK disahkan, menurut Ray, kinerja KPK saat ini  menurun drastis. Dia menyatakan bahwa penangkapan Edhy Prabowo perlu diapresiasi, tetapi bukan bukti bahwa KPK tidak dilemahkan.

“Menyatakan bahwa KPK nggak lemah gara-gara penangkapan ini juga terlalu terburu-buru. Ini kan baru sekali dari pengabdian satu setengah tahun. Seperti kita ketahui, bahkan untuk OTT kepala daerah pun KPK itu lambat sekali,” ujar Ray ketika dihubungi Asumsi.co (25/11).

Menurut Ray, penilaian terhadap kinerja KPK harus juga didasari pada kemampuan lembaga tersebut mengembangkan kasus.

“Kalau hanya berhenti [menangkap] di dua-tiga orang, juga aneh. Kita belum tahu siapa pihak lain yang ditangkap. Nggak mungkin kasus korupsi seperti ini tidak ada pihak swasta yang terlibat,” katanya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana

Menurut Kurnia Ramadhana, KPK mesti berkaca pada kasus suap yang melibatkan Harun Masiku dan Wahyu Setiawan selaku mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Meski Wahyu Setiawan divonis 6 tahun penjara, Harun selaku pemberi suap masih buron hingga saat ini.

“ICW melihat bahwa tidak seluruh pimpinan menaruh perhatian yang serius untuk menuntaskan perkara tersebut… Ini jangan sampai terulang lagi,” katanya.

Kurnia juga menyorot selisih komunikasi antara pimpinan dan Dewan Pengawas KPK. Dalam kasus Harun Masiku yang merupakan eks-Caleg PDIP, katanya, kantor DPP PDIP bahkan tak digeledah.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penggeledahan tersebut masih menunggu izin dari Dewan Pengawas KPK. Namun, di sisi lain, Dewan Pengawas menyatakan “tidak pernah menolak permohonan izin KPK untuk penindakan seluruhnya”.

“Kami menduga keras pimpinannya [KPK] yang tidak pernah mengirimkan izin kepada dewas. Itu bukti konkret untuk menyatakan bahwa proses izin KPK sekarang berbelit-belit,” ujar Kurnia.

ICW dalam kajiannya menyorot berbagai problematika KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri selama Desember 2019-Juni 2020:

1. Jumlah tangkap tangan merosot tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya;

2. Menghasilkan banyak buronan;

3. Tidak menyentuh perkara besar;

4. Gagal melakukan tangkap tangan;

5. Penanganan perkara yang sengkarut;

6. Abainya perlindungan saksi.

“Dari lima orang pimpinan, sebagian besar lebih menginginkan KPK mengandalkan pencegahan saja. Kami beranggapan pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan pencegahan. Tapi semua harus berjalan beriringan,” tambahnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Rimawan. “Nggak ada yang namanya pencegahan tanpa penindakan yang kuat. Orang cuma diminta melakukan pencegahan tanpa kemampuan untuk melakukan penindakan, itu sama saja bohong,” ujarnya.

Share: Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Ditangkap, Bukti KPK Tidak Lemah?