General

Pembatasan Opini Publik Membatasi Aktivitas Hukum

Rohmatul Izad — Asumsi.co

featured image

Kita barangkali sudah sebegitu menyadari bahwa asas demokrasi dijalankan atas otoritas kekuatan massa yang disebut rakyat. Pemerintah tak lebih hanyalah kepanjangan dari kepentingan atas sesuatu yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Lalu, opini publik juga berperan sekaligus menjadi salah satu kriteria dalam menentapkan setiap kebijakan politik yang akan dilakukan.

Satu-satunya asas kepastian mutlak dalam demokrasi adalah memberikan garis batas secara tegas antara kebebasan individu dan masyarakat yang sama-sama memiliki nilai penting dalam memenuhi peranan sosialnya.

Kebebasan itu sekaligus menetapkan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap individu atau kelompok agar satu sama lain dapat melakukan peranan yang semestinya tanpa ada gangguan dari pihak mana pun. Di atas itu semua, hukumlah satu-satunya kriteria yang dapat memastikan hak dan kewajiban itu dapat terpenuhi secara bersamaan.

Jadi, kebebasan yang sebebas-bebasnya, tidak berlaku bagi sistem demokrasi. Justru itu akan menciderai hakikat dari demokrasi itu sendiri. Pencapain terbaik dari sistem demokrasi modern terletak pada adanya kebebasan dari setiap manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, bertindak atas seluruh kesadaran yang ia miliki dan sejauh tidak bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain, seseorang dapat bebas berperilaku sesuai dengan kaidah hidup yang ia yakini.

Opini publik yang bebas, serta nilai kolektivitas dalam menetapkan segala prinsip harus menjadi nilai yang paling utama dalam sistem demokrasi kita. Hal ini berbeda sama sekali dengan apa yang kita sebut sebagai aktivitas hukum beserta ketetapan-ketetapan yang dibuatnya, di mana opini publik tidak boleh membatasi koridor aktivitas hukum.

Jika otoritas demokrasi berperan dalam mewadahi pluralitas pandangan dalam prinsip kebebasan, yang lalu melahirkan beragam perspektif, maka hukumlah yang bisa menyatukan keragaman itu dalam satu wadah yang disebut aturan main dalam bersosial. Hukum adalah keadaan di mana manusia, secara alamiah adalah bebas, mandiri, independen dan melalui karakter itu hukum lalu menyatukan masyarakat.

Tujuan dari hukum adalah jelas, bahwa ia sedapat mungkin menyatukan seluruh pandangan untuk selalu berperilaku secara proporsional dan adil. Suatu tindakan yang mengarah pada ketidakadilan biasanya memiliki dua kemungkinan, adakalanya ia melanggar aturan hukum yang sudah ada, ada pula ketetapan hukum baru dirumuskan ketika tindakan kejahatan itu baru saja dilakukan. Itulah kenapa Undang-undang selalu mengalami perkembangan sekaligus perubahan ketika ada tindak kejahatan baru yang tidak relevan dengan Undang-undang yang ada atau bahkan belum pernah dirumuskan.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia melakukan pembaruan status hukum melalui pembuatan Undang-undang tentang menyikapi maraknya ormas-ormas yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara. Terlepas dari pro dan kontra terhadap pembentukan hukum baru ini, orang bisa melihat betapa pembuatan hukum baru itu sama sekali tidak mengacu pada opini publik, tetapi aktivitasnya murni dilakukan oleh para pembuat kebijakan hukum.

Kita lalu diarahkan pada satu anggapan bahwa tertanya hukum sama persis dengan sains, di samping objektif, pembuatan hukum baru tidak boleh dicampuri oleh publik, khususnya opini-opini yang berkembang di masyarakat. Perdebatan pasti terjadi, tetapi yang dapat memastikan secara objektif terhadap status hukum tersebut hanya dimiliki oleh laboratorium Mahkamah Konstitusi.

Memang harus diakui bahwa hukum kita tak lebih dari segala sesuatu yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita, seperti sifat patrikularitas HAM yang jauh berbeda seperti yang berkembang di dunia Barat. Sifat dari partikularitas ini kemudian mempengaruhi hampir semua produk hukum yang dibuat, karena yang menjadi tolak ukur bukan universalitas dan sejauh mana ketetapan hukum itu berlaku bagi segenap umat manusia, tetapi lebih mengacu pada nilai-nilai konkrit yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Jika kita masih berdebat tentang status universalitas dan partikularitas dalam memahami hukum, maka selamanya kita akan terjebak pada polemik kebudayaan yang tidak akan pernah dapat melihat produk hukum secara proporsional. Ide kolektif memang berperan di sini, tetapi sama sekali tidak mempengaruhi bagaimana hukum itu terbentuk.

Selain produk hukum yang sudah baku, ada aktivitas hukum yang sifatnya berkembang. Ia menyesuaikan sifat kejahatan yang terjadi di lingkungan sosial kita. Ada satu anggapan bahwa jika peradaban kita semakin maju dan ilmu pengetahuan sebegitu berkembang pesat, maka kejahatan juga akan semakin canggih dan membutuhkan cara-cara baru dalam menanganinya.

Adanya media massa dan teknologi informasi yang sudah sangat canggih, memudahkan siapapun untuk dapat mengarahkan opini publik. Namun seringkali media itulah yang justru mampu mengarahkan sebagian masyarakat dalam keselarasan ide tunggal yang dalam banyak bentuk sering diyakini sebagai kebenaran, padahal opini tetaplah opini, ia tak lebih hanyalah nilai yang lebih rendah dari fakta kebenaran yang sesungguhnya.

Dilema yang seringkali menghantui kita adalah ketika nilai demokrasi itu tidak memiliki karakter keselarasan dengan kebebasan dan bentuk plural dari opini. Di era digital sekarang ini, banyak orang mengira bahwa mereka dapat pertindak sesuka hati mereka, berpendapat sesuai dengan kehendaknya dan ini dianggap pencapain tertinggi dari sistem demokrasi yang kita miliki.

Padahal, dunia yang kita alami melalui media, adalah sesuatu yang telah diatur dan direkayasa sedemikian rupi oleh pihak-pihak tertentu agar terjadi keseragaman pendapat di tengah masyarkat yang begitu plural. Orang tidak peduli betapa di balik itu, ada otoritas pengendali yang disebut para kapital dan penguasa. Bukankah ini menandakan bahwa keadaan demokrasi kita justru berjalan ke arah yang tidak sehat.

Sementara itu, dalam politik, opini publik seringkali mempengaruhi bagaimana pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakannya yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Peran penting opini publik justru terletak pada kolektifitas pendapat yang menyatukan aspirasi mereka yang pada akhirnya dapat merubah sesuatu yang mereka kehendaki.

Hal sebagaimana terjadi di atas, tidak berlaku dalam permasalahan hukum, aktifitas hukum itu haruslah independen dan tidak boleh ada satu otoritas pun (selain mereka yang memiliki peran di dalamnya) yang dapat terlibat dalam memastikan dan memutuskan status hukum.

Jika opini publik ikut campur dalam aktivitas hukum, maka ini adalah suatu keadaan yang sangat berbahaya bagi kelangsungan dan independensi dari objektifitas kepastian hukum tersebut. Pengaruh-pengaruh dari luar justru akan membuat hukum menjadi tidak kredibel, apalagi statusnya adalah dilemahkan dan dibatasi geraknya oleh massa.

Kita bisa mengambil contoh tentang kasus demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Jakarta beberapa waktu yang lalu, betapa fenomena ini mengakibatkan aparat hukum begitu tertekan sekaligus ditekan oleh kekuatan massa yang bahkan aspirasi mereka melampaui keadaan hukum yang sesungguhnya.

Mereka menginginkan penegakan hukum secara tegas oleh aparatus negara, tetapi pada saat yang sama justru merekalah yang sebenarnya ingin berperan sebagai aktor tunggal dalam menetapkan status hukum terhadap kasus yang mereka polemiskan.

Jika aktivitas hukum ini dipengaruhi dan ditekan kuat oleh massa dalam satu pandangan, maka yang dipertaruhkan adalah hilangnya nilai objektif dari kebenaran hukum. Masyarakat sah-sah saja berdemonstrasi sesuka hati mereka, karena ini salah satu cara menyalurkan aspirasi mereka, tetapi jika aspirasi itu secara kolektif sudah menyentuh dan menggoyahkan dalam memutuskan perkara hukum, maka justru pemerintah akan kehilangan independensi dalam memutuskan kasus hukum tersebut.

Apalagi, jika opini publik melahirkan produk hukum baru, maka keadilanlah yang akan dipertaruhkan. Karena ini bukan berangkat dari nilai-nilai yang hidup dan tumbuh di masyarakat, opini publik sebenarnya lebih merupakan pendapat kesementaraan yang dapat datang dan pergi sesuai dengan kondisi-kondisi yang terjadi. Jika opini publik itu justru menyesatkan, apalagi sampai menekan posisi pemerintah, maka persinggungan keduanya akan melahirkan produk hukum yang cacat.

Rohmatul Izad adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.

Share: Pembatasan Opini Publik Membatasi Aktivitas Hukum