COVID-19 bisa jadi belum sefatal Flu Spanyol yang menewaskan 50-100 juta orang di dunia pada tahun 1918-1920. Namun, dengan rantai pasokan di dunia saat ini yang saling berkaitan, ekonomi dunia terdampak lebih keras akibat COVID-19.
Cina sebagai negara yang menguasai 20% produk domestik bruto (PDB) dunia telah membuat berbagai negara lain ikut kena imbasnya. Ekonom dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan bahwa dunia saat ini sangat bergantung pada Cina. “Berbeda dengan kasus Flu Spanyol dahulu, dampak ekonomi pada global akibat COVID-19 akan jauh lebih besar. Sebanyak 20% global supply chain ada di Cina. Kalau negara tersebut nggak produksi komponen, maka banyak barang di seluruh dunia nggak bisa diproduksi,” kata Chatib lewat podcast Asumsi Bersuara: Ekonomi di Era Pandemi, Kita Mesti Gimana? pada 7 April lalu.
Perusahaan teknologi Apple Inc., misalnya, terhambat produksinya karena pabrik perakitan produknya di Cina sempat macet. Dampaknya menjalar ke pabrik-pabrik pembuat komponen lain yang tersebar di Italia, Jerman, Malaysia, dan Korea Selatan. Survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Kloepfel juga menemukan bahwa 81% perusahaan di Jerman bergantung pada suplai dari Cina. Begitu pula Amerika Serikat yang 21% impornya berasal dari Cina. Sementara itu, walaupun penyebaran COVID-19 di Cina telah mereda, diperlukan waktu berbulan-bulan hingga pabrik dapat bekerja normal dan mengejar ketertinggalan.
Menurut Chatib, menjadikan suatu negara menjadi terlalu berpengaruh jadi berbahaya. “Begitu Cina kena, semua collapse. Satu hal yang bisa dipelajari dari pandemi ini adalah jangan menaruh semua telur di dalam satu keranjang,” katanya—mengingatkan untuk melakukan diversifikasi rantai pasokan. “Globalisasi akan bertahan, tapi akan terjadi diversifikasi supply chain.”
Alex Capri, akademisi National University of Singapore, berkata di CNBC bahwa, “kita akan melihat restrukturisasi rantai pasokan yang masif setelah ini.” Ia membandingkan wabah SARS pada 2002 dahulu dengan COVID-19 saat ini. Saat itu, Cina hanya berkontribusi terhadap 4% PDB dunia—berbeda jauh dengan saat ini. Dengan telah terjadinya pula perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat, ia memprediksi akan semakin banyak perusahaan yang melakukan diversifikasi rantai pasokan.
Selain pasokan atau suplai yang macet, pekerja-pekerja di rantai pasokan global juga ikut terdampak. Sejumlah perusahaan mesti menghentikan produksi, menutup toko, atau membatalkan pesanan. Penyedia-penyedia suplai asal Myanmar, Kamboja, dan Bangladesh, misalnya, menunda pekerjaan mereka. Hanya sejumlah kecil retailer, seperti H&M, yang tetap membayar pesanan mereka. Alhasil, banyak pekerja yang dirumahkan tanpa diberikan upah. Sementara itu, diestimasikan terdapat 450 juta orang yang bekerja di rantai pasokan global.
Human Rights Watch menekankan bahwa walaupun banyak perusahaan yang kesulitan di tengah pandemi ini, mereka tidak boleh melupakan hak-hak pekerja—termasuk yang ada di rantai pasokan produk mereka. “Perusahaan mesti memastikan agar pekerja mereka aman dan tetap mendapatkan pemasukan agar mereka bisa menafkahi keluarga. Lebih dari itu, mereka harus mengevaluasi rantai pasokan mereka dan memastikan terdapat perlindungan yang kuat bagi pekerja dan terdapat perlindungan sosial pekerja di harga yang mereka bayar,” ujar Juliane Kippenberg, perwakilan Human Rights Watch, dikutip dari hrw.org.