Olahraga

Patrich Wanggai dan Kenapa Masih Ada Orang Indonesia yang Rasis?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Jarwo/Asumsi.co

Malam di Stadion Kanjuruhan, Malang, Senin (22/3/21), boleh jadi tak akan pernah bisa dilupakan Patrich Wanggai. Selepas bergembira sebentar usai mencetak gol dan membawa PSM Makassar menang 2-0 atas Persija Jakarta di laga grup B Piala Menpora 2021, ia malah dihujani komentar-komentar rasis.

Wanggai–selayaknya pemain-pemain lain–tentu saja ingin bermain maksimal, mencetak gol, berselebrasi bersama rekan-rekannya, lalu menjadikannya kenangan, cuma itu. Selebihnya, puja-puji dari suporter atas penampilan apiknya, itu hanya bonus. Tapi, apakah pantas kemudian putra asli Papua itu malah dicaci maki?

Akun Instagram Wanggai @wanggaipatrich, diserbu suporter yang tak senang dengan kemenangan PSM dan menyasar Wanggai sebagai pemain yang menyumbang satu gol. Kolom komentar dipenuhi sumpah serapah dan kata-kata rasis seperti “monyet”, “anjing hitam”, “anjeng”, “muka kontol”, hingga “hitam goblok”.

Apakah orang-orang rasis yang menghardik Wanggai itu lupa, bahwa mantan pemain Persipura Jayapura itu pernah menjadi andalan Timnas Indonesia U-23 pada 2011 bersama Titus Bonai? Apakah mereka tak sadar bahwa melecehkan Wanggai berarti sama saja merendahkan saudara sendiri karena ia adalah orang Indonesia?

Mestinya turnamen Piala Menpora 2021, yang baru saja digelar, bisa jadi pelipur lara setelah nyaris setahun sepakbola Indonesia tanpa kompetisi akibat pandemi COVID-19. Tapi, ulah para pecundang itu justru membuat pertandingan sepakbola menjadi hambar. Padahal, sepakbola itu seharusnya menggembirakan.

Atas komentar-komentar rasis tersebut, PSM Makassar langsung mengambil sikap. CEO PSM Munafri Arifuddin mengirim surat pengaduan resmi ke Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) terkait aksi rasisme yang dialami Wanggai.

“Suka cita kami menjadi tercoreng dengan tindakan segelintir orang yang ‘menyerang’ secara pribadi pemain kami Patrich Wanggai dengan komentar bernada kasar, mengejek, dan rasis. Tindakan tersebut tak dapat diterima oleh akal sehat juga merendahkan martabat kita semua, pelaku sepak bola Indonesia, tanpa terkecuali dan tentu saja tidak berada dalam koridor kesopanan dan jauh dari kesan saling menghargai sesama manusia,” tulis Munafri lewat surat resmi.

Dukungan untuk Wanggai pun mengalir deras, termasuk dari klub-klub peserta Piala Menpora 2021, juga dari para pesepakbola. Mulai dari Persija, Persib Bandung, Persita Tangerang, Persipura Jayapura, hingga Borneo FC, kompak menegaskan bahwa tak ada ruang bagi aksis rasisme di dunia sepakbola.

Wanggai juga mendapat banyak dukungan dari rekan-rekannya, yang ia perlihatkan melalui Instastory Instagram. “Hitam kulit keriting rambut sa [saya] Papua. Biar langit terbelah, saya tetap Papua. #identitas,” tulis Wanggai di story Instagramnya.

Rasisme di Sepakbola: Dari Lapangan ke Media Sosial

Di sepakbola, rasisme tak pernah padam. Jika dulu aksi-aksi rasisme seringkali terjadi langsung di atas lapangan–entah itu dari sesama pemain maupun dari suporter di tribun yang berjarak sangat dekat dengan pemain–kini rasisme merambah hingga ke media sosial.

Tapi, rasanya, di mana pun tempatnya, keberadaan rasisme sama saja: sama-sama merusak.

Selain Wanggai, pesepakbola lain juga pernah mendapat pelecehan rasialis dari suporter di Indonesia. Pada 2013, gelandang Persib asal Kamerun, Mbida Messi, mendapatkan perlakuan tak pantas saat sedang melakukan pemanasan jelang menghadapi Persija Jakarta di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Suporter meneriakinya: “Messi..Messi..monyet..monyet.”

Jauh ke belakang, pada 2007, mantan pelatih Persipura asal Malaysia, Raja Isa, menyebut anak asuhnya sering diteriaki monyet saat bertanding. “Anak anak tidak bisa berkonsentrasi karena dipanggil monyet,” kata Raja Isa saat Persipura bertandang ke Balikpapan dan Jepara.

Tak cuma Indonesia, rasisme bahkan menggerogoti sepakbola Eropa dengan cara yang lebih liar lagi. Tengok saja mantan bek sayap Barcelona Dani Alves saat mendapat perlakuan rasis pada laga melawan Villareal, 27 April 2014, yang dilempari pisang oleh suporter saat hendak menyepak bola pojok.

Dalam video yang ditayangkan di YouTube resmi LaLiga Spanyol, Alves merespons aksi rasisme tersebut. Bek asal Brasil tersebut lantas mengambil pisang itu, mengupas, lalu memakannya.

Di Italia, striker Inter Milan, Romelu Lukaku, juga mendapat pelecehan rasial. Pada 6 Desember 2019, melalui akun Twitter resminya @RomeluLukaku9, pemain asal Belgia itu mengecam habis media olahraga Italia, Corriere dello Sport, yang menggunakan headline ‘Black Friday’.

Lukaku kesal bukan main karena Corriere dello Sport menjadikan dirinya dan bek AS Roma Chris Smalling sebagai gambar utama di halaman depan media tersebut.

Lantas, Lukaku menyebut itu adalah headline terbodoh yang pernah ia baca. Headline itu bermaksud untuk memerangi rasisme, tapi caranya justru salah.

Lain lagi penyerang Crystal Palace, Wilfried Zaha, yang belakangan menolak melakukan aksi berlutut–untuk mendukung kampanye antirasialisme alias Black Lives Matter–sesaat sebelum kick off di Liga Primer Inggris. Kepada CNN, 29 Juli 2020, Zaha mengaku takut membuka Instagram karena banyaknya pesan rasis yang ia terima.

Sebelumnya, pada 12 Juli 2020, saat Zaha akan menghadapi Aston Villa, ia malah mendapat pesan dari seorang bocah berusia 12 tahun. Dalam sebuah pesan yang diselipkan emotikon rasis, sang bocah meminta Zaha untuk tak mencetak gol. 

Bahkan, winger Pantai Gading itu mengatakan ia terpaksa menghapus aplikasi Twitter dari ponselnya karena hantaman pelecehan rasis sudah tak terbendung. 

“Bagi pemain sepakbola berkulit hitam, memiliki Instagram sudah tidak lagi menyenangkan. Anda tidak bisa menikmati akun Anda. Saya pun takut untuk membuka kotak pesan di media sosial. Saya sudah tidak memiliki aplikasi Twitter di telepon genggam, karena hampir bisa dipastikan Anda akan mendapat berbagai macam serangan, terutama setelah pertandingan berakhir,” kata Zaha.

Rasisme di Indonesia adalah Warisan Kolonial

Menjadi manusia yang berbeda tentu saja sulit bukan main. Apalagi membayangkan menjadi manusia-manusia tangguh macam Wanggai, Mbida Messi, para pemain Persipura, Lukaku, Smalling hingga Zaha, sehari saja, rasanya mental akan remuk seketika.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Bagong Suyanto Drs., M.Si menyebut rasisnya orang Indonesia itu terutama pada tingkat kelompok atau golongan. Sementara di tingkat individu, justru tidak terlalu tampak. Artinya, orang Indonesia memang lebih garang kalau main keroyokan, rombongan, tapi ciut nyali kalau sendirian.

“Akar masalahnya syakwasangka. Ketika terlalu ditekan agar harmonis, konflik malah tidak muncul. Tetapi menjadi bara api,” kata Prof Bagong saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Rabu (24/3/21).

Menurut Prof Bagong, konflik bukanlah hal yang tabu di tengah-tengah masyarakat. Konflik biasa terjadi. Tapi, ia menggarisbawahi, bahwa yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyalurkannya dalam skala yang bisa ditoleransi.

“Orang Indonesia itu tidak diajari bahwa di luar kelompoknya ada kelompok yang berbeda. Ini memang kesalahan yang timbul karena warisan sejarah. Kita dibentuk menjadi bangsa yang terstatifikasi,” ucapnya.

Dalam laporan tahunan Kick It Out–organisasi nirlaba yang berfokus melawan rasisme dan membantu para pesepakbola yang jadi korban rasisme–terungkap bahwa ada peningkatan ujaran kebencian terkait ras di pertandingan sepakbola dan media sosial sepanjang musim 2019/2020 dibanding musim sebelumnya.

Rinciannya: pada pertandingan profesional, kasus diskriminasi yang ketahuan naik dari 313 kasus menjadi 446 kasus, sedangkan komentar rasis naik dari 184 ke 282. Selain itu, Kick It Out juga menerima 117 laporan terkait pelecehan atas orientasi seksual, meningkat dari musim lalu yang hanya 60 kasus. Tren peningkatan kasus juga terjadi di pertandingan sepakbola amatir.

Sementara itu, Associate Professor Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Drs Irwan Martua Hidayana, M.A., menjelaskan bahwa rasisme merupakan sebuah pandangan, sikap, dan tindakan yang diskriminatif terhadap kelompok tertentu atas dasar perbedaan biologis.

“Jadi memang kan setiap manusia sebetulnya pasti membedakan satu sama lain berdasarkan ciri fisik. Klasifikasi terhadap manusia, semua orang pasti melakukannya,” kata Irwan saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (24/3).

Menurut Irwan, ketika satu ras dianggap lebih tinggi derajatnya, dianggap lebih baik, maka itu namanya rasisme. Dari sejarah perjalanan manusia, lanjutnya, rasisme terburuk adalah ketika zaman Nazi terhadap Yahudi. Ia juga menyoroti negara-negara dengan isu rasisme yang sangat kuat, seperti Amerika Serikat.

“Tapi, Indonesia juga tidak lepas dari isu rasisme ya, yang memang sudah ada dan muncul pada masa kolonial. Jadi memang rasisme di Indonesia itu punya sejarah panjang. Rasisme tidak lepas dari warisan kolonial. Bagaimana dulu Belanda (Eropa) membuat stratifikasi sosial pada masyarakat jajahannya,” ujarnya.

Dulu di Indonesia, menurut Irwan, stratifikasi tersebut terbagi menjadi tiga, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asing yang pada masa itu didominasi keturunan Tionghoa dan Arab, serta golongan pribumi. Ia menilai dari pembagian golongan itu bisa terlihat jelas akar rasisme di tanah air.

“Kemudian rasisme semakin terbentuk pada masa Orde Baru, ketika pemerintah melakukan represi terhadap etnis Tionghoa.”

Bahkan, rasisme di Indonesia muncul ketika Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) menetapkan stratifikasi, lalu melegalkannya. Yang lebih parah, golongan-golongan itu lantas dipertajam dengan legalitas. “Bahkan dulu, orang pribumi tidak boleh masuk stadion sepakbola.”

Irwan menyebut bahwa suku-suku di Papua memang berbeda secara biologis dengan wilayah lain di Indonesia. Namun, menurutnya, rasisme terhadap orang Papua juga terbentuk pada masa Orde Baru.

“Saya pikir di rasisme di Papua juga tidak bisa lepas dari Orde Baru, ketika daerah tersebut menjadi lokasi operasi militer tahun 1974. Jadi memang saya kira ada andil sejarah tersebut dalam diskriminasi yang terjadi hari ini.”

Di Indonesia, rasisme akan terasa apabila terdapat kaum minoritas dalam hal biologis di dalam sebuah populasi mayoritas. Kondisi semacam inilah yang mudah dilihat dalam kasus pelecehan rasisme pada Wanggai beberapa hari lalu.

“Jadi memang ada upaya-upaya segregasi dalam setiap aksi rasisme. Korban yang direndahkan martabatnya benar-benar dijatuhkan hingga terpuruk sampai ke posisi paling bawah,” kata Irwan.

“Seperti kisah yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia untuk mengupas sikap rasis itu ya. Jadi memang tokoh RM Tirto Adhi Soerjo dalam novel itu dipanggil juga Minke, yang mana nama itu mengacu pada kata monkey atau monyet,” lanjutnya.

Tirto memang digambarkan sebagai satu dari segelintir pribumi di sebuah sekolah yang mayoritas siswanya kulit putih. Minke, adalah bagaimana guru Tirto memanggilnya. Demikian Irwan mengingat-ngingat lagi kisah itu.

Segregasi Mengerikan dari Aksi Rasisme

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert menyebut rasisme di Indonesia akan tetap bersemayam kalau perasaan superioritas dan ingin selalu unggul terhadap orang/ras lain terus muncul. Begitu pula rasisme terhadap orang-orang Papua.

“Ada banyak dimensi rasisme, tapi satu hal yg paling sering menjadi dasar rasisme adalah perasaan superior dan memandang orang atau ras lain sebagai sub-ordinat,” kata Robert saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (25/3).

Jadi, kata Robert, di belakang rasisme selalu bersemayam dominasi dan perasaan penaklukan. Menurutnya, ini terjadi dalam konteks di manapun: rasisme terhadap orang kulit hitam dan Asia di Amerika Serikat, termasuk rasisme yang dialami pemain PSM Makassar Patrich Wanggai.

“Apa yang terjadi terhadap Wanggai malah mengungkap paradoks dari rasisme di Indonesia: di satu sisi dalam diskursus ideologi politik, kita selalu mengamplifikasi panggilan “persatuan” bahwa orang Papua adalah saudara kita, namun di saat yang sama ungkapan-undkapan rasis terhadap orang-orang Papua dengan mudah keluar dan tanpa sanksi apapun,” ucap Robert.

Robert menilai ini bisa terjadi karena dalam alam bawah sadar orang tau bahwa praktik integrasi sosial yang dikembangkan lebih banyk didasari oleh superioritas. Nah, inilah yang menurut Robert, yang membuat rasisme terus terjadi.

“Dalam konteks ini solusinya adalah dua: kita mesti mengubah paradigma pembangunan sosial politik ekonomi kita terhadap Papua supaya lebih adil dan lebih manusiawi. Yang kedua, perlu sanksi keras terhadap pelaku rasisme untuk mengubah dan menahan rasisme dari pergaulan sehari-hari.”

Menurut Robert, rasialisme di Indonesia memang berkaitan dengan penjajahan bangsa Eropa di Nusantara. Ia menyebut sikap ini berhimpitan dengan penjajahan karena ia memiliki fungsi yakni memberikan jalan masuk, untuk penaklukan.

“Sebelum betul-betul secara ekonomi dan politik itu dijajah, maka pertama kali yang harus ditaklukkan adalah dimensi-dimensi paling fisikal dan paling substil dari eksistensinya, yaitu rasnya,” kata Robert.

Robert menilai rasisme pada akhirnya menjadi bagian dari strategi para penjajah. Misalnya terkait teriakan “monyet”, Robert menyebut bahwa seseorang yang menjadi sasaran teriakan itu, otomatis akan dijatuhkan dalam struktur hierarki sosial masyarakat.

“Bukan sekedar disegregasikan, orang itu akan langsung diletakkan di posisi bawah dalam piramida struktur sosial masyarakat. Melalui cara-cara seperti itu, seseorang sebenarnya sudah ditaklukkan.”

Menurut Robert, hal itu menjadi penting dalam melihat rasialisme, yang bukan semata-mata sebagai problem pergaulan antar ras saja. Tetapi, kata Robert, memang dalam sejarahnya hal itu sudah melekat dalam struktur imperialisme, dalam struktur penindasan itu sendiri.

Dalam sejarah Indonesia, sebutan bangsa kuli juga dilekatkan penjajah kepada masyarakat ketika itu. Robert melihat perendahan semacam itu menjadi strategi mempermudah penguasaan ekonomi dan politik oleh penjajah.

“Yang harus diingat adalah bahwa rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Hitler, sejumlah peristiwa pembantaian di Eropa Timur, begitu juga kematian masyarakat asli Amerika dan Australia.”

Sekali lagi, Robert mengatakan bahwa ungkapan rasis kemudian memang ditujukan untuk menciptakan segregasi dalam masyarakat. Ia menegaskan bahwa jika kondisi itu dibiarkan, maka sama saja masyarakat menyetujui segregasi sosial berbasis dominasi yang tentu saja sulit untuk dibenarkan.

Soal rasisme yang tak pernah berhenti menyasar masyarakat Papua di Indonesia, Robert menyesalkan hal itu dan ia melihat ada ironi yang besar.

“Dari sudut politik itu menjadi ironis, karena kita selalu punya klaim, kita menginginkan Papua selalu di dalam bagian demokrasi dan republik kita. Tetapi pada saat yang sama kita malah membiarkan ungkapan-ungkapan yang bersifat segregatif terhadap Papua.”

Berdasarkan laporan Komnas HAM pada November 2019, bahwa dalam rentang tahun 2011 sampai 2018, ada 101 pelanggaran ras dan etnis. Berbagai aduan publik itu meliputi beragam spektrum praktik diskriminasi, seperti pembatasan terhadap pelayanan publik, maraknya politik etnisitas/identitas, pembubaran ritual adat, diskriminasi atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minortas, dan akses ketenagakerjaan yang belum berkeadilan.

Aduan tersebut paling banyak terjadi pada 2016 dengan aduan sebanyak 38 kasus dan 34 kasus di antaranya terjadi di DKI Jakarta.

Adapun survei dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif melalui wawancara tatap muka terhadap 1207 responden di 34 provinsi yang dilaksanakan pada 25 September-3 Oktober 2018. Responden berusia 17-65 tahun mewakili latar belakang sosial ekonomi beragam (bawah-menengah-atas) dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang proporsional.

Jika merujuk pada tren, tindakan diskriminasi ras dan etnis paling banyak terjadi saat Pilkada DKI Jakarta 2017. DKI Jakarta sendiri menjadi wilayah dengan jumlah kasus rasisme paling tinggi dengan rincian 34 kasus, Yogyakarta 25 kasus, Sumatera Barat sembilan kasus, Sumatera Utara enam kasus, dan Jawa Barat tiga kasus.

Dalam konteks medium penyebaran, televisi, teman/keluarga, dan media sosial jadi sumber informasi utama terkait isu diskriminasi ras dan etnis. Perputaran informasi dalam medium itu pada praktiknya, sering menjadi arena pertarungan ideologi/politik melalui penyebaran berita bohong (misinformation), yang justru kontraproduktif dengan semangat kebhinekaan. 

Padahal, tindakan rasisme jelas dilarang oleh undang-undang. Dalam hal ini, Indonesia sudah memiliki instrumen hukumnya yakni UU Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Sayangnya, UU ini justru jarang dijadikan rujukan oleh penegak hukum dalam mengusut aksi rasisme.

Bagaimanapun, tak ada tempat bagi rasisme di Indonesia dan di belahan dunia mana pun. Pelecehan terhadap Wanggai mestinya menjadi yang terakhir dan tak pernah terulang lagi di masa mendatang. Pada akhirnya, semua sangat mencintai sepakbola, bukan?

Share: Patrich Wanggai dan Kenapa Masih Ada Orang Indonesia yang Rasis?