Isu Terkini

Pascateror Bom, Secercah Asa di GKI Dasa Surabaya

Aan Anshori — Asumsi.co

featured image

Tiga puluhan tahun sudah Gereja Kristen Indonesia Darmo Satelit (GKI Dasa) berdiri di Kelurahan Putat Gede, Surabaya. Baru pada Sabtu malam pekan lalu, 19 Mei, beberapa warga Muslim dan aparat Kelurahan Putat Gede berkesempatan mengunjungi gereja itu. Pertemuan itu dikemas dalam acara buka puasa bersama.

“Saya sangat senang bisa berkunjung di GKI. Terima kasih. Motto kelurahan kita adalah Putat Gede Bersatu,” kata Lurah Putut Gede, Sri Sunarsih, yang duduk di samping Andri Purnawan, pendeta di gereja tersebut. Ini adalah momen pertama kali.

Puluhan warga yang hadir bersama Bu Lurah membaur bersama puluhan jemaat GKI Dasa yang kebanyakan beretnis Tionghoa. Mereka berinteraksi selama buka bersama berlangsung, meskipun saya melihat masih ada kecanggungan.

Upaya positif membuka diri bagi GKI Dasa tidak mungkin terjadi tanpa inovasi dari Andri dan majelis gerejanya. Saya tidak tahu bagaimana cara kerja “roh kudus” menghampiri GKI Dasa sehingga pertemuan ini terlaksana. Hipotesis saya yang juga hadir malam itu, bisa jadi teror bom yang menghajar Surabaya beberapa waktu lalu menjadi momentumnya.

Selama ini, GKI Dasa bukanlah gereja yang sepenuhnya mengisolasi dirinya dalam kerja-kerja sosial yang melibatkan masyarakat non-Kristen. Namun, sebagaimana diakui Andri dalam sambutannya, ruang lingkup GKI Dasa lebih terfokus ke wilayah di luar Surabaya.

“Memang interaksi ini bisa dikatakan mengalami. Malam ini merupakan momentum penting memperkuat interaksi ini ke depannya,” ujarnya.

Bagi saya, Andri Purnawan adalah salah satu pendeta cerdas yang dipunyai GKI Sinode wilayah Jawa Timur. Jebolan teologi UKDW yang mendalami studi biblikal ini merupakan salah satu aktor kunci terselenggaranya aksi solidaritas di GKI Diponegoro, sehari sebelumnya, pada Jumat, 18 Mei, salah satu lokasi yang dihajar bom, selain Paroki Santa Maria Tak Bercela dan GPPS Sawahan.

Ia menjadi jangkar GKI dan komunitas lintas iman Surabaya untuk mengawali perjumpaan GKI Dipo yang masih mengalami trauma. Kerja kerasnya meyakinkan internal GKI Dipo sungguhlah tidak mudah. Apalagi GKI tersebut bukanlah otoritasnya.

“Ceritanya panjang dan agak meliuk-liuk, Gus,” ujarnya sembari tertawa saat mengantarkan saya pulang ke Jombang.

Penulis (dari kiri ke kanan) bersama Pendeta Andri Purnawan dan Lurah Putut Gede Sri Sunarsih saat berkunjung ke GKI Dasa Surabaya pada 19 Mei 2018. Foto: Istimewa

Buka puasa bersama warga Putat Gede di GKI Dasa yang ia kelola merupakan langkah konstruktif membobol sekat prasangka yang perlu diapresiasi dan ditiru semua gereja yang ada. Kerendahan hati membuka pintu gereja dan mengajak warga non-kristen berkunjung, sebagaimana ditunjukkan GKI Dasa, tidak saja merupakan kebutuhan gereja itu sendiri. Yang tidak kalah penting, hal ini juga merupakan kebutuhan umat Islam agar bisa lebih berinteraksi dengan kelompok Kristen. Ini penting bagi mereka untuk mengonfirmasi dogma negatif terkait gereja dan kekristenan.

Sepanjang yang saya tahu, pandangan Islam terhadap kekristenan acapkali bernuansa negatif.

“Jangan masuk gereja nanti jadi Kristen”, atau “Jangan bergaul dengan orang Kristen, mereka jahat,” merupakan sebagian kecil dari puluhan dogma yang terus dijejalkan ke memori jutaan umat Islam di Indonesia. Akibatnya, tidak sedikit umat Islam punya pandangan miring terhadap kekristenan, yang pada gilirannya, jika tidak segera dinetralisir, akan semakin mendongkrak praktek diskriminasi dan aksi kekerasan terhadap mereka.

Sebagai catatan saja, dalam 20 tahun ini lebih dari 5.000an gereja mengalami kekerasan. Perundungan siswa/i non-Muslim di sekolah-sekolah, meski belum ada data validnya, saya yakini terjadi eskalatif. Hal ini bisa terdeteksi, salah satunya, dari besarnya sikap intoleransi implisit yang didapatkan dari survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Institusi ini mengklaim lebih dari 58,8% responden, yang jumlahnya 2.181 dan tersebar di 34 provinsi, mempunyai pandangan intoleran terhadap agama lain.

Pandangan intoleran ini harus diamputasi sejak dini, melalui perjumpaan-perjumpaan berbasis rumah ibadah, sebagaimana di GKI Dasa malam itu. Saya menyadari ada ketakutan kedua belah pihak. Yang Kristen takut dituduh melakukan kristenisasi jika mengundang Muslim ke gereja. Sebaliknya, pihak Muslim acapkali beranggapan tengah diproses menjadi Kristen dengan cara masuk gereja. Sikap tidak ingin dicurigai dan perasaan terintimidasi sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk relasi Islam-Kristen Indonesia akhir 60-an dan awal 70-an (Mujiburrahman, 2006).

“Sekarang saya tanya, ibu-ibu yang pakai jilbab, sampeyan saat ini merasa Islam atau Kristen?” tanya saya kepada perempuan berjilbab sebelah Bu Lurah. Ia tersenyum sembari menjawab pendek, “Ya Islam lah pak,”

Ibu lainnya, berhijab, yang juga hadir saat itu sempat melontarkan curhatnya kepada saya. Ia dilarang datang ke gereja oleh salah satu ustadz karena hukumnya haram, padahal ia sendiri tidak keberatan datang. Larangan itu kerap diulang-ulang di banyak pertemuan keagamaan.

Datang ke gereja bukanlah hal mudah. Tidak sedikit para ahli hukum Islam klasik melarang umat Islam mendatangi gereja. Alasannya bisa bermacam-macam. Bagi saya, pelarangan tidaklah cukup relevan dipertahankan karena dua hal.

Pertama, pendapat tersebut jelas menumbuhkan kerusakan (mudlarat) serius, yakni menyuburkan kebencian antarindividu yang berbeda keyakinan. Padahal, membenci ciptaan Allah berarti membenci Sang Pencipta.

Kedua, pendapat tersebut berintensi merendahkan akal sehat karena menyepelekan kualitas keislaman Muslim. Yakni, mengasumsikan (dzan) setiap Muslim akan berpindah keyakinan setelah masuk gereja.

Memasuki gereja, bagi saya, bisa berstatus haram jika niatnya ingin melakukan tindak pidana yang merugikan orang lain, misalnya mencelakai, merusak, atau mengebom seperti halnya yang terjadi baru-baru ini.

Di forum buka bersama warga dan jemaat GKI Dasa itu, saya jug menyitir sebuah ayat yang kerap digunakan untuk menggelorakan semangat pan-islamisme, persatuan politik sesama muslim. Ayat itu merupakan penggalan dari QS Ali Imran 103: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya di tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.”

Mengamini metode penafsiran Sahrur yang menyatakan teks Alquran bersifat statis (tetap), sedangkan tafsirnya bersifat dinamis (bisa berubah), maka ayat tersebut terbuka untuk dimaknai sebagai seruan bagi umat manusia untuk selalu konsisten bersatu dalam naungan tuhan.

Diksi “tali (agama) Allah” saya maknai secara esensial, yakni perdamaian dan persatuan sebagai pesan inheren-universal setiap agama dan kepercayaan. Sehingga teks tersebut bisa diartikan “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya dalam perdamaian dan persatuan umat manusia, dan janganlah kamu bercerai berai.”

Dengan berpijak pada tafsir alternatif ayat ini, semua umat Islam, diseru untuk berpegang teguh pada perdamaian dan persatuan dengan siapapun, tanpa memandang agama/keyakinannya, serta diminta Allah untuk tidak bercerai-berai. Tafsir ini sekaligus tengah berkontestasi dengan tafsir klasik yang meminta Muslim bersatu-padu dengan sesama Muslim untuk berkonfrontasi dengan non-muslim.

Malam itu, asa baru tengah diretas GKI Dasa dan warga sekitarnya pascabom Surabaya. Relasi ideal ini akan terus diuji oleh sejarah. Mampukah mereka menindaklanjutinya di masa mendatang? Biarlah waktu yang akan membuktikannya.

Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur, GUSDURian, mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam Univ. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Share: Pascateror Bom, Secercah Asa di GKI Dasa Surabaya