Isu Terkini

Akankah Pemakaian Masker Jadi “The New Normal” Pascapandemi?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Jika imbauan untuk memakai masker kain membuatmu berburu masker, kamu tidak sendiri. Orang-orang tak hanya mencari masker kain di online shop ataupun pasar swalayan, tetapi juga membuat masker sendiri dari pakaian atau kain bekas. Sebagian orang juga mengambil kesempatan ini untuk berjualan masker.

Di sejumlah e-commerce, masker kain bermunculan dengan berbagai macam varian. Ada yang membuat masker dengan berbagai pola dan motif menarik, seperti stripes, polkadot, hingga motif batik. Ada pula yang menyulap toko—dari yang sebelumnya menjual perlengkapan ibu dan bayi, pakaian dan topi, hingga toko perkakas menjadi menjual masker kain.

Tak seperti masker bedah dan N95 yang stoknya terbatas dan harganya meroket, masker kain lebih mudah dibuat dengan stok bahan yang lebih berlimpah. Karena itu, harga yang dipatok di pasaran pun tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar Rp15.000-30.000.

Sejumlah figur publik pun ikut mempromosikan penggunaan masker, seperti Juru Bicara Pemerintah untuk Virus Corona Achmad Yurianto yang kerap memadukan motif masker dengan gaya pakaiannya. Begitu pula Diana Rikasari, desainer dan fashion blogger, yang bahkan mendesain masker khusus bagi orang berkacamata. Masker tanpa tali atau karet itu dapat disangkutkan ke gagang kaca mata dan menutupi hidung secara penuh. Ia terinspirasi dari suaminya yang kesulitan memakai masker dan kaca mata secara bersamaan. “Kenapa nggak menggabungkan keduanya,” kata Diana dalam Instagram-nya.

Di DKI Jakarta, walaupun terdapat peningkatan jumlah pembelian masker, polusi udara telah membuat orang-orang menggunakan masker secara rutin sebelum pandemi terjadi. Penggunaan masker secara regular juga bukanlah barang baru di sejumlah negara Asia. Namun, pemandangan ini berbeda dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, misalnya, masker biasanya hanya dipakai oleh imigran Asia dan turis. Ada stigma yang melekat bagi orang-orang yang mengenakan masker—membuat mereka jadi tak berani untuk mengenakannya di publik. Menurut ahli antropologi di The Atlantic, masker jadi korban xenofobia: alih-alih berkontribusi mencegah penularan dan pertanda sikap yang bertanggung jawab, masker di Amerika Serikat diasosiasikan dengan Cina dan Asia Timur yang dianggap menjadi sarang penyakit menular.

Namun, dengan jumlah kasus positif COVID-19 di Amerika Serikat yang melampaui 700.000, penggunaan masker jadi lebih umum terlihat. Masker-masker kain telah muncul di supermarket seperti Walmart dan Cosco, dipakai oleh selebritas seperti Justin Bieber dan Selena Gomez, hingga menjadi produk merek fashion terkenal dan dijual dengan harga puluhan dollar AS.

Masker pun dikatakan sebagai “the new condoms“: masker yang efektif mencegah penyebaran virus seharusnya mendapatkan porsi iklan dan promosi sebesar iklan kondom. “Ketika virus Corona akhirnya mereda, pandemi ini mungkin akan tetap meninggalkan bekas permanen: masker sebagai aksesoris sehari-hari orang Amerika,” ungkap Los Angeles Times.

Hal serupa diungkapkan oleh perusahaan konsultan yang berfokus pada riset pasar, Kantar. Perusahaan ini menyoroti perubahan pola konsumsi masyarakat semasa pandemi. Walaupun sebagian besar sektor usaha menunjukkan tren penurunan pembelian, tetapi ada sejumlah sektor usaha lain yang mengalami kenaikan demand: usaha produksi masker dan hand sanitizer, produk-produk pembersih rumah, dan obat-obatan.

Setelah pandemi berakhir, sebagian produk tetap akan bertahan atau tidak mengalami penurunan demand. Sebagaimana warga Amerika Serikat yang mulai memakai masker sehari-hari, 83% responden Kantar di Indonesia pun mengatakan akan tetap membeli masker dan disinfektan untuk kebutuhan sehari-hari setelah pandemi. Sebanyak 65% mengatakan akan tetap mengenakan masker dalam keseharian dan 76% akan lebih rutin melakukan sterilisasi dan disinfektasi. Artinya, masker kini telah menjadi kebutuhan pokok baru dan menjadi “the new normal” di kalangan masyarakat.

COVID-19 secara perlahan mengubah gaya hidup kita secara permanen, dan masker mungkin jadi salah satu penanda awalnya.

Share: Akankah Pemakaian Masker Jadi “The New Normal” Pascapandemi?