Isu Terkini

Pangeran Phillip Disembah Bak Dewa di Pulau Tanna: Kenapa Bisa Sampai Ada Pengkultusan di Masyarakat?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Reuters

Masyarakat adat di dua desa di Pulau Tanna, Vanuatu, yakni Yakel dan Yaohnanen, mengkultuskan sosok Pangeran Philip yang baru saja berpulang, Jumat (9/4/21).

Kematian Pangeran Philip meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat adat ini. Mereka sampai menggelar ritual dan upacara untuk mengantarkan ruh Pangeran dari Inggris ini.

Pangeran Philip Dipuja Bak Dewa

Antropolog Kirk Huffman yang telah mempelajari suku-suku tersebut sejak tahun 1970, mengatakan, pengkultusan terhadap Pangeran Philip telah dilakukan masyarakat adat di Vanuatu selama lima puluh tahun.

Dikutip dari BBC, Huffman mengungkapkan sosok Pangeran Philip selama ini dipuja oleh mereka laiknya seorang dewa lewat kelompok kepercayaan yang dinamakan Gerakan Pangeran Philip.

“Gerakan Pangeran Philip berkembang pesat di desa Yakel dan Yaohnanen. Pada puncaknya, gerakan ini memiliki beberapa ribu pengikut,” katanya.

Para penduduk desa, lanjutnya, meyakini pangeran bergelar Duke of Edinburg ini merupakan perwujudan salah satu dari leluhur mereka.

Huffman mengatakan, Pangeran Philip dianggap perwujudan salah seorang anggota suku yang telah meninggalkan pulau, dalam bentuk spiritual aslinya, untuk menemukan istri yang kuat di luar negeri.

“Memerintah Inggris dengan bantuan sang Ratu, ia berupaya membawa perdamaian dan menghormati tradisi ke Inggris dan bagian lain dunia,” lanjutnya.

Bila misinya berhasil, mereka meyakini bahwa sosok yang dipercaya menjelma sebagai Pangeran Philip ini  kembali ke Tanna, hutan tempat mereka tinggal.

“Meskipun satu hal yang mencegahnya adalah, seperti mereka melihatnya, kebodohan orang kulit putih, kecemburuan, keserakahan dan pertempuran terus menerus,” jelasnya.

Sejak Kapan Gerakan Pangeran Philip Dimulai?

Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan dan asal mula, serta pelopor gerakan yang memuja Pangeran Philip ini dimulai. Namun Huffman mengatakan, ada kemungkinan gerakan ini berawal dari penduduk desa yang pernah melihat sosok sang pangeran lewat foto bersama Ratu Elizabeth dari Inggris.

Foto itu, kata dia, mungkin dilihat penduduk desa di dinding pos kolonial Inggris ketika Vanuatu masih dikenal sebagai New Hebrides, sebuah koloni yang dikelola bersama oleh Inggris dan Prancis.

“Jumlahnya (pengikut gerakan ini) diperkirakan telah menyusut menjadi hanya beberapa ratus saja saat ini,” demikian ditkutip dari sumber berita yang sama.

Sementara itu, Dan McGarry, jurnalis yang berbasis di Vanuatu menjelaskan penduduk kedua desa ini hidup sederhana di hutan Tanna, serta mewarisi berbagai tradisi nenek moyang mereka.

McGarry menambahkan, Pangeran Phillip dipandang sebagai perwujudan figur yang hidup dari bagian budaya mereka. “Ini adalah perjalanan pahlawan, seseorang yang memulai sebuah pencarian dan benar-benar memenangkan sang putri dan kerajaan,” katanya dikutip dari BBC.

Ritual Tarian Hingga Korban Babi untuk Pangeran Phillip

BBC melaporkan, saat ini periode berkabung sedang berlangsung di pulau itu. Masyarakat adat di Pulau Tanna akan menggelar ritual dan upacara adat selama beberapa pekan sebagai bentuk persembahan untuk kematian Pangeran Phillip.

Ritual ini dilakukan dengan menggelar upacara adat mengenang sang pangeran, Selasa (13/4/21). Ketua suku masyarakat adat tersebut, yang dipanggil Chief Yapa, mengungkapkan, tak cuma dengan Pangeran Phillip, hubungan antara orang-orang di Pulau Tanna dan orang-orang Inggris sangat kuat. 

“Kami mengirim ucapan duka cita kami kepada keluarga kerajaan dan rakyat Inggris,” ujarnya dilaporkan kantor berita Reuters, seperti dilansir BBC.

Ia menjelaskan, ritual dan upacara adat untuk Pangeran Phillip dilakukan selama beberapa pekan ke depan lantaran sosoknya dipandang sebagai keturunan dari roh atau dewa yang sangat kuat, yang tinggal di salah satu gunung mereka.

Mereka akan melakukan tarian ritual, menggelar prosesi dan memperlihatkan memorabilita Pangeran Phillip. Sementara para pria akan meminum kava, minuman yang wajib hadir dalam acara seremonial yang dibuat dari akar tanaman kava.

Puncak acara ini akan diakhiri dengan pertemuan yang berlimpah dengan suguhan tanaman ubi dan kava, serta mengorbankan babi sebagai rangkaian acara seremonial.

Kenapa Pangeran Phillip Bisa Dikultuskan?

Fenomena yang terjadi pada mendiang Pangeran Phillip sebagai sosok yang dipuja masyarakat adat di Pulau Tanna merupakan bentuk pengkultusan.

Secara terminologi, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kultus sebagai bentuk penghormatan secara berlebihan kepada orang, paham atau benda.

Dalam istilah keilmuan, Alvin Johnson lewat bukunya, Encyclopedia of the Social Science, Vol. 3 (New York Mcmillan, 1963), memaknai kultus atau cult sebagai simbol biografi bagi seseorang yang memiliki kekuatan untuk menjelajahi dunia metafisika atau alam raya.

Menurut Strak dan Broindrindge, dikutip dari buku Sociology and Religion: a Culture of Readings, karya Andrew M. Greely, terbitan Chicago: University of Chicago Press, 1995, ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya kultus di tengah  masyarakat:

  • Pertama, disebabkan oleh pathology social, yaitu mental yang sakit atau perilaku yang selalu menyalahkan kondisi orang lain, tanpa dapat memahami perilaku atau kebiasaan orang lain, 
  • Kedua, post power-syndrome, yaitu para mantan penguasa yang menginginkan kekuasaan kekayaan dengan cara instan, selanjutkan memposisikan diri secara paksa kepada masyarakat sebagai tokoh yang harus dihormati.
  • Ketiga, shock culture, yaitu kelompok yang hidup secara terisolir dari interaksi dan komunikasi dengan masyarakat hingga keagamaan mereka menjadi kelompok marginal.

Sementara itu, peneliti dari Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, M Syamsul Huda mengatakan, secara tradisional proses awalnya kultus merupakan ritual peribadatan yang dilakukan secara pribadi atau kelompok.

Hal ini, sebagai sikap ketaatan terhadap norma dalam rangka pencapaian tujuan. Baru pada pertengahan tahun 1900 M proses ritual itu disebut kultus oleh masyarakat Amerika. 

“Selanjutnya pada tahun 1900M ke atas, institusi kultus berkembang menjadi sekte-sekte agama yang menyebar di benua Eropa dan Asia, misalnya kelompok Krisna, ISCON, Black Muslim, Subud dan lain sebagainya,” ujar Syamsul melalui jurnal “Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam” yang diterima Asumsi.co, Selasa (13/4/21).

Ia menerangkan, salah satu bentuk perilaku kultus adalah terdapat kecenderungan melakukan ritual yang bersifat perseorangan. “Serta memfokuskan pada dogma yang diajarkan oleh tokoh karismatik yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan suci,” jelasnya.

Hal inilah yang terjadi pada pria yang merupakan ayah dari Pangeran Charles itu. Ia dikultuskan hingga akhirnya dipuja oleh suatu kelompok laksanan representasi ketuhanan.

Selanjutnya, usaha untuk mempererat dan memperkokoh kelompok kultus ini, kata dia, biasanya tokoh yang diagungkan mengklaim ajaran dan amalan yang dilakukan adalah benar-benar murni dan paling benar.

Sikap Kultus Berasal dari Barat

Secara sosiologis, Syamsul menerangkan, suatu gejala masyarakat dapat dikatakan kultus memiliki ciri-ciri yang menurutnya bisa dikenali.

“Seperti pemusatan ketaatan kepada seorang pemimpin karismatik, gaya ketaatan yang eksesif dan fanatis, sikap eklusif dan tertutup, pandangan anti-sosial dan adanya janji keselamatan yang mudah, sederhana dan langsung,” ungkapnya.

Secara struktural, Syamsul mengatakan, sumber perilaku kultus adalah dari lenyapnya pandangan kosmik yang menyatukan antara manusia dengan lingkungannya.

Selain itu, kemunculan teknologi dinilai menghancurkan gagasan tentang suatu alam raya sakramental dan agama menjadi penghubung antara individu dengan Tuhan. “Dengan menyingkirkan kosmos dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan.”

Secara umum, ia menjelaskan lahirnya kultus dilatarbelakangi oleh krisis nilai dan norma moral sebagai akibat dari proses industrialisasi yang menggejala pada pandangan masyarakat Barat.

“Salah satu bentuk krisis itu ialah orientasi hidup masyarakat yang bercorak meterialis, individualis serta mempunyai kecenderungan pada pola konsumtif,” imbuhnya.

Hal ini terjadi karena didominasi oleh budaya kerja masyarakat yang acuannya serba rasional, terikat pada prosedur dan aturan ilmu yang ketat.

Sebagai efek dari dehumanisme, Syamsul mengatakan, proses industrialisasi dan rasionalisasi masyarakat, secara natural sebagai upaya menghilangkan kegelisahan dan kegamangan hidup.

“Mereka berusaha memanipulasi alam raya serta kekuatan supranatural dengan mengadakan upacara ritual, mistik kultus yang disebut dengan religion action,” tandasnya. 

Kepercayaan Tuhan YME Tak Mengenal Kultus

Direktur Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sjamsul Hadi menuturkan, di dalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada istilah pengkultusan pada seseorang atau sekelompok orang.

“Kepercayaan Tuhan YME tidak mengenal sikap pengkultusan individu atau kelompok,” ujarnya kepada Asumsi.co melalui pesan singkat, Selasa (13/4/21).

Ia menambahkan, kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan bentuk pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan.

“Hal ini, berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal,” jelasnya.

Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME, lanjutnya, merupakan setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan YME.

“Sehingga, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bukanlah bagian dari pemahaman aliran. Sementara, sikap kultus lebih kepada perilaku atau tindakan yang dilakukan manusia,” tegasnya. 

Sjamsul menerangkan istilah aliran, muncul sejak dulu seiring semakin banyaknya sempalan dari agama-agama yang ada di Indonesia dan berbagai negara lainnya.

“Maka istilah aliran itu juga terdampak juga pada kepercayaan terhadap Tuhan YME, padahal maknanya berbeda,” kata dia, menutup.

Share: Pangeran Phillip Disembah Bak Dewa di Pulau Tanna: Kenapa Bisa Sampai Ada Pengkultusan di Masyarakat?