Budaya Pop

Ospek, “Orientasi” Untuk Siapa?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Di Indonesia, masa ospek untuk mahasiswa baru merupakan suatu hal yang lazim diadakan dan dianggap perlu oleh sebagian besar orang. Sayangnya, ketika mendengar kata “orientasi”, yang biasanya muncul di benak kita adalah tekanan dan tugas-tugas yang sebenarnya kurang sesuai dengan tujuan tersebut. Ospek, yang seharusnya menjadi masa ‘berkenalan’, justru menjadi masa-masa yang paling menyulitkan. Tentunya, ada banyak hal yang bisa dibongkar di balik langgengnya ospek di Indonesia ini. Asumsi.co akhirnya mencoba mengkaji dan berbincang langsung dengan panitia pelaksana ospek FISIP UI dan President University.

Realisasi Disciplinary Power dan Governmentality dalam Ospek

Ospek acap kali dilakukan dengan tujuan: sebagai wadah untuk mahasiswa baru mengenal lingkungan kampus barunya. Dari tujuan ini, terlihat bahwa ospek seolah-olah menempatkan kepentingan yang terorientasi di atas segala-galanya. Tapi, apa iya? Kenyataannya, ospek justru lebih sering menjadi ladang subur bagi para senior untuk melimpahkan segala dendamnya ketika dahulu menjadi “objek” masa pengenalan ini. Senior menempatkan diri seolah menjadi yang berkuasa dan mahasiswa baru hanya menjadi objek yang harus menuruti seluruh kata-kata senior. Ospek diharapkan dapat membentuk pribadi junior yang taat dan patuh pada senior. Jika tidak menuruti, akan ada punishment atau sanksi yang diberikan pada junior tersebut.

Berkaca dari stereotip ospek yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, ospek telah menjadi realisasi dari argumentasi Michel Foucault dalam konsep Disciplinary Power dan Governmentality. Discplinary power sendiri adalah argumentasi Foucault (1979) yang menyatakan bahwa ada sebuah kekuatan yang dimiliki dan dijalankan oleh yang berkuasa pada yang terkuasa sehingga yang terkuasa dapat bertindak sesuai dengan keinginan yang berkuasa. Ospek dapat menjadi perwujudan nyata dari argumentasi Foucault tersebut.

Tidak sampai pada disciplinary power saja, ospek juga dapat menciptakan governmentality pada mahasiswa baru. Governmentality ini adalah sebuah sikap/mentalitas yang dimiliki oleh seseorang dan dilakukan secara tidak sadar karena telah menjadi kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Ospek, lebih jauh dari hanya sebuah realisasi disciplinary power dengan sanksi, justru dapat membuat mahasiswa baru tidak sadar bahwa tindakan yang ia lakukan telah dipengaruhi keinginan para senior, khususnya yang masuk dalam kepanitiaan ospek. Sesederhana lebih memilih kantin A daripada kantin B pasca ospek, karena selama ospek dilarang untuk menggunakan kantin B, menjadi perwujudan sifat governmentality tersebut.

Jika menilik menggunakan analisis Foucault ini, terlihat bahwa pelaksanaan ospek menjadi salah sasaran dan justru membawa kepentingan para senior, alih-alih para mahasiswa baru. Meskipun begitu, yang perlu digarisbawahi adalah ospek yang digunakan sebagai contoh di atas adalah ospek yang sifatnya mengatur dan menekan. Jika ospek di kampus kalian tidak seperti ini, bersyukurlah.

Ospek Masa Kini: Idealnya Seperti Apa?

Untuk mengetahui bentuk-bentuk ospek yang dilakukan saat ini (dan agar tidak berbicara mengenai stereotip yang beredar saja), Asumsi.co pun berbicara langsung dengan Luthfi Amri, selaku ketua ospek FISIP UI yang juga dikenal dengan nama PSAK (Pengenalan Sistem Akademik dan Kemahasiswaan) FISIP UI 2018, dan Jonathan Alfa, mentor bagi mahasiswa baru dalam PSAK FISIP UI 2018.

Membuka pembicaraan, Luthfi menyatakan bahwa ospek yang kini ia pimpin benar-benar berusaha menjauhkan ospek dari gambaran mencekam dan penuh kekerasan. Dalam menjalankan ospeknya tahun ini, ia berangkat dari kritik bahwa ospek selalu erat dengan kekerasan karena ada narasi kolektif (seperti narasi solidaritas) yang dibangun. Hal ini membuat seseorang yang seharusnya tidak salah, menjadi ikut-ikutan salah. Parahnya lagi, ini narasi kolektif ini justru menormalisasi kekerasan tersebut.

“Kritik gue kenapa kekerasan itu terjadi karena ga adanya pengakuan identitas individu, jadi kekerasannya secara otomatis bakal ternormalisasi kaena apa-apa didasari atas kepentingan kolektif,” ujar Luthfi untuk Asumsi.co.

Selain itu ia juga mengkritik ospek yang penuh dengan kekerasan karena dapat berdampak panjang pada realitas yang dibangun oleh mahasiswa baru. Meskipun marah-marah bohongan, kritiknya adalah realitas yang terbangun bisa jadi nyata dan justru mendistorsi realitas mahassiwa baru.

“Terus pelaksanaan kekerasan juga dinormalisasi atas asas-asas yang sifatnya ‘kan cuma pas rangkaian itu doang, kan ini boongan, kan ini drama doang’, tapi pertanyaan gue, kalau pelaksanaannya fake tapi dampaknya real gimana? Kayak hyperreality gitu,” lanjut Luthfi.

Berangkat dari kritiknya terhadap narasi kolektif, ia pun kini membawa nilai agensi pribadi dalam ospek yang dipimpinnya. Ia tidak memaksa untuk mahassiwa baru mengikuti kegiatan A atau B. Ia memberikan kebebasan untuk mahasiswa baru memilih kegiatan yang diberikan. Jika tidak ada juga yang berkenan, mahasiswa baru boleh untuk tidak memilih sama sekali. Meskipun ada kebebasan, Luthfi juga menekankan bahwa tetap akan ada konsekuensi untuk setiap pilihan. Bedanya, konsekuensi ini akan diganjar secara pribadi, alih-alih kolektif.

“Kalau secara umum itu, nilai yang dibawa sebenarnya (dalam PSAK FISIP UI 2018) masalah agensi pribadi, jadi poinnya di mana tiap-tiap mahasiswa baru sebenarnya punya kebebasan untuk memilih, nah kebebasan untuk memilih itu sebenernya diturunin, ketika lo bebas memilih, lo bebas untuk tidak memilih, dan ketika memilih pilihan lo itu, lo terikat juga, jadi ga sepenuhnya bebas, jadi lo terikat sama konsekuensi lo itu,” ungkap Luthfi.

Ia pun merasa bahwa mahasiswa baru FISIP 2018 yang mengikuti PSAK FISIP UI 2018 memiliki peran besar terhadap acara. Sebelum acara dimulai, para mahasiswa baru telah diberikan survey minat dan bakat, sehingga acara dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan mahasiswa baru.

“Dari awal kegiatan, PSAK tahun ini dirancang untuk memfasilitasi pilihan-pilihan mahasiswa baru, bentuk acara yang kita provide juga berdasarkan survey minat dan bakat, di acara pun mereka dihadapi beberapa pilihan, lo mau acara yang mana, atau mau gak ikut acara sama sekali,” ucap Luthfi.

Untuk mahasiswa yang dianggap melakukan kesalahan pun, bentuk konsekuensi tidak seperti stereotip ospek yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Punishment yang diberikan berupa esai refleksi terkait kesalahan tersebut dan panitia dapat memberikan umpan balik mengenai baiknya seperti apa.

“Mungkin punishment nya bukan kayak fisik atau dibentak-bentak gitu, gaada sih, tapi yaudah jadi kayak mereka cuman disuruh nulis refleksi di catatan anak FISIP mereka, terus kalo misalkan mereka masih melakukan hal tersebut, mereka buat semacam esai dan nanti akan ada feedback gitu dari gue dan panitia lain gitu,” tutup Luthfi.

Selain berbicara dengan Luthfi selaku ketua ospek, Asumsi.co pun turut berbicara dengan Jonathan selaku mentor yang menjadi jembatan dari panitia ke mahasiswa baru. Menurut Jonathan, peran mentor dalam ospek yang partisipatoris seperti PSAK FISIP UI 2018 ini sangat vital.

“Mentor tuh sebenarnya menurut gue garda terdepannya PSAK, untuk komunikasi dua arah dari panitia dan peserta, karena pesertanya atau mentee-nya akan lebih terbuka sama PSAKnya,” ujar Jonathan ketika dihubungi Asumsi.co.

Ketika ditanya secara spesifik, peran mentor yang paling utama adalah tentu memahami mahasiswa baru yang amat beragam. Terlebih, dengan menekankan agensi pribadi, mentor harus dapat memahami kebutuhan masing-masing mahasiswa baru yang menjadi mentee-nya.

“Kalo secara jobdesk, harus lebih bisa memahami itu semua, pada intinya anak fisip itu beragam, dia harus bisa paham dan memberikan agensi pribadi itu masing-masing,” ungkap Jonathan.

Ketika ditanya apakah PSAK ini sudah ideal sebagai sebuah orientasi, dengan bentuk yang lebih partisipatoris dan minim tekanan, Jonathan setuju. Menurutnya, PSAK kali ini sudah cukup ideal, karena dapat menyediakan kebutuhan yang beragam, tanpa harus penyeragaman.

“Sebagai perkenalan, PSAK udah cukup ideal, in essence dia (PSAK) tuh bisa memperkenalkan bahwa FISIP itu beragam, dia enggak maksa misalnya anak fisip itu harus IP-nya bagus, atau kastrat banget, itu kita berikan keperluan yang dibutuhkan oleh masing-masing maba (mahasiswa baru),” ujar Jonathan.

Di sisi lain Asumsi.co juga berkesempatan untuk berbicara dengan Vina Sanchia Arimbi, ketua pelaksana Student Orientation President University 2018. Orientasi yang dilaksanakan oleh President University ini sendiri dilakukan selama 7 hari, dengan total jumlah mahasiswa baru sebesar 1050 orang.

Berbeda dengan Luthfi yang membawa gagasan agensi pribadi dalam PSAK FISIP UI 2018, Vina menyatakan bahwa orientasi yang dilakukan oleh President University masih menekankan pentingnya solidaritas dalam nilai-nilai orientasi yang ia pimpin. Terlalu individualistisnya anak zaman sekarang menjadi alasan mengapa Vina mengapa memilih untuk fokus ke solidaritas.

“Jadi kalau untuk orientasi tahun ini kami fokus ke solidarity, soalnya yang kami lihat, anak2 jaman sekarang lebih individualistis gitu kak, jadi di sini kami mau bangkitin lagi rasa kerja sama mereka, jadi ketika mereka kerja pun koneksinya lebih luas,” ujar Vina untuk Asumsi.co.

Salah satu hal yang menarik dari penjelasan Vina adalah terkait punishment yang diberikan untuk para peserta orientasi. Vina menjelaskan bahwa ia lebih suka menggunakan istilah ‘komitmen’. Selain untuk memperhalus, ia meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh para mahasiswa baru harus dapat dipertanggungjawabkan.

“Kalau kita dalam orientasi ini nyebutnya bukan punishment tapi komitmen, karena kalau misalnya punishment kayak bullying, tapi kita komitmen, karena apa yang lo lakuin bakal lo tuai,” ujar Vina.

Terkait bentuknya itu sendiri, Vina menyatakan bahwa bentuknya adalah komitmen fisik ringan.

“Bentuknya komitmen fisik ringan,” tutup Vina.

Dari dua orientasi ini, terlihat bahwa definisi untuk ‘mengajarkan’ dan ‘memperkenalkan’ kehidupan kampus kepada mahasiswa baru masih amat beragam. Apakah tetap bertahan dengan cara lama atau mencoba konsep baru kembali pada pilihan masing-masing? Yang jelas, jangan sampai kepentingan mahasiswa senior justru mendahului kepentingan utama dari pelaksanaan orientasi: membantu mahasiswa baru berkenalan dengan kehidupan kampusnya.

Share: Ospek, “Orientasi” Untuk Siapa?