Isu Terkini

Nggak Cuma Indonesia, Negara-negara Ini juga Sedang Dihantam Undang-undang Kontroversial

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Di Indonesia, Omnibus law RUU Cipta Kerja ditolak beramai-ramai oleh serikat buruh, pengamat ekonomi, hingga aktivis lingkungan karena dinilai terlalu berpihak kepada investor dan meminggirkan kepentingan rakyat.

Mimpi buruk atas terbitnya undang-undang yang mengabaikan kepentingan rakyat bukan hanya dirasakan oleh warga negara Indonesia. Sejumlah negara lain juga sedang memproses berbagai kebijakan yang dapat mengancam hak-hak warga, mulai dari kebebasan berekspresi hingga keselamatan.

Tengoklah negara tetangga Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte yang hendak mengesahkan Undang-undang Anti-Teror. UU ini dinilai justru akan menjadi teror bagi warga Filipina. Begitu pula Cina yang telah mengesahkan Undang-undang Keamanan Nasional yang disinyalir akan mengakhiri otonomi Hong Kong. Sementara itu, Israel hendak mengklaim atau menganeksasi wilayah Tepi Barat yang akan membuat warga Palestina semakin terpojokkan.

Apa saja isi dari setiap undang-undang atau kebijakan tersebut dan bagaimana implikasinya ke kehidupan masyarakat di masing-masing negara?

Undang-undang Anti-Teror Filipina

Krisis ekonomi dan kesehatan akibat COVID-19 menghantam Filipina, tetapi pemerintah dikatakan telah diam-diam mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang Anti-Teror. RUU ini telah disahkan oleh anggota DPR, dan kini tinggal menunggu ditandatangani oleh Presiden Rodrigo Duterte.

Walaupun pemerintah menyatakan tujuan RUU ini adalah “memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi rakyat dari ancaman terorisme dan melindungi hak-hak mereka yang dituduh melakukan kejahatan,” tetapi lain halnya yang ditulis di atas kertas.

Terorisme dan pelaku terorisme punya definisi samar dalam RUU ini—sehingga dikhawatirkan dapat menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan sikap kritis terhadap pemerintah. Dalam RUU ini, terorisme didefinisikan ulang sebagai siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap struktur sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat. Setiap orang yang dianggap berpotensi memantik kerusuhan dan mengajak orang lain untuk turut serta dapat dikriminalisasi lewat RUU ini.

Persoalannya, terlepas dari definisinya yang ambigu, Filipina di bawah kepemimpinan Duterte kerap menangkap hingga membunuh orang atas nama “perang melawan narkoba”. Tanpa melalui proses hukum, lebih dari 8.600 nyawa telah melayang—termasuk di antaranya anak kecil, mahasiswa, jurnalis, dan pembela HAM. Ada pula yang memperkirakan jumlah sebenarnya tiga kali lipat lebih besar dari itu. Sementara itu, pelakunya sendiri hampir tak pernah diadili.

Jika RUU ini disahkan, orang yang diduga teroris dapat ditahan hingga 60 hari tanpa polisi perlu menunjukkan surat penangkapan. Ada pula kewenangan untuk melakukan pengawasan selama 60 hari secara digital seperti lewat internet, ponsel, dan komputer. Jika telah divonis bersalah, setiap orang yang mengusulkan, bersekongkol, dan berpartisipasi dalam “serangan teroris” akan dihukum penjara seumur hidup. Begitu pula setiap orang yang merekrut dan menjadi pendukung aktif dari organisasi teroris. Orang-orang yang mengancam melakukan tindakan terorisme atau menjadi kaki tangan organisasi juga ikut mendapat hukuman.

Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, telah mengimbau Duterte untuk tidak menandatangani RUU ini—yang dikatakan telah “mengaburkan perbedaan antara kritik, kriminalitas, dan terorisme”, memiliki “efek mengerikan terhadap hak asasi manusia,” dan dapat semakin meminggirkan komunitas rentan serta aksi-aksi kemanusiaan.

“Saya mendesak Presiden untuk menahan diri dari menandatangani undang-undang ini dan berkonsultasi lebih lanjut untuk dapat menyusun undang-undang yang efektif mencegah dan melawan ekstremisme dan kekerasan, tetapi juga memastikan adanya perlindungan terhadap orang yang melakukan kritik damai dan advokasi,” ujar Bachelet, dikutip dari Inquirer.net.

Undang-undang Keamanan Nasional Hong Kong

Cina baru saja mengesahkan Undang-undang Keamanan Nasional yang dikatakan turut menghapus otonomi Hong Kong. Mulai berlaku pada 30 Juni lalu, undang-undang ini dikhawatirkan akan melanggar hak kebebasan berekspresi dan keselamatan warga Hong Kong. Ada pula yang khawatir independensi sistem peradilan Hong Kong akan terkikis. Undang-undang ini juga dikatakan “memaksakan sistem hukum Cina ke Hong Kong” dan disebut sebagai “akhir dari Hong Kong.”

Isi UU ini dirahasiakan hingga ketika disahkan, dan hanya segelintir orang yang dikatakan punya kesempatan untuk melihat teks lengkap UU. Pasal 66 menyebutkan bahwa segala tindakan atau upaya untuk memisahkan diri dari negara, melakukan pemberontakan, melakukan tindakan terorisme, dan berkolusi dengan pihak asing atau eksternal dapat dihukum penjara seumur hidup. Orang yang dicugai melanggar hukum dapat disadap dan diawasi, dan merusak transportasi umum dikatakan termasuk dalam tindakan terorisme.

Beijing juga akan mendirikan kantor keamanan di Hong Kong dan kantor ini punya kewenangan untuk mengirim sejumlah kasus untuk diadili di Cina. Selain itu, Beijing juga punya kekuasaan untuk menafsirkan hukum. Jika hukum di Cina bertentangan dengan Hong Kong, maka hukum Cina yang akan berlaku atau diprioritaskan. Hukum ini juga akan berlaku bagi penduduk non-permanen dan orang-orang dari luar Hong Kong yang sedang berada di sana.

Pihak internasional turut buka suara merespons pengesahan UU ini. Perdana Menteri UK Boris Johnson mengatakan warga Hong Kong punya kesempatan untuk berpindah kewarganegaraan ke Inggris. Warga Hong Kong yang lahir sebelum 1997—waktu sebelum Inggris membuat kesepakatan untuk menyerahkan Hong Kong ke Cina—memilliki hak untuk memiliki paspor British Nartional Overseas (BNO) dan nantinya dapat mengajukan kewarganegaraan Inggris. Artinya, sekitar 3 juta orang warga Hong Kong punya kesempatan untuk pindah warga negara.

“Berlakunya Undang-undang Keamanan Nasional merupakan pelanggaran serius terhadap Deklarasi Bersama Cina-Inggris,” ujar Johnson, dikutip dari qz.com, merujuk pada perjanjian pada 1984 antara Inggris dan Cina terkait masa depan Hong Kong. “Undang-undang ini melanggar otonomi Hong Kong dan bertentangan dengan hukum dasar Hong Kong. Undang-undang ini juga mengancam kebebasan dan hak-hak lain yang dilindungi oleh deklarasi bersama.”

Aneksasi Wilayah Tepi Barat oleh Israel

Israel hendak mengklaim dan menduduki permukiman di kawasan Tepi Barat yang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 2,5 juta warga Palestina.

Dikecam dan ditolak keras oleh warga Palestina, rencana aneksasi ini dikatakan berpotensi membuat warga Palestina kehilangan berbagai sumber penghidupan, seperti tanah, lahan pertanian, hingga sumber daya air. Rencana ini dikatakan dapat semakin memojokkan warga Palestina  dan merampas sumber pendapatan mereka. “Lahan diambil alih, dan dalam prosesnya warga Palestina akan diusir,” kecam Menteri Agrikultur Palestina Walid Assaf.

Wilayah Tepi Barat yang akan dianeksasi dilaporkan adalah sebesar 30%, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga sempat berkata akan memulai aneksasi 3% wilayah terlebih dahulu. Berapapun jumlahnya, Palestina menolak rencana aneksasi dan mengklaim hak terhadap seluruh wilayah Tepi Barat yang punya nilai historis bagi mereka. Palestina pun menilai aneksasi akan membuat wilayah mereka akan semakin terpecah-pecah hingga tak memiliki cukup tanah sebagai negara.

Pemerintah Israel sempat mengatakan akan menunda rencana aneksasi ini hingga pandemi COVID-19 berakhir, tetapi pembahasan rencana ini tetap dilakukan pada 1 Juli lalu—membuat warga Palestina melakukan aksi protes di Ramallah. Mereka menyerukan, “down, down with the occupation” dan menyatakan akan terus melakukan perlawanan hingga mereka bebas sepenuhnya.

PBB dan Uni Eropa turut mengecam rencana Israel yang dikatakan dapat mengancam cita-cita perdamaian antara Israel dan Palestina. Hukum internasional pun telah secara tegas melarang suatu negara untuk melakukan penambahan atau penaklukan wilayah. Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menilai pendudukan ini “ilegal” dan memperingatkan konsekuensinya yang berbahaya. “Aneksasi adalah tindakan ilegal. Titik. Terlepas dari apakah itu 30% atau 5% dari Tepi Barat,” ujar Bachelet, mendesak Israel untuk mendengarkan kritik internasional dan memperingatkan untuk tidak melanjutkan rencana ini.

Share: Nggak Cuma Indonesia, Negara-negara Ini juga Sedang Dihantam Undang-undang Kontroversial