General

Narasumber Dipidanakan, ke Depan Tak Ada yang Mau Bicara ke Media

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani menilai ancaman kriminalisasi terhadap narasumber sebuah berita jika terus menerus terjadi akan menimbulkan chilling effect. Efek tersebut berdampak terhadap masyarakat atau pejabat lembaga publik yang enggan berkomentar karena takut terkena kriminalisasi.

“Tantangan besar dunia jurnalistik saat makin bertambah. Kondisi saat ini tidak lebih baik ketika seorang narasumber dipidana. Jadi ada banyak ancaman yang serius dan kebebasan pers tidak semakin maju,” kata Asnil saat dihubungi via telepon, Jumat (7/12/2018).

Sebelumnya, akhir-akhir ini terjadi fenomena kriminalisasi terhadap narasumber yang terjadi terhadap Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi.

Kasus Farid bermula ketika dirinya menanggapi turnamen tenis yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) MA yang dimuat di Harian Kompas pada 12 September 2018 dengan judul artikel “Hakim di Daerah Keluhkan Iuran”.  Tanggapan Farid tersebut dinilai sarat dengan tuduhan bahwa MA telah melakukan pungutan liar (pungli) sehingga 64 hakim MA melaporkannya ke kepolisian dengan dugaan kasus pencemaran nama baik.

Hingga saat ini, Farid sudah dipanggil kepolisian sebagai saksi hingga dua kali, terakhir pada 5 Desember 2018.

Maka dari itu, menurut Asnil, jika kasus Farid terus berlanjut di ranah kepolisian dan tidak dijadikan sebagai sengketa pers, maka akan terjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.

Adapun berdasarkan data dari Reporter Without Borders For Press Freedom tahun 2017, Indonesia menempati urutan 124 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers. Artinya, kebebasan pers di Tanah Air sebenarnya meningkat walaupun tidak signifikan karena pada tahun 2016 Indonesia menempati peringkat 130.

“Yang jelas jika ini dibiarkan, maka akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi omonganya . Bahkan, tidak mau diwawancara dan akan mengancam kerja-kerja jurnalisme juga,” tegasnya.

“Masyarakat juga jadi takut bersuara di media. Media pun akan kehilangan narasumber dan jadi berhati-hati.”

Senada dengan Asnil, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menyatakan, efek kriminalisasi juga berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi. Sebab, narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi publik menjadi terabaikan.

“Ketika narasumber dipidana atau dikriminalisasi, artinya membunuh pers itu sendiri. Pelaporan dari kriminalisasi ini adalah serangan terhadap pers dan demokrasi,” ucap Ade yang dihubungi via telepon, Sabtu (8/12/2018).

Bersinergi

Ade juga meminta kepolisian dan Dewan Pers untuk aktif berkomunikasi dalam menyelesaikan sengketa pers agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap narasumber dalam sebuah berita.

“Kepolisian dan Dewan Pers harus bekerja sama menjaga kebebasan pers dan hak informasi masyarakat dalam ruang demokrasi. Kasus-kasus model kriminalisasi jangan sampai terulang lagi,” katanya.

Menurut Ade, kasus Farid tersebut seharusnya diselesaikan sesuai dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan tidak tepat jika narasumber dipidanakan dalam sebuah sengketa pers.

“Ketika ada masalah, bukan diselesaikan pada proses pidana. Ketika sebuah karya jurnalistik dinilai merugikan salah satu pihak, ya jelas pakai UU Pers yang berlaku melakui hak koreksi dan hak jawab,” paparnya.

Berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal (1) Ayat (11) dan (12), terdapat ketentuan umum yang menyatakan bahwa hak setiap orang atau kelompok untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang merugikan nama baiknya sebagai hak jawab. Adapun hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliriuan informasj yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain.

“Dalam kasus Jubir KY ini, jika ada yang merasa dirugikan oleh tanggapanya, maka mereka cukup membalas tanggapan itu dengan tulisan. Tulisan dibalas dengan tulisan, bukan tulisan dibalas dengan pidana,” geramnya.

Maka dari itu, Ade menyarankan, lebih baik kepolisian, KY, dan Kompas melakukan gelar perkara terhadap kasus tersebut. Sehingga, muncul sebuah opini-opini baru yang menjadi dasar untuk tidak meneruskan kasus tersebut dalam ranah pidana.

“Saat ini belum ada komunikasi yang bagus antara Dewan Pers dengan penyidik dalam menangani kasus ini. Saya yakin ini akan selesai di proses sengketa pers,” imbuh Ade kemudian.

Selain itu, Ade juga menuntut pihak kepolisian, terutama penyidik, untuk mengetahui UU Pers yang berlaku secara komprehensif. Pasalnya, dalam kasus ini, narasumber adalah bagian dari proses jurnalistik yang tidak bisa dipisahkan.

“Pemahaman seperti ini harus diketahui juga oleh penyidik kepolisian bahwa dalam hal apapun terkait produk jurnalistik, itu harus berkonsultasi dengan Dewan Pers,” ujarnya.

Berani Bersuara

Di sisi lain, pers di Indonesia diminta untuk bersuara dalam setiap kasus dugaan kriminalisasi terhadap narasumber untuk setiap produk jurnalistiknya. Hal itu bertujuan agar penyelesaian sengketa pers yang dipidanakan bisa selesai di ranah Dewan Pers, bukan kepolisian.

Ade menyatakan, pers di Indonesia, dalam konteks ini Harian Kompas , diminta aktif bersuara dalam kasus kriminalisasi narasumbernya. Salah satunya bisa meminta perlindungan dari Dewan Pers.

“Minta perlindungan Dewan Pers karena mereka memiliki mandat melindungi pers di Indonesia. Pers harus akrif karena itu narasumbernya,” ucap Ade

Tapi di luar itu, lanjut Ade, sebenarnya pers juga bisa melalui cara lain dalam menyelesaikan sengketa pers yang telah dipidanakan selain meminta perlindungan dari Dewan Pers. Contohnya melalui kedekatan kultural dengan memanfaatkan hubungan baik antara pers dengan lembaga yang bersangkutan.

“Karena sebenarnya media itu punya kedekatan sendiri dengan lembaga publik, seperti kepolisian, penyidik, dan lainnya. Jadi, melalui pendekatan kultural tersebutlah didiskusikan permasalahanya,” ujar Ade.

Share: Narasumber Dipidanakan, ke Depan Tak Ada yang Mau Bicara ke Media