Ada persoalan penting yang luput dalam perbincangan riuh tentang komposisi kabinet baru hari-hari ini. Kita kelewat fokus pada hilir-mudik bakal calon menteri, sehingga lupa memikirkan masa depan salah satu aset kultural terpenting nusa dan bangsa. Benar, saya sedang membicarakan Elek Yo Band.
Itulah orkes musik yang beranggotakan para menteri Kabinet Indonesia Kerja: Triawan Munaf (Kepala Badan Ekonomi dan Industri Kreatif/keyboard), Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan/bass), Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan/gitar dan vokal), Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri/vokal), Sri Mulyani (Menteri Keuangan/vokal), serta Basuki Hadimuljono (Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat/drum).
Seperti Avengers dan Nine Inch Nails, kelompok ini pun memiliki riwayat istimewa. Atas prakarsa Basuki, Elek Yo Band dibentuk sebagai bintang tamu spesial pernikahan anak Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dalam formasi awal tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pun sempat bergabung.
Dengan riang, mereka memainkan tembang-tembang klasik pos ronda seperti “Ku Tak Bisa” dan “Balikin” karya Slank serta “Rumah Kita” karya Godbless. Lagu paling istimewa jelas yang dipesan secara pribadi oleh Presiden Joko Widodo: “Bento” karya Iwan Fals. Saya kira, Armando Ianucci sekalipun bakal jatuh terduduk kalau mendengarnya.
Bila sepak terjang orkes ini dipampangkan dalam film, niscaya hasilnya lebih dramatis ketimbang This Is Spinal Tap. Kepada media, Hanif Dhakiri mengaku bahwa Elek Yo Band hanya dapat latihan seusai rapat kabinet. Tarif mereka pun “sangat mahal”, sebab manajer mereka bukan orang biasa. Siapakah dia? Menurut Hanif, tak lain dari Presiden Jokowi sendiri.
Selama lima tahun, para menteri dan pejabat setingkat menteri ini menyediakan penghiburan bagi kita semua. Mereka pernah, misalnya, naik panggung festival jazz mentereng Java Jazz 2018. Namun, sayang seribu sayang, kini bahaya perpecahan mengintai. Setelah pelantikan menteri-menteri baru, Triawan Munaf dan Hanif Dhakiri tak lagi punya status yang sama. Band mana yang tak lesu darah bila kehilangan dua personel kuncinya?
Saudara-saudara sekalian, jangan putus harapan. Dengan mempertaruhkan kredibilitas sebagai orang dalam dunia musik Indonesia, saya menyatakan bahwa Elek Yo Band hanya butuh satu personel baru: Nadiem Makarim.
Eks-CEO Gojek Indonesia ini baru saja dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Pendidikan Tinggi. Meski isu pengangkatan Nadiem sudah berembus sejak lawatannya ke Istana Negara hari Senin (21/10) lalu, kabar tersebut baru dipastikan pagi tadi. Pemilihan Nadiem Makarim–bekas bos start up yang belum pernah bekerja di bidang pendidikan–tentu mengundang pro-kontra. Namun, saya yakin, Jokowi memilih Nadiem mengemban pos tersebut berdasarkan alasan penting.
Seperti dilansir akun media sosial resmi Sekretariat Kabinet, Nadiem bertugas menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang “siap kerja” dan melanjutkan program “link and match” antara institusi pendidikan dengan industri. Dalam wawancaranya dengan media di hadapan Istana Negara pasca pengambilan sumpah, Nadiem sendiri berpendapat bahwa ia terpilih “karena saya bisnisnya di bidang masa depan dan mengantisipasi masa depan”, sehingga ia dinilai mampu menyelaraskan haluan pendidikan Indonesia dengan kebutuhan global di era mendatang.
Dalam konteks lebih luas, langkah ini memang sejalan dengan visi pemerintahan 2019-2024 yang diutarakan Jokowi dalam pidato pelantikannya. Indonesia, tutur beliau, harus keluar dari “perangkap penghasilan kelas menengah” dan menjadi anggota lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045.
Pengembangan sumber daya manusia adalah langkah kunci dalam sasaran ambisius ini. Dengan menempatkan seorang pebisnis sukses sebagai Mendikbud, penengah kepentingan pendidikan dengan industri, Jokowi terang-terangan menjabarkan visinya untuk generasi muda Indonesia di masa mendatang.
Arahan ini sebetulnya bukan barang baru. Perbincangan ihwal link and match–salah satu tugas utama Nadiem–sempat menjadi sorotan publik saat debat Calon Wakil Presiden pada Maret 2019 lalu. Kala itu, baik Cawapres Nomor Urut 01 Ma’ruf Amin maupun Cawapres Nomor Urut 02 Sandiaga Uno sama-sama membahas link and match sebagai tawaran solusi untuk problem pengangguran anak muda.
Tentu, kengototan pemerintah soal link and match tak luput dari kritik. Akademisi Universitas Gadjah Mada Sukamdi, misalnya, mengatakan bahwa “konsep link and match antara kedua sektor menafikkan bahwa sektor pendidikan memiliki fungsi ideal untuk mencerdaskan bangsa, bukan sekadar memenuhi kebutuhan dunia usaha dan memproduksi mur bagi mesin-mesin ekonomi.”
Bukan tanpa alasan pemerintah bersikeras meninggikan kepentingan bisnis di sektor pendidikan. Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi pada periode pertama meleset, dan ekonomi Indonesia cenderung stagnan. Banjir Undang-Undang dan Revisi Undang-Undang yang sempat bikin heboh tempo hari secara tidak langsung disebabkan oleh tekanan ini. Revisi UU Ketenagakerjaan, misalnya, didorong habis-habisan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) karena mereka merasa UU Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku merugikan pengusaha dan investor.
Pasal-pasal menyangkut gaji, pesangon, dan kesejahteraan pekerja dianggap memberatkan pengusaha. Imbasnya, pelaku usaha dalam industri padat karya–yang bergantung pada buruh murah–ramai-ramai beralih ke industri yang berorientasi pada mesin. Padahal, menurut Apindo, kita memiliki banyak pekerja lulusan SD dan SMP yang mestinya diserap oleh industri padat karya untuk menjadi buruh pabrik, pekerja kasar, dan lain sebagainya.
Kepada media, Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani memperingatkan bahwa dewasa ini Indonesia mulai kalah bersaing dengan Vietnam, Myanmar, Bangladesh, hingga Kamboja. Tentu, Hariyadi tidak menjelaskan bahwa negara-negara yang ia sebut dikenal sebagai sentra buruh murah yang sering menjadi korban eksploitasi serta kondisi kerja tak layak.
Dalam euforia pasca-pelantikan, kita barangkali lupa bahwa hukum yang dikritik bertubi-tubi akibat dianggap berat sebelah ini nyaris lolos menjadi Undang-Undang. Salah satu proponen paling keras RUU ini? Sudah tentu Hanif Dhakiri, eks-Menteri Ketenagakerjaan sekaligus gitaris andalan Elek Yo Band.
Lantas, apa hubungan semua ini dengan Nadiem Makarim?
Kita mungkin berjengit menyaksikan para pemodal industri padat karya terang-terangan menyoraki RUU yang memangkas perlindungan terhadap buruh. Namun, seremuk-remuknya kondisi kerja para buruh pabrik saat ini, mereka masih bisa membentengi diri dengan sedikit perlindungan. Hal yang sama tidak berlaku untuk jutaan “mitra” yang saat ini menjadi tulang punggung Gojek, perusahaan Nadiem.
Eksploitasi struktural dan Gojek adalah pasangan setia seperti mentega dan roti, seperti tabiat seseorang dan zodiaknya. Dalam tulisannya yang diterbitkan The Conversation, Aulia Nastiti menulis bahwa perusahaan seperti Gojek “berhasil mendikte pengemudi, dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara.” Melalui ketimpangan akses dan kuasa, perusahaan memaksa pengemudi mempertaruhkan nyawa di jalan selagi “mengeliminasi hak-hak pengemudi sebagai pekerja sekaligus membebankan biaya dan risiko kepada mereka.”
Karena para sopir adalah “mitra”, bukan pekerja, Gojek terbebas dari berbagai aturan yang mengikat perusahaan dengan pekerja. Gojek tidak menyediakan alat produksi, tidak menanggung risiko, serta tidak memberikan upah tetap. Relasi antara pekerja dengan perusahaan di sektor ini, tulis Made Supriatma di GeoTimes, tidak sama dengan di sektor padat karya seperti manufaktur. “Tidak ada asuransi kecelakaan. Perusahaan tidak bertanggung jawab atas alat produksi–pajak, pemeliharaan, dan penyusutan nilai kendaraan adalah tanggung jawab pekerja.”
Keburukan ini lestari sebab batasan hukum terkait transportasi daring amat tipis. “Peraturan Menteri Perhubungan mengenai transportasi online hanya mengatur hal-hal teknis seperti batas tarif uji kelayakan kendaraan untuk taksi online.” tulis Aulia. “Aturan ini pun dibatalkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung.” Menteri Perhubungan yang bersangkutan? Namanya Budi Karya Sumadi, pemain bass Elek Yo Band.
“Kebebasan” para driver pun sebatas ilusi. Ongkos kelewat rendah untuk menutupi pengeluaran dasar. “Mitra” bergantung pada bonus harian yang hanya dapat diraih lewat jumlah transaksi yang amat tinggi dan sistem rating secara manasuka oleh pelanggan. Penyerapan angkatan kerja oleh Gojek boleh saja menurunkan angka pengangguran, namun sebagai bagian dari gig economy, yang harusnya merupakan pekerjaan sementara atau sampingan, ia tak menjanjikan kesejahteraan.
Menulis untuk The Jakarta Post, akademisi Shah Suraj menyebut bahwa Gojek adalah “perangkap keterampilan”. Pasalnya, seorang driver Gojek tak dapat naik pangkat atau memperkaya keahliannya. Sampai kapan pun, kalau tak punya sumber pemasukan lain, keterampilannya hanya cukup untuk menjadi pengemudi Gojek. Dengan kata lain, ia bakal terus tersangkut dalam relasi tak seimbang.
Bagi Suraj, kondisi ini berkebalikan dengan pertumbuhan industri dan teknologi yang digambarkan ekonom Simon Kuznets. Semestinya, industri mendorong pertumbuhan sebab kerja industri membutuhkan keterampilan dan pendidikan lebih dari kerja pertanian. Namun, dengan adanya perusahaan gig economy yang bergantung pada pekerja berketerampilan rendah, pertumbuhan ini akan melamban.
Sederhananya: jika semua orang bisa jadi pengemudi Gojek atau buruh industri padat karya, dan pemerintah toh jor-joran memfasilitasi perusahaan-perusahaan semacam itu, buat apa kita mengembangkan sumber daya manusia? Toh yang dibutuhkan adalah pekerja dalam jumlah besar, murah, dan tidak banyak cakap. Bukan pekerja yang cerdas, punya daya kepemimpinan, dan visi cemerlang. Absennya insentif ekonomi dan politik untuk mengembangkan sumber daya manusia itu dapat berakibat fatal dalam jangka panjang.
Diakui atau tidak, Nadiem Makarim dan Gojek adalah bagian dari kultur eksploitatif ini. Perusahaannya tak sekali-dua kali diprotes akibat praktik kerja yang tak layak. Bahkan wacana penunjukkannya sempat menuai penolakan oleh asosiasi driver ojek online. Mereka menilai kebijakan-kebijakannya selama memimpin Gojek kelewat merugikan mitra. Apa yang akan terjadi bila Nadiem, dengan rekam jejak semacam ini, bertugas memimpin otoritas pendidikan di Indonesia dan mengembangkan sumber daya manusianya?
Penunjukkan Nadiem harus dipandang seiring dengan visi ekonomi Jokowi secara menyeluruh. SDM macam apa yang akan diciptakan Nadiem? Industri macam apakah yang harus di-”link and match” dengan SDM anyar kita? Kita patut khawatir bila generasi muda kita hendak digiring menuju masa depan padat karya-sepi makna oleh orang yang membangun kerajaan bisnis di atas tengkuk para pekerjanya.
Karena itulah, saya kira, Nadiem patut diangkat sebagai anggota baru Elek Yo Band.
Bayangkan, saudara-saudara. Ia akan satu orkes dengan Menteri PUPR, Menteri Perhubungan, dan Menteri Keuangan–semuanya figur kunci dalam upaya Jokowi melecut pertumbuhan ekonomi. Bila para personel band-band lain sibuk bertukar lelucon atau berandai-andai memiliki alat canggih saat nongkrong habis latihan, orkes yang satu ini akan bahu-membahu merancang masa depan bangsa.
Didorong gairah mengabdi, saya ingin menyampaikan usulan lagu-lagu lain yang kiranya sesuai untuk disamak oleh Elek Yo Band. Pilihan ini tidak mudah–saya mesti menyeimbangkan relevansi lirik dengan pekerjaan tiap personel, tantangan teknikal lagu tersebut, hingga sesuai-tidaknya lagu tersebut dengan program-program Jokowi.
Pertama, saya mengusulkan Elek Yo Band mengaransemen ulang “Work”, tembang Rihanna bersama Drake. Pengaruh kental genre dancehall serta beat menawan lagu tersebut dapat membikin heboh lantai dansa acara-acara formal sekalipun. Belum lagi liriknya, “Work, work, work, work, work, work”, yang sesuai dengan mantra pemerintah. Tak salah bila saya menilai lagu ini sungguh berjiwa Nawacita.
Sebagai tribut untuk masa lalu Nadiem Makarim di dunia transportasi, saya kira nomor The Brandals bertajuk “100 KM/Jam” amat menggoda, begitu pula karya pendatang baru Tarrrkam, “100 Juta Tenaga Kuda”. Namun, akhirnya pilihan saya jatuh pada karya Sodiq Monata, “Numpak RX King”. Apakah bunyi treng-teng-teng dalam lagu itu? Oh, sudah tentu jerit putus asa kelas pekerja.
Dalam semangat apropriasi ironis terhadap kemalasan revolusioner proletariat, saya mengusulkan “Smoko” karya The Chats. Lagu tersebut berkisah tentang perjumpaan sang narator dengan serangkaian abang-abang Australia yang malas diganggu lantaran sedang “smoko”–istilah mereka untuk “sebat”. Suatu hari nanti, ketika gig economy telah merajalela dan UU Ketenagakerjaan telah jadi kerempeng di bagian perlindungan terhadap pekerja, satu-satunya sumber kegembiraan adalah waktu yang singkat untuk sebat.
Berikutnya, saya pikir lagu “Career Opportunities” karya The Clash pas untuk dinyanyikan ulang Elek Yo Band. Elegi tersebut menggambarkan seorang pemuda yang terimpit di antara kemiskinan dan pekerjaan yang tak layak. “They offered me the office, offered me the shop,” nyanyi Joe Strummer. “They said I’d better take anything they’d got!” Misalkan Nadiem dkk. khawatir tak mampu mendaraskan semangat punk dengan paripurna, jangan khawatir, uelek yo ben. Jelek pun tidak apa-apa.
Saya tahu Elek Yo Band senang memainkan “Bento”. Barangkali, mereka tidak tahu bahwa ada satu lagi lagu Iwan Fals yang pas untuk mereka nyanyikan bersama: “Ujung Aspal Pondok Gede”. Saya bayangkan bapak Basuki Hadimuljono gantian mengambil alih tugas vokal di lagu ini, bernyanyi syahdu meratapi rumahnya yang ia gusur sendiri.
Nadiem Makarim tidak saja berprestasi, bertalenta, dan cemerlang luar biasa. Ia juga muda dan dapat memberikan suntikan tenaga segar bagi Elek Yo Band. Sebagai pimpinan perusahaan start up, pastilah ia sudah sering berbicara dalam town hall meeting yang sebetulnya tidak perlu-perlu amat, sehingga kemampuan public speaking-nya dijamin juara. Ia pasti pas didapuk sebagai vokalis Elek Yo Band. Kalian tidak usah risau dicemooh karena jumlah vokalis yang kelewat banyak. Kalau Barasuara boleh, kenapa kalian tidak?
Terakhir, ada satu persoalan yang tak ingin saya katakan, tetapi saya tahu solusinya: Manajer Elek Yo Band dapat memerintah Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika baru, untuk menutup kanal fluxcup di YouTube. Ini namanya langkah antisipatif, bertindak sebelum ada keributan. Jangan sampai vokalis baru mogok tampil dengan alasan “tak ingin ada matahari kembar.”