Isu Terkini

Gaya Komunikasi Muslim Cyber Army dan Fenomena Politik di Media Sosial

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri telah menangkap 14 anggota Grup WhatsApp “The Family MCA” yang berperan penting dalam penyebaran ujaran kebencian dan hoaks di media sosial. MCA merupakan singkatan dari Muslim Cyber Army.

Salah satu admin grup WhatsApp The Family MCA, Muhammad Luthfie, adalah pencetus di balik penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Ia lantas membentuk grup The United Muslim Cyber Army, Cyber Moeslim Defeat MCA, dan Sniper Team di Facebook.

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari kepolisian mengenai motif MCA, apakah ekonomi, politik, atau keduanya.

Asal Usul MCA Bermotif Politik

Nama MCA mencuat pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 lalu. MCA menyatakan sebagai kelompok yang memperjuangkan kepentingan umat Islam dan diduga berupaya menggagalkan kemenangan pasukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.

Setelah Pilkada 2017, MCA kini diduga berupaya menjatuhkan oposisi politiknya, yakni pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka bekerja dengan mengembangkan isu penganiayaan ulama dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Luthfie juga diduga menerima dana dari pihak tertentu untuk membuat konten demi kepentingan politik. Menurut Kasubdit I Dirtipidsiber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar, polisi meyakini ada pihak yang memberi bantuan modal kepada Luthfie dan kawan-kawannya. Hingga kini, polisi masih tutup mulut untuk mengungkap siapa yang memberikan data tersebut.

Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Muhammad Fadil Imran menyatakan, ada kesamaan motif yang dilakukan oleh kelompok “ujaran kebencian” saat Pilkada dan pasca Pilkada.

“Motifnya politik,” tutur Fadil kepada media.

Produk Fenomena Politik Global

Dengan kehadiran MCA ini juga mengingatkan masyarakat akan literasi informasi dan dampak negatif dari media sosial. Pasalnya, kasus MCA merupakan sebuah produk fenomena politik global di era media sosial saat ini.

“Fenomena menggiring sebuah opini, baik benar maupun salah, menggunakan dampak banjir informasi yang ada di dunia maya memang terjadi secara global,” tutur pengamat media sosial, Abang Edwin Syarif Agustin, kepada Asumsi, Senin, 5 Maret.

Indonesia, menurutnya, merupakan salah satu negara yang sebenarnya menjadi eksperimen pertama pihak-pihak yang menggunakan metode tersebut. Untuk itu, pemerintah sebaiknya meningkatkan kepekaan dan menggunakan kekuatan mereka sebagai acuan informasi di mata masyarakat.

“Suka atau tidak suka, masyarakat masih mengandalkan pemerintah untuk bisa memverifikasi tsunami informasi yang terjadi di dunia maya tersebut,” imbuhnya.

Ragam Metode MCA Sebarkan Hoaks

Menurut Edwin, MCA menggunakan beragam metode. Salah satunya adalah memodifikasi sumber-sumber terlebih dahulu yang bagi masyarakat sulit dimodifikasi, misalnya mengedit foto, video, dan mengedit artikel sehingga terlihat valid di mata masyarakat.

“Setelah itu baru mereka memengaruhi para opinion leader atau orang-orang yang memiliki pengaruh untuk memperkuat hoaks yang memang sengaja ingin mereka diseminasi ke masyarakat,” ungkapnya.

Hal itu terbukti dengan ditangkapnya seorang warga Taksimalaya berinisial FS, pada 28 Februari. FS adalah bagian dari grup Facebook Sniper Team MCA. Ia bertugas untuk mengirim foto ke admin grup sniper yang menjadi pertimbangan untuk diviralkan atau tidak oleh “The Family MCA”.

“Nanti MCA [Family] itu yang mengolaborasikan apakah ini berita layak atau tidak untuk diviralkan,” ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Umar Surya Fana, pada 2 Maret lalu.

Tak pelak, hingga kini, dari 21 kejadian viral di Jawa Barat, hanya 2 yang benar, sedangkan 19 sisanya adalah hoaks hasil kerja sniper MCA yang beranggotakan 177 akun.

Menggunakan Media Sosial untuk Menunggangi Keyakinan Masyarakat

Media sosial juga dinilai mudah digunakan untuk MCA menyebar hoaks dan ujaran kebencian lantaran semua orang bisa bebas berpendapat, dan dimungkinkan bagi siapapun membangun opini. Di sisi lain, penyebab terkuat lainnya adalah karena banjir informasi tersebut.

Dalam hal ini, banyak sekali para pembuat hoaks yang menggunakan dan menunggangi keyakinan masyarakat yang tidak paham suatu isu secara dalam.

“Saya pikir hampir semua pemerintah dari negara manapun pasti akan kewalahan, namun ya harus tetap dan terus diperangi sehingga lambat laun pasti pola dan tindakan-tindakan preventif bisa dilakukan ke depannya,” ujarnya.

Tak hanya itu, kelemahan warganet karena cepat tunduk pada ingin cepat-cepat membagikan informasi supaya tidak tertinggal. Padahal, sejatinya validitas informasi jauh lebih penting di atas segalanya.

Share: Gaya Komunikasi Muslim Cyber Army dan Fenomena Politik di Media Sosial