Budaya Pop

Musisi yang Ngotot (dan Batal) Merilis Album Gara-Gara Pandemi

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Nampaknya sebagian musisi paham: dalam kondisi pandemi sekalipun, telinga tetap butuh asupan gizi. Demi memanjakan legiun fansnya yang dirundung bosan di rumah, atau menyemarakkan suasana hati publik yang diliputi duka, beberapa musisi top turun gunung merilis karya-karya apik dalam beberapa pekan terakhir. Sebagian sengaja melepas lagu untuk jadi pelita di tengah pandemi, sebagian sengaja menunda perayaannya, sebagian lagi terkapar dan tak bisa apa-apa.

Tak hanya industri film yang terpaksa menunda jadwal tayang film-film top gara-gara pandemi COVID-19. Musisi papan atas juga bergumul dengan persoalan yang sama. Dari segi bisnis, pertimbangannya jelas. Ketika seluruh dunia digembok dan festival-festival musik gede seperti Glastonbury dan Coachella terpaksa diundur, pemasaran album bakal terganggu. Artis yang bersangkutan tak bisa mampir ke acara TV, manggung di festival terbesar, apalagi tur keliling dunia di tengah kondisi pandemi.

Namun, pertimbangan lebih penting tentu pertimbangan kemanusiaan. Pekan lalu (24/3), Lady Gaga menunda perilisan album teranyarnya, Chromatica, karena pandemi COVID-19. Di tengah kondisi genting seperti ini, tuturnya, ia merasa “tidak pantas” merilis album. Dalam pernyataan resminya, ia merasa publik seharusnya fokus “mencari solusi, menyediakan peralatan yang diperlukan oleh para pekerja medis, dan membantu orang-orang yang akan terdampak secara finansial oleh pandemi ini.”

Sentimen serupa pun diutarakan oleh grup indie rock Biffy Clyro, yang menunda perilisan album A Celebration of Endings karena merasa “ada hal-hal yang lebih penting dari musik saat ini.” HAIM pun menunda perilisan album Women in Music Pt. III untuk “menjaga keamanan fans, kru, dan tim kami.”

Sebaliknya, tak sedikit musisi yang malah sengaja merilis materi baru–atau memajukan jadwal rilis karyanya–demi menghibur publik di tengah pandemi ini. Ambil contoh Dua Lipa, yang mempercepat perilisan album keduanya, Future Nostalgia. Album yang seharusnya dirilis bulan depan akhirnya dilepas beberapa hari lalu (27/3).

Kabar gembira, sebab album tersebut bukan main bagusnya. Future Nostalgia adalah album pesta tanpa cela. Aroma disko, bassline rancak bergaya funk, serta suntikan nostalgia 80-an sukses disajikan ulang tanpa harus terasa seperti pastiche. Dalam momen-momen keemasan album tersebut, Dua Lipa terdengar seperti hasil kawin silang Madonna, Kylie Minogue, dan Prince bersama Giorgio Moroder sebagai penghulu.

Saya telah menentukan sikap: semisal kamu mendengar bassline di nomor “Pretty Please” dan tidak tergerak untuk berdansa, kamu tidak layak jadi teman saya. Future Nostalgia adalah perayaan terhadap seks, kedekatan, dan pemberdayaan diri yang terdengar begitu nikmat di tengah kewajiban physical distancing.

Album teranyar The Weeknd, After Hours, mengundang imaji serupa dengan Future Nostalgia: sebuah pesta yang sarat dosa, pada malam terakhir sebelum karantina, saat segala perhitungan telah percuma dan risiko terberat sekalipun dapat ditanggung. Mendengar The Weeknd yang begitu percaya diri dan sensual kadang bikin saya pangling. Pada mixtape pertamanya, The House of Balloons, musiknya yang introspektif dan penuh ratapan membuat saya sempat menganggapnya sekadar Frank Ocean versi KW.

Beruntung, persona publik The Weeknd berkembang seiring dengan kesuksesan komersial yang ia raih. Ia pun menunjukkan bahwa ia punya insting komersial tak tertandingi. Setelah After Hours dirilis, tersiar kabar bahwa label The Weeknd bersikeras agar perilisan album tersebut ditunda gara-gara wabah COVID-19. Namun, The Weeknd ngotot tetap merilis album tersebut, dan kini pertaruhannya terbayar. Hanya dalam sepekan, After Hours di-streaming satu miliar kali.

Pandemi ini pun memanggil banyak pemain lama dari istirahatnya yang panjang. Setelah kondisi di AS memburuk, lagu lawas dari R.E.M, “It’s The End of The World As We Know It (And I Feel Fine)” mendadak populer lagi dan kembali masuk tangga lagu. Seolah menangkap mood tersebut, eks vokalis R.E.M, Michael Stipe, menyanyikan “It’s The End…” sambil memperingatkan jutaan fansnya tentang bahaya COVID-19.

Dua hari lalu (28/3), Stipe kembali memberikan kejutan. Ia sudah pensiun sejak R.E.M bubar pada 2011, tetapi beberapa bulan terakhir ia kembali aktif. Tiba-tiba, ia mengunggah versi demo dari lagu barunya, “No Time for Love Like Now”, dalam video yang menampilkan Stipe tengah bernyanyi dari teras rumah. Lagu tersebut adalah hasil kolaborasi dengan Aaron Dessner dari grup indie rock kawakan The National, dan sentuhan Dessner terasa betul. Instrumentasi dan atmosfernya terasa seperti potongan dari album terkini The National, I Am Easy to Find.

Tentu, kabar paling menghebohkan datang dari Bob Dylan. Legenda folk rock tersebut muncul tiba-tiba dan merilis “Murder Most Foul”, lagu karya asli pertama yang ia lepas sejak 2012. Berdurasi 17 menit, lagu epik tersebut bermula sebagai kisah tentang pembunuhan terhadap Presiden AS, John F. Kennedy, pada 1963. Namun, setelahnya lagu tersebut berevolusi jadi racauan muram tentang bagaimana peristiwa menghebohkan itu membunuh jiwa AS, menuntun negaranya pada kiamat yang datang berangsur.

Jangan harap kamu bakal mendengar lagu folk yang mudah dinyanyikan bareng di depan api unggun. Ditemani string section, bass, drum, dan gitar, lagu ini hampir tak punya melodi yang gampang dicerna. “Murder Most Foul” lebih terdengar seperti penampilan spoken word yang menyayat hati ketimbang lagu yang akan bikin geger penonton satu stadion. Suara Dylan terdengar lebih dalam, muak, dan lelah. Seperti seorang paitua yang kerongkongannya dikoyak-koyak oleh waktu.

Jagoan teranyar yang turun gunung adalah Rihanna. Biduan ikonik ini turun gunung ke dapur rekaman dan melepas lagu pertamanya setelah rehat tiga tahun–”BELIEVE IT”, sebuah kolaborasi dengan rapper PARTYNEXTDOOR. Suara khas Rihanna membuat lagu R&B rata-rata air ini jadi naik kelas.

Seorang ratu, konglomerat, dan kepala suku seperti Rihanna semestinya layak dapat pujian lebih bagus daripada “You got that power, pussy power” yang ditawarkan PARTYNEXTDOOR. Tetapi, kerinduan para legiun Fenty terhadap suara Rihanna agak terobati di lagu ini.

Tentu saja, tidak semua artis seberuntung Bob Dylan, Rihanna, atau Dua Lipa. Ketika pandemi menggila dan lockdown dilakukan, setiap simpul dalam industri musik kena getahnya. Ketika festival dan konser terpaksa batal karena karantina, para kru panggung, pengorganisir konser, hingga pengelola venue morat-marit. Dalam kasus-kasus tertentu, musisi pun ikut terkapar akibat penyakit atau kemelaratan ekonomi yang membuntutinya.

Di AS, legenda musik country John Prine sedang sekarat setelah dinyatakan positif COVID-19. Penyanyi rock kawakan Jackson Browne pun mengumumkan bahwa ia positif COVID-19 pekan lalu, seraya mempercepat perilisan lagunya, “A Little Soon to Say”. Mendengar Browne bernyanyi tentang kekhawatiran bahwa generasinya tak meninggalkan bumi yang layak bagi anak muda selagi ia terbaring sakit akibat COVID-19 terasa menusuk dan ngeri.

The National sekalipun–grup indie rock senior yang sudah pernah menang Grammy Awards dan tur keliling dunia–terpaksa bersiasat untuk mendukung krunya. Melalui medsos, mereka mengumumkan bahwa semua hasil penjualan merchandise dari situsnya akan dialihkan untuk mendukung kru panggung serta manajemen mereka. Di tengah kondisi saat ini, tur mereka terpaksa bubar di tengah jalan dan kru panggung mereka tiba-tiba tak punya pemasukan.

Kondisi untuk musisi bawah tanah yang masih merintis karier lebih mencemaskan lagi. Lingua Ignota telah merilis dua album brilian yang mendobrak pakem genre, dan mengeksplorasi tema sulit seperti pelecehan seksual dan trauma dengan berani. Terang saja bila ia disebut-sebut sebagai musisi yang punya masa depan cerah di industri musik.

Namun, saat ini ia dalam kesulitan. Solois itu diharuskan operasi tulang punggung–tindakan medis yang butuh dana tak sedikit. Sementara, sebagai musisi baru, hampir semua pemasukannya didapat dari tur dan manggung. Dalam kondisi lockdown seperti ini, keuangannya cekak. Manajemen dan labelnya terpaksa bikin penggalangan dana lewat GoFundMe untuk mendukung Lingua Ignota.

Tak ada yang dapat membantah bahwa ini situasi yang tak terduga. Bila roda-roda kapitalisme saja mandeg perputarannya, lebih lagi kehidupan para musisi. Namun, kondisi darurat ini justru menelanjangi fakta yang jarang ingin didiskusikan: bahwa industri musik kita berdiri di atas fondasi yang rapuh.

Seperti ditulis The Vulture, industri musik global lambat merespon digitalisasi. Selagi situs unduhan illegal merebak dan pemasukan dari royalti penjualan album tak bisa diharapkan lagi, para label maupun musisi kesulitan meraup untung. Streaming datang bak pahlawan, tetapi mayoritas royalti streaming sudah keburu dicaplok oleh label-label gede. Model bisnis mereka terang-terangan memojokkan musisi kecil dan menguntungkan segelintir musisi top.

Mau tidak mau, panggung dan tur jadi harapan terakhir untuk musisi muda yang masih merintis karier. Model bisnis ini pun disebut mirip “strategi penanggulangan bencana” yang tak kunjung berakhir oleh The Vulture. Dan dalam keadaan gawat seperti ini, model bisnis tersebut ketahuan belangnya.

Setelah pandemi reda, kita akan dihadapkan pada dunia yang sama sekali baru. Carut marut industri musik global saat ini membuktikan bahwa suatu hari nanti, perubahan yang besar harus datang.

Share: Musisi yang Ngotot (dan Batal) Merilis Album Gara-Gara Pandemi